Katie L. Anderson-Pence,
University of Colorado Colorado Springs
Patricia S. Moyer-Packenham, Utah
State University
Arla Westenskow, Utah State University
Jessica Shumway, Utah State University
Kerry
Jordan, Utah
State University
Tujuan studi ini untuk mengkonstruksikan ulang
hubungan antara model statis visual dan solusi tertulis siswa terhadap masalah
pecahan menggunakan sampel besar dari solusi siswa. Partisipan dalam studi ini
terdiri dari 162 siswa kelas tiga dan 209 kelas empat dari 17 ruang kelas
berbeda. Respon tertulis siswa terhadap tugas tak terbatas diuji untuk
menentukan solusi dan kesalahan umum ketika menggunakan model statis visual.
Hasilnya mengindikasikan bahwa (a) kesalahan siswa umum terkait dengan
bagaimana siswa mengartikan model yang diberikan atau model mereka sendiri dari
suatu situasi, dan (b) fleksibilitas siswa dengan model statis visual dikaitkan
dengan keberhasilan solusi menulis. Siswa dengan kesalahan secara umum
menunjukkan suatu kekurangan dari fleksibilitas mereka sendiri dalam
mengartikan dan model statis visual yang diberikan. Hipotesis peneliti bahwa
siswa menunjukkan berbagai representasi matematis mempengaruhi kemampuan mereka
untuk secara fleksibilitas menggunakan representasi visual statis. Mereka
merekomendasikan bahwa siswa memiliki suatu pemahaman mendalam dari situasi
matematis dunia nyata dalam rangka menciptakan secara sukses dan mengartikan
model statis visual matematika.
Kata kunci: pecahan, pendidikan matematika,
matematika dunia-nyata, persepsi visual, model statis visual, visualisasi.
Pengantar
Suatu pemahaman dari pecahan menyediakan suatu
pondasi untuk keberhasilan dalam pembelajaran di masa depan dari topik matematika,
seperti, rasio, proporsi, persentase, desimal, and aljabar (National
Mathematics Advisory Panel / Panel laporan matematika nasional, 2008; Council of Chief State School Officers
[CCSSO] and National Governors Association [NGA], 2010). Disebabkan kepentingan
pemahaman pecahan, dokumen sepertgi prinsip dan standar untuk matematika
sekolah (National Council of Teachers of Mathematics [NCTM], 2000), pondasi untuk keberhasilan (National
Mathematics Advisory Panel, 2008), and the standar negara inti umum untuk
matematika (CCSSO and NGA, 2010) sangat merekomendasikan fokus dalam pecahan
dari kelas empat hingga kelas delapan.. meskipun demikian, kebanyakan siswa
berjuang dengan pecahan dasar dan konsep angka rasional dalam level kelas ini
(Lamon, 2007; Wu, 2005). Suatu kekurangan dari keterampilan visualisasi
menawarkan satu penjelasan untuk kesulitan siswa dengan pecahan. Visualisasi
konsep matematika memainkan peran penting seberapa baik siswa menerapkan
pemahaman pecahan mereka untuk situasi baru (Arcavi, 2003).
Standar negara inti umum untuk matematika
(CCSSO and NGA, 2010) merekomendasikan
bahwa siswa “model dengan matematika” dan “menggunakan alat yang tepat secara
strategis” (hal.7). ketika siswa mengembangkan fasilitas dengan model dan alat
untuk berpikir, mereka mampu menganalisa situasi, menggambarkan kesimpulan, dan
membuat hubungan untuk domain lain dari matematika. Apalagi, standar
dikembangkan oaleh NCTM menekankan kepentingan dari representasi konsep
matematika daripada penyelesaian masalah (2000). Sedig and Laing (2006)
menjelaskan representasi matematika visual sebagai “representasi grafis
yang menyandikan penyebab, fungsi, struktur, logika, dan, bahan semantik dan
hubungan struktur matematika, objek, consep, masalah, pola, dan ide” (2006,
hal. 180). Model visual statis, seperti yang telah diuji dalam studi ini,
adalah suatu jenis khusus dari representasi matematika visual yang terdiri dari
gambar piktorial tetap dari konsep matematika. Sementara model statis visual
menyediakan satu metiode representasi dan penyelesaian masalah dengan
matematika, representasi tersebut yang secara umum tampak dalam lembar kerja
atau ujian, mungkin memiliki suatu elemen yang tidak akrab terhadap siswa atau
yang tidak sesuai representasi mental siswa itu sendiri. Model visual yang
tidak akrab mungkin berdampak bagaimana siswa mengartikan suatu masalah. Tujuan
dari studi ini untuk mengkonstruksikan
ulang hubungan antara model statis visual dan solusi tertulis siswa terhadap
masalah pecahan menggunakan suatu sampel besar solusi siswa. Dengan menggunakan
sampel besar model solusi siswa, kita berharap untuk mengidentifikasi pola dan
untuk menghasilkan hipotesis tentang bagaimana siswa menggunakan model mengarah
pada keberhasilan atau keluaran penyelesaian masalah yang tidak berhasil. Jenis
kebalikan ini menghasilkan hipotesis, menggunakan data besar satuan pola dan
hubungan untuk menghasilkan teori,
memiliki suatu potensi untuk menjembatani pembelajaran (misal, bagaimana
siswa mengembangkan dan menggunakan model) dengan praktek pengajaran (misal,
bagaimana guru mendukung siswa mengembangkan model pecahan) (Carpenter,
Fennema, & Franke, 1996; Hill, Rowan, & Ball, 2005). Dalam jenis
penyamarataan hipotesis ini, pemeriksaan kita tidak akan “hanya memungkinkan kita
secara sistematis mengkhususkan apa yang kita lihat, tetapi ketika mereka
mengambil bentuk hipotesis atau proposisi, mereka menyarankan bagaimana
fenomena mungkin menjadi kemungkinan dikaitkan satu sama lain” (Strauss &
Corbin, 1998, hal. 102). Seksi berikut memberikan suatu tinjauan singkat dari
literatur terkini dikaitkan dengan visualisasi representasi matematika.
Tinjauan Literature
Representasi Visual dalam Matematika
NCTM menetapkan, “Cara dimana ide matematika
disajikan adalah pondasi bagaimana orang dapat memahami dan menggunakan ide
tersebut” (2000, hal. 67). Karena itu, seperti pelajar mengembangkan
visualisasi jelas dan canggih dari konsep matematika, mereka akan memiliki
pemahaman mendalam dari konsep tersebut, dan mengembangkan apa yang Tall and Vinner
(1981) arahkan sebagai suatu concept image (gambar konsep). Dalam studi ini, kita mendefinisikan model
statis visual, seperti suatu gambar yang tenang yaitu baik dicetak maupun
digambar dalam halaman untuk mewakili konsep matematika. Dalam studi ini, kita
menggunakan definisi Arcavi’s (2003) visualisasi matematika: kemampuan untuk
menciptakan, menggunakan, mengartikan, dan dicerminkan dalam gambar dalam
pemikiran atau dalam kertas. Karena itu, siswa menggunakan dan menciptakan
model statis visual seperti mereka mengembangkan keterampilan visualisasi
matematika. Visualisasi ini mendukung koneksi yang bermakna dengan jenis
berbeda dari representasi dan konsep matematika abstrak. Lesh, Post, dan Behr
(1987) mengidentifikasi lima jenis representasi matematika: gambar statis,
model manipulatif, simbol tertulis, situasi kehidupan nyata, dan bahasa yang
diucapkan. Pemahaman suatu konsep matematika melibatkan: a) mengakui konsep
diantara jenis berbeda dari representasi, b) secara fleksibel memanipulasi
konsep dalam suatu jenis representasi, dan c) menerjemahkan konsep dari satu
jenis representasi ke representasi yang lain. Gambar statis adalah dari
kepentingan khusus untuk studi ini sebab model statis adalah apa yang siswa
sering kembangkan ketika menyelesaikan masalah, dan apa yang seringkali lihat
dalam ujian, lembar kerja, dan dalam buku teks selama instruksi matematika
khusus (Yeh & McTigue, 2009).
Representasi visual meningkatkan muatan
kognitif selama penyelesaian masalah (Clark, Nguyen, & Sweller, 2006) dan
membolehkan pelajar untuk secara mental bekerja dalam satu bagian dari model
tanpa harus menjalani keseluruhan model dalam pemikiran mereka (Woleck, 2001).
Contoh, kebanyakan siswa secara otomatis menggambar persegi dipisahkan dengan
sama ke dalam tiga bagian, dua dari gambar diberi bayang-bayang, ketika mereka
mendengar atau melihat simbol, 2/3. model visual ini memungkinkan pelajar untuk
mempertahankan keseluruhan bagian makna pecahan. Ditemukan oleh van Garderen
(2006) juga mengindikasikan bahwa keterampilan visualisasi dikorelasikan secara
signifikan dengan kemampuan pelajar untuk memahami matematika.
Pencapaian-tinggi siswa seringkali menampilkan level paling tinggi dari
visualisasi spasial. Demikian juga, siswa yang pencapaian rendah mendapat manfaat
dari bekerja dengan model statis visual yang diberikan (Moyer-Packenham, Ulmer,
& Anderson, 2012). Model visual menyediakan suatu tangga-tangga bagi siswa
seperti mereka mengembangkan keterampilan visualisasi mereka sendiri. Tetapi
model ini hanya dapat berguna untuk siswa ketika siswa mampu menciptakan model
akurat mereka sendiri atau mengartikan model yang diberikan dan menggunakan
model secara efektif untuk penyelesaian masalah.
Ketika siswa mengartikan dan menciptakan model
statis visual, mereka mengembangkan pengetahuan bagu yang dapat diterapkan
untuk situasi penyelesaian masalah lain. Peneliti menekankan kepentingan
penggunaan siswa dalam matematika dalam dunia-nyata (Baruk, 1985, Greer, 1993;
Verschaffel, De Corte, & Lasure,
1994; Verschaffel, Greer, & De Corte, 2007). Generasi model,
seleksi, dan penerjemahan menjadi faktor kunci dalam keberhasilan siswa dalam
menyelesaikan masalah matematika (Martin, Svihla, & Petrick Smith, 2012;
Moseley & Okamoto, 2008; Ng & Lee, 2009). Dalam teori kelas koordinasinya, diSessa (2002) menyatakan bahwa penafsiran seorang siswa
dari suatu situasi masalah dikoneksikan untuk membaca dengan suara kerasnya
(misal. Secara konsisten mengidentifikasi informasi penting dalam suatu situasi
masalah dalam rangka membuat suatu strategi solusi). Penyelesai masalah yang cakap secara khas
mengembangkan representasi komplek (misal: gambar, diagram, or tabel) untuk
mengatur dan membuat menjaga alur dari strategi solusi mereka (Edens & Potter,
2008; Larkin, McDermott, Simon, & Simon, 1980; Whitin & Whitin, 2001).
Sayangnya, kebanyakan siswa secara otomatis tidak menggunakan model statis
visual sementara menyelesaikan masalah atau menciptakan suatu model yang tidak
mencerminkan situasi matematika. Siswa membutuhkan bantuan dan panduan dari
guru dan rekan sebaya yang berpengetahuan seperti mereka memilih, mengartikan,
dan menciptakan model visual matematika (Abrams, 2001; Moyer & Jones,
2004). Penelitian ini menyatakan bahwa hubungan komplek ada diantara guru model
statis visual yang menggunakan dalam pembelajaran, model mental siswa
diciptakan untuk diri mereka sendiri, dan strategi siswa ketika menggunakan
suatu model untuk menyelesaikan masalah.
Memvisualisasikan konsep pecahan
Suatu cara dimana siswa memahami konsep
pecahan dan pemberian alasan proporsional telah secara luas ditinjau. Contoh,
penelitian telah mengidentifikasi perbedaan dalam pemahaman siswa dari pecahan
berdasarkan ciri-ciri tersendiri dan kuantitas berkelanjutan (DeWolf, Bassok,
& Holyoak, 2013) dan menguji jalan pembelajaran siswa seperti mereka
mengembangkan pemahaman pecahan (Martin, dkk.,
2013). Sebagai bagian dari proyek
angka rasional, Behr, Lesh, Post, and Silver (1983) mengidentifikasi empat sub
konstruk matematika dari angka rasional—ukuran, rasio hasil bagi, rasio, dan
operator (lihat juga Kieren, 1980; Lamon, 2007), dan Kieren (1981) mengidentifikasi lima wajah pembangunan
pengetahuan matematika dikaitkan dengan pemahaman angka rasional—matematika,
visual, pengembangan, konstruktif, and simbolis.
Moss dan Case (1999) menyatakan bahwa
anak-anak memiliki dua skema dimasukkan dalam keseluruhan angka pembelajaran:
a) skema numerikal yang membolehkan siswa untuk belajar pondasi menghitung, dan
suatu skema kuantitatif global yang membolehkan anak-anak untuk membuat
penilaian global dari kuantitas. Ketika anak-anak sekitar usia 9-10 tahun,
mereka juga memiliki dua skema kognitif untuk pecahan: evaluasi proporsional
dan pemecahan (misal. Membagi dua). Skema kognitif ini membolehkan siswa untuk
memahami proporsi relative dan semi –pemahaman abstrak dari pecahan dasari
seperti ½ dan ¼. Meskipun demikian,
Lamon’s (2007) meringkas penetapan sekarang dari penelitian dalam pemberian
alasan proporsional menyatakan bahwa penelitian dalam bidang ini butuh
memasukkan diversifikasi pendekatan penelitian dan analisis mendalam dari
pemikiran anak-anak.
Metode
Pertanyaan penelitian
Dalam studi ini kita menguji sejumlah sampel
besar model solusi siswa untuk mengkonstruksikan ulang hubungan antara model
statis visual dan solusi tertulis siswa untuk masalah pecahan. Keseluruhan
pertanyaan penelitian untuk studi ini ditanyakan: bagaimana model statis visual
mempengaruhi metode solusi tertulis siswa? Sub pertanyaan berikut ini memandu
prosedur dan analisis koleksi data:
1. Apakah
jenis kesalahan konsepsi yang dilakukan solusi tertulis siswa secara umum
dinyatakan dalam tugas pecahan dimasukkan baik dalam model statis visual yang
diberikan atau yang diciptakan siswa?
2.
Apakah hubungan antara model statis visual yang diberikan atau model
yang diciptakan siswa dari konsep pecahan dan solusi tertulis siswa dalam
masalah tak terbatas?
Partisipan dan Pengaturan
Siswa yang berpartisipasi dalam studi ini
adalah 162 siswa kelas tiga (75 lelaki, 87 wanita) dan 209 siswa kelas empat
(100 lelaki, 109 wanita) dalam 17 ruang kelas. Pelayanan kelompok suku siswa,
status sosio-ekonomi (SES/ Socio-Economic Status) dan pelajar bahasa
Inggris (ELL/ English Language Learner) diidentifikasi oleh guru ruang
kelas mereka dan daerah sekolah. Kelompok
suku siswa kelas tiga adalah Caucasian (75.0%), Hispanic (14.1%), campuran
(4.5%), Asia (3.2%), dan African American (2.6%). Kelompok suku kelas empat adalah Caucasian
(78.4%), Hispanic (14.4%), campuran (4.6%), Asia, (1.0%), and penduduk Pulau
Pacific (1.0%). Kira-kira setengah dari siswa menerima makan siang gratis atau
diskon dan diklasifikasikan sebagai status sosio-ekonomi rendah (kelas tiga:
42.3%, kelas empat: 53.6%). Persentase kecil dari siswa menerima pelayanan
pelajar bahasa Inggris (kelas tiga: 4.5%, kelas empat: 7.7%). 17 ruang kelas
dalam dua daerah sekolah berbeda dalam delapan sekolah dasar berbeda di Amerika
serikat barat.
Sumber Data & Instrumen-Instrumen
Sumber data utama untuk analisis ini adalah
satuan item penilaian tak terbatas mengikuti suatu unit instruksi pecahan. Item
tak terbatas ini datang dari empat database item ujian berbeda (National
Assessment of Educational Progress/ penilaian nasional dari perubahan
pendidikan, Massachusetts Comprehensive Assessment System/ sistem penilaian
komprehensif Massachussetts, Utah Test Item Pool Service/ Pelayanan kelompok
item ujian Utah, dan Virginia Standards of Learning/ standar Virginia
pembelajaran) dan memasukkan representasi visual dan numerik dari konsep
pecahan. Lima pendidik matematika meninjau item ujian untuk validitas isi dan
ujian diprakarsai dalam enam daerah sekolah sebelum studi untuk menentukan
kesulitan item dan ukuran reliabilitas (Moyer –Packenham, dkk., 2013).
Dengan bantuan peneliti universitas, guru
ruang kelas mengatur penilaian pada akhir unit regular instruksi pecahan.
Sasaran pembelajaran untuk unit ini dikaitkan secara langsung untuk standar
kurikulum negara. Sasaran kelas tiga termasuk bagian persamaan pemahaman;
pemahaman dan menggunakan daerah, satuan, dan model baris angka; pemberian nama
dan menulis pecahan; membandingkan dan mengurutkan pecahan; dan memahami
pecahan ekuivalen. Sasaran kelas empat termasuk membagi daerah ke dalam bagian
pecahan; memahami bagian/ keseluruhan ide; membandingkan dan mengurutkan pecahan;
mengidentifikasi angka anara pecahan; mengidentifikasi dan menghasilkan pecahan
ekuivalen; membuat model tambahan dan pengurangan pecahan; dan menambah dan
mengurangi pecahan.
Dua item penilaian tak terbatas yang membentuk
dasar dari analisis ini menyoroti penggunaan siswa model statis visual dalam
solusi tertulis mereka dan dibentuk untuk mengumpulkan informasi di luar respon
sederhana yang benar atau tidak benar (Cai, Lane, & Jakabcsin, 1996).
Tujuan dari tugas tak terbatas (open-ended) ini adalah untuk memahami hubungan
antara model statis visual baik yang diberikan maupun yang diciptakan siswa
dari konsep pecahan dan solusi tertulis siswa.
Tugas area membutuhkan siswa kelas tiga untuk mengartikan model pecahan
ekuivalen. Tugas Pizza disajikan siswa
kelas empat dengan suatu situasi pecahan ekuivalen dari keseluruhan
ukuran-berbeda.
Tugas Area.
Tugas Area (kelas 3) menilai pemahaman siswa dari pecahan ekuivalen
dengan menyajikan siswa model area persegi 2 per 2 dari 3/4 dan model area
persegi 4 per 4 dari 12/16. dalam satu jenis model untuk tugas, 12 persegi
paling kecil dalam model 12/16 didiami ruang berdekatan dalam persegi lebih
besar (lihat gambar 1a). Jenis model kedua untuk tugas menyajikan 12 persegi
lebih kecil dalam ruang pencar di persegi lebih besar (lihat gambar 1b).
Masalah membutuhkan siswa memutuskan jika setiap persegi memiliki pecahan yang
sama dari area berbayang dan menjelaskan pemikiran mereka dengan diagram dan
kata-kata.
Tugas Pizza.
Tugas Pizza (kelas 4) menyajikan
satu dari dua situasi berbagi yang serupa untuk siswa, (a) dua orang
masing-masing makan setengah pizza berbeda dan (b) dua orang masing-masing
makan pecahan ekuivalen dari pizza berbeda (4 di luar dari 10 iris dan 2 di
luar dari 5 iris). Dalam setiap kasus, satu orang (José) mengklaim telah
memakan lebih banyak pizza daripada orang lain (Ella). Kemudian masalahnya
membutuhkan siswa menentukan bagaimana José dapat dibenarkan (lihat gambar 2).
Dalam situasi ini José dapat dibenarkan jika pizza aslinya lebih besar daripada
pizza Ella. Dengan kata lain, salah satu pizza keseluruhan dapat lebih besar
daripada pizza keseluruhan yang lain. Tugas ini menilai pemahaman siswa dari
hubungan keseluruhan bagian dalam pecahan menggunakan model daerah.
1a. Sam berkata bahwa dua persegi di bawah
memiliki pecahan yang sama dari area berbayang. Menggunakan suatu gambar dan
jelaskan bagaimana anda berpikir. Sam benar atau salah.
|
|
1b.Sam berkata bahwa dua persegi di bawah
memiliki pecahan yang sama dari area berbayang. Menggunakan gambar dan
menjelaskan kenapa anda berpikir Sam benar atau salah.
|
|
Gambar 1. Tugas Area untuk kelas tiga.
Pikir dengan hati-hati tentang pertanyaan
berikut. Tulis jawaban yang lengkap. Anda mungkin menggunakan gambar,
kata-kata, dan angka untuk menjelaskan jawaban anda.Pastikan untuk menunjukkan
pekerjaan anda.
a. José makan ½ pizza, Ella makan ½ dari
pizza lain.
José berkata bahwa dia makan lebih banyak
pizza daripada Ella, tetapi Ella berkata mereka berdua makan jumlah pizza
yang sama. Gunakan kata-kata dan gambar untuk menunjukkan bahwa José dapat
dibenarkan.
|
b. Pizza diiris dalam 10 bagian yang sama
dan José makan 4 iris dari pizza. Pizza lain diiris ke dalam 5 bagian yang
sama dan Ella makan 2 iris pizza.
José berkata bahwa dia makan lebih banyak
pizza daripada Ella, tetapi Ella berkata mereka berdua makan jumlah pizza
yang sama. Gunakan kata-kata dan gambar untuk menunjukkan bahwa José dapat
dibenarkan.
|
Gambar 2. Tugas Pizza untuk kelas empat
Analisis Data
Analisis kualitatif dalam pertanyaan tugas tak
terbatas diikuti koleksi data dan termasuk kode terbuka dan aksial (Strauss
& Corbin, 1998; Merriam, 2009; Moghaddam, 2006). Pertama, pasangan peneliti
memberi skor suatu sampel solusi siswa untuk setiap masalah sebagai respon
tepat atau tidak tepat. Respon yang tidak tepat kemudian dikategorikan
penggunaan kode terbuka (misal., descriptive) untuk mengidentifikasi pola pola
dalam kesalahan siswa. Berikutnya, peneliti menggunakan kode aksial untuk
menguji kode descriptive. Peneliti mengelompokkan kategori serupa bersama-sama
dan mengidentifikasi pola dan hubungan diantara kategori. Kode aksial
dihasilkan dalam rubrik pemberian skor khusus-masalah berdasarkan model akurasi
yang digunakan dalam mewakili matematika dan bagaimana siswa menggunakan model
tersebut dalam solusi tertulis mereka.
Berikutnya, peneliti menggunakan rubrik skor
untuk secara bebas memberi skor dan kode keseluruhan satuan dari 371 respon tak
terbatas siswa. Setelah kode bebas, peneliti memenuhi untuk membandingkan kode
dan membahas ketidaksesuaian. Dalam kasus ketidaksesuaian, peneliti membahas
respon siswa khusus dan mencapai suatu keputusan konsensus. Suatu pengujian
pola kesalahan lintas keseluruhan satuan data menyatakan pola tambahan, dan
mengarahkan peneliti untuk merevisi rubrik pemberian skor pendahuluan untuk
membedakan trend tersebut lebih dekat. Konsekuensinya, peneliti memberi skor
dan kode keseluruhan satuan data waktu kedua berdasarkan rubrik yang direvisi
(lihat gambar 3). Akhirnya, frekuensi dan persentase siswa dalam setiap
kategori kode ditabulasikan untuk mengidentifikasi kesalahan umum dalam setiap
tugas penilaian yang dihasilkan dalam menghasilkan hipotesis tentang hubungan
antara model statis visual dari konsep
pecahan dan solusi tertulis siswa untuk masalah berdasarkan model tersebut.
3a. Rubrik untuk tugas Area
|
3b. Rubrik untuk tugas Pizza
|
Makna kode dari kode
|
Makna kode
dari kode
|
1. Secara lengkap salah: tidak ada percobaan
ATAU mengindikasikan bahwa Sam salah
|
1. Equivalensi: Menetapkan bahwa pecahan adalah
ekuivalen tanpa mempertimbangkan ukuran dari keseluruhan
|
2. Membenarkan gambar spatial atau
penjelasan numerical: baik penjelasan tidak lengkap ATAU tidak menyediakan
suatu gambar sebagai bukti
|
2. Bagian tidak rata: mengindikasikan bahwa
hanya cara bagian José’s dapat menjadi
lebih besar jika bagian tidak dipotong secara rata
|
3. Membenarkan gambar spatial DAN penjelasan numerical: Menjelaskan bahwa
empat persegi kecil ekuivalen untuk satu persegi yang besar dan menyediakan
gambar sebagai bukti
|
3. Fokus pada keseluruhan angka:
mengindikasikan bahwa José terlihat pada keseluruhan angka dari pecahan
ketika dibandingkan
|
|
4. Tepat: Menjelaskan atau gambar
menunjukkan suatu perbedaan dalam ukuran dua pizza.
|
Gambar 3. Rubrik untuk pemberian skor item
penilaian tak terbatas: tugas Area dan tugas Pizza.
Hasil
Keseluruhan pertanyaan penelitian untuk studi
ini menanyakan: bagaimana model statis visual mempengaruhi metode solusi
tertulis siswa? Untuk menghasilkan
hipotesis tentang hubungan ini, hasil untuk kedua item penelitian disajikan.
Seksi pertama menyediakan frekuensi deskriptif dari kesalahan untuk setiap
tugas penilaian. Seksi kedua menyediakan contoh descriptif bagaimana model
statis visual yang diberikan dan yang diciptakan-siswa dikaitkan dengan solusi
tertulis siswa dalam tugas penilaian.
Frekuensi dari kesalahan konsepsi
Tugas Area.
Penelitian pertama sub pertanyaan menanyakan: Apakah jenis kesalahan konsepsi yang
dilakukan dalam solusi tertulis siswa secara umum menyatakan tugas pecahan
termasuk model statis visual yang diberikan maupun yang diciptakan siswa?
Solusi tertulis siswa kelas tiga untuk tugas Area menyatakan jarak luas
pemahaman konseptual. Tabel 1 melaporkan distribusi siswa dari respon untuk 162
kelas tiga pada seiap jenis model dalam tugas ini.
Tabel 1
Distribusi respon untuk kelas tiga tugas
area menurut jenis model
Respon
|
Tugas Area jenis Model
|
|
Persegi yang berdekatan
|
Persegi pencar
|
Gambar tepat DAN penjelasan
|
41 (25.3%)
|
44 (27.1%)
|
Gambar tepat ATAU penjelasan
|
41 (25.3%)
|
40 (24.7%)
|
Benar-benar salah
|
80 (49.4%)
|
78 (48.1%)
|
Total
|
162
|
162
|
Seperti Tabel 1 menunjukkan, kira-kira
setengah siswa kelas tiga tidak berhasil dalam tugas ini. Hanya kira-kira satu
perempat dari siswa nmenyediakan kedua model lengkap dan akurat dan penjelasan.
Respon diberi nilai tidak lengkap jika siswa sepakat bahwa model sama tetapi
tidak menyediakan gambar atau penjelasan komprehensif. Level akurasi hampir
tetap sama untuk dua model berbeda (berdekatan dan pencar) dalam tugas ini.
Tugas Pizza.
Solusi siswa kelas empa untuk tugas Pizza menyatakan jarak luas dari
pemahaman konseptual yang berubah-ubah menurut model untuk tugas. Tabel 2 melaporkan distribusi
respon siswa untuk 209 siswa kelas empat pada setiap jenis model untuk tugas
ini.
Tabel 2 Distribusi respon untuk tugas Pizza
kelas empat menurut jenis model
Respon
|
Tugas Pizza jenis Model
|
|
1/2 & 1/2
|
2/5 & 4/10
|
Tepat
|
43 (20.6%)
|
10 (4.8%)
|
kesalahan pecahan ekuivalen
|
125 (59.8%)
|
79 (37.8%)
|
Fokus pada keseluruhan kesalahan angka
|
20 (9.6%)
|
54 (25.8%)
|
Kesalahan bagian tidak seimbang
|
21 (10.0%)
|
9 (4.3%)
|
Tidak dijawab; tidak terbaca
|
0 (0%)
|
57 (27.2%)
|
Total
|
209
|
209
|
Seperti Tabel 2 menunjukkan, siswa kelas empat
lebih berhasil dengan model “½ and ½” daripada dengan model “2/5 and 4/10” dari
tugas Pizza (20.6% dibandingkan dengan 4.8%). Suatu pengujian respon siswa
menyatakan tiga kesalahan umum siswa. Pertama, siswa paling umum mengklaim
bahwa José salah sebab pecahan ekuivalen (misal, ½ = ½, 2/5 = 4/10). Karena
itu, mereka menyimpulkan bahwa kedua anak-anak makan jumlah yang sama dan tidak
mempertimbangkan bahwa dua keseluruhan memiliki ukuran berbeda. Kedua,
kebanyakan siswa menyatakan bahwa José’ salah dengan membandingkan keseluruhan
angka numerator and denominator. Contoh, satu siswa membagi pizza José’ ke
dalam delapan seksi dan menyatakan bahwa José berpikir bahwa 4/8 lebih besar
daripada ½ sebab 4 lebih besar daripada 1. kesalahan ini terjadi lebih sering
dalam tugas “2/5 dan 4/10” (25.8%) daripada tugas “½ dan ½” (9.6%). Akhirnya,
beberapa siswa beralasan bahwa porsi pizza José harus dipotong sedikit lebih
besar daripada bagian lain. Sepuluh persen siswa menawarkan penjelasan ini
untuk tugas “½ dan ½”, tetapi hanya 4.3% dari siswa menawarkan penjelasan
serupa untuk tugas “2/5 dan 4/10”. Secara keseluruhan, tugas ini kelihatan
bahwa siswa memiliki kesulitan memvisualisasikan suatu model dengan pizzadari
dua ukuran berbeda.
Hubungan antara model statis visual dan solusi
tertulis siswa
Tugas Area.
Sub pertanyaan penelitian kedua menanyakan: Apakah hubungan antara model statis visual
yang diberikan atau yang diciptakan siswa dari konsep pecahan dan solusi
tertulis siswa pada masalah tak terbatas?
Meskipun siswa kelas tiga menunjukkan kemiripan pada kedua jenis model
untuk tugas Area, suatu pengujian akhir pekerjaan siswa mengindikasikan
perbedaan dalam bagaimana model statis visual dikaitkan dengan solusi tertulis
siswa. Ketika bekerja dengan model persegi yang berdekatan dari tugas ini,
penjelasan tertulis siswa yang berhasil lebih sering mengacu pada tindakan
“[bergerak/ moving] persegi gelap ke dalam ruang kosong” (lihat gambar 4).
4a. 4b.
Gambar 4. Penggunaan berhasil dari model dalam
tugas Area (model berdekatan).
Gambar 5. Penggunaan tidak berhasil dari model
dalam tugas Area (model berdekatan).
Siswa yang tidak berhasil tidak menyediakan
informasi tertulis dalam respon mereka yang mengindikasikan bahwa mereka mampu
memvisualisasikan tindakan ini. Hal ini
besar kemungkinan bahwa siswa ini hanya menganggap dua model tidak identik, dan
karena itu menyimpulkan bahwa model tidak mewakili pecahan ekuivalen (lihat
gambar 5).
Ketika bekerja dengan model persegi pencar
untuk tugas ini, penjelasan tertulis siswa yang berhasil lebih sering
mengidentifikasi empat persegi lebih kecil sebagai ekuivalen hingga persegi
yang lebih besar (lihat gambar 6a). Siswa yang tidak berhasil secara khas fokus
hanya pada angka persegi dan tidak pada ukuran persegi untuk menentukan jika
jumlah adalah ekuivalen (lihat gambar 6b).
6a. 6b.
Gambar 6. Penggunaan berhasil dan tidak
berhasil dari model dalam tugas Area (model pencar).
Pizza task.
Tugas Pizza tidak menyediakan model statis visual bagi siswa dari suatu
masalah. Sebagai ganti, model membutuhkan siswa mengembangkan model statis
visualnya sendiri dari suatu situasi (lihat gambar 7).
Gambar 7. Penggunaan yang berhasil dari model
yang dihasilkan siswa dalam tugas Pizza (model “½ and ½”).
Keberhasilan siswa dalam menyelesaikan tugas
ini sangat terletak pada keterampilan visualisasi mereka sendiri daripada
interpretasi mereka dari suatu model statis yang diberikan. Contoh, berdasarkan
gambar mereka, sebagian besar siswa memvisualisasikan dua pizza dari ukuran
yang sama atau satu pizza yang dipotong setengah (lihat gambar 8).
Gambar ini mewakili pandangan terbatas dari
kemungkinan solusi dari tugas ini; siswa tidak mempertimbangkan kemungkinan
keseluruhan ukuran berbeda. Meskipun begitu kebanyakan siswa menunjukkan
keahlian dengan mengidentifikasi pecahan ekuivalen, fokus mereka pada ekuivalensi
pecahan mencegah mereka dari pertimbangan kemungkinan keseluruhan ukuran
berbeda. Dalam kasus tugas Pizza, kesalahan siswa mungkin telah disebabkan oleh
kesalahan interpretasi dari masalah daripada oleh kesalahan konsepsi matematis
dari suatu pecahan.
8a.
8b.
Gambar 8.
Penggunaan yang tidak berhasil dari model yang dihasilkan siswa dalam
tugas Pizza (“model ½ and ½”).
Gambar 9.
Penggunaan yang tidak berhasil dari model yang dihasilkan siswa dalam
tugas Pizza (“model 2/5 and 4/10”).
Kadang-kadang, model digambar oleh siswa
sebenarnya merintangi keberhasilan mereka dengan suatu tugas.
Contoh, gambar 9 menunjukkan gambar siswa dari
sepuluh irisan pizza lebih kecil (José) sejajar dengan lima irisan pizza lebih
besar (Ella). Kemudian siswa menggambar baris untuk membandingkan akhir dari
empat irisan José dan dua irisan Ella. Sayangnya, meskipun begitu siswa dengan
tepat menyimpulkan bahwa José makan lebih banyak pizza, model ini tidak secara
akurat menggambarkan hubungan antara dua pecahan.
Pembahasan
Studi ini menggunakan sampel besar dari model
solusi siswa untuk mengkonstruksi ulang hubungan antara model statis visual dan
solusi tertulis siswa untuk masalah pecahan. Hasil mengindikasikan bahwa
kesalahan siswa umum dikaitkan dengan bagaimana siswa mengartikan model yang
diberikan maupun model mereka sendiri dari situasi masalah. Hasil juga
mengindikasikan bahwa fleksibilitas siswa dengan model statis visual dikaitkan
dengan keberhasilan solusi tertulis. Hasil ini dibahas dlaam seksi yang
berikut.
Apakah jenis kesalahan konsepsi yang dilakukan
solusi tertulis siswa secara umum menyatakan tugas pecahan termasuk model
statis visual yang diberikan maupun yang diciptakan siswa?
Studi ini menyoroti dua kesalahan konsepsi
siswa ketika mengembangkan pemahaman situasi pecahan. Pertama, dalam tugas
Area, siswa yang tidak berhasil dengan model persegi pencar seringkali fokus
pada angka dan bukan ukuran dari persegi untuk menentukan ekuivalensi.
Penjelasan yang tidak tepat siswa dan jawaban menunjukkan bahwa mereka
kemungkinan mempertimbangkan keseluruhan angka, daripada pecahan dalam membuat
perbandingan. Hasil ini mendukung penemuan penelitian terkini yang dari usia
muda, angka mungkin lebih berpengaruh daripada ukuran dalam penyelesaian
masalah kuantitatif anak-anak (misal., Libertus, Starr, & Brannon, 2013).
Dalam tugas Pizza, sebagian besar siswa
membuat asumsi bahwa pizza adalah ukuran yang sama. Sebab ini, siswa tidak
mampu untuk menghasilkan model akurat dari contoh-perhitungan matematis.
Penjelasan yang mungkin dari kesulitan siswa dengan masalah ini adalah bahwa
siswa tidak mengaitkan kontek pizza matematis terhadap pizza dalamn dunia nyata
yang memiliki banyak ukuran berbeda. Penemuan ini konsisten dengan pengamatan
Verschaffel, Greer, and De Corte’s (2007) yang tanpa koneksi terhadap
matematika dunia nyata, siswa cenderung menahan pertimbangan mereka dan
“menjawab masalah kata tanpa memperhitungkan pertimbangan realistik tentang
situasi yang dijelaskan dalam teks” (hal. 586). Kesulitan siswa dengan pertimbangan
tugas Pizza juga konsisten dengan studi lain yang melaporkan kecenderungan
siswa memberi jawaban terhadap masalah kata tanpa mempertimbangkan dampak dunia
nyata dari situasi yang diberikan (Baruk, 1985; Greer, 1993; Verschaffel, dkk.,
1994).
Penjelasan yang mungkin lain dari kesulitan
siswa dengan masalah ini adalah bahwa mereka salah mengartikan tugas. Menurut
teori kelas koordinasi diSessa’s (2002), siswa memberi perhatian terhadap apa
yang mereka pertimbangkan kenyataan paling penting dari situasi masalah dan
mendisain strategi solusi mereka sesuai dengan itu. Contoh, mengukur kesalahan
sementara memotong irisan pizza mungkin menjadi interpretasi yang nyata. Ketika berbagi suatu pizza, sejumlah bagian
dibagikan biasanya lebih signifikan daripada ukuran bagian. Hal ini mungkin
secara parsial menjelaskan beberapa kepercayaan siswa pada keseluruhan jumlah
pemikiran dalam situasi ini. Karena itu, hal ini dapat dinyatakan bahwa
kesulitan siswa dengan tugas Pizza berasal dari kesalahan interpretasi, daripada
kesalahan konsepsi (misal, berlatih yang baik dan mempercayai ide yang tidak
tepat). Beberapa interpretasi membuat beberapa pertimbangkan dalam dunia nyata
bahkan jika mereka tidak sesuai dunia matematika.
Hasil penting untuk dipertimbangkan adalah bahwa
dua model tugas pizza menimbulkan jawaban berbeda dan kesalahan konsepsi siswa.
Dalam model “½ dan ½”, lebih dari setengah (59.8%) dari siswa tidak tepat
menggunakan pecahan ekuivalen (misal, ½ = ½, jadi dua porsi harus sama) untuk
membenarkan jawaban mereka. Namun, dalam model “2/5 dan 4/10”, hanya 37.8%
siswa menggunakan alasan yang sama. Dengan cara yang sama, siswa kemungkinan
lebih mempertimbangkan numerator dan denominator sebagai keseluruhan angka
dalam model “2/5 dan 4/10” daripada model “½ dan ½”. Penemuan ini menyatakan
bahwa siswa memiliki gambar konsep kuat (Tall & Vinner, 1981) dari pecahan seperti satu setengah, tetapi
bukan pecahan seperti 2/5 atau 4/10—kemungkinan sebab mereka telah memiliki banyak
pengalaman melihat representasi ulang (Scaife & Rogers, 1996) dari ½ dan
sebab daerah bundar sulit untuk diukur secara tepat ketika menggambar model
pecahan. Mereka sedikit mungkin membandingkan atau mengoperasikan dalam
numerator dan denominator dari satu setengah (atau pecahan ekuivalen terhadap
satu setengah) sebab gambar konsep ini.
Pola ini mencerminkan dua jenis skema kognitif—numerical dan kuantitatif
global—dijelaskan oleh Moss dan Case (1999).
Skema kognitif ini membolehkan anak-anak memahami proporsi relatif dan
pemahaman semi abstrak dari pecahan dasar seperti ½ dan ¼. Apalagi, memberi alasan dengan model 2/5 dan
4/10 melibatkan koordinasi ukuran dan operator sub konstruk (Behr, Lesh, Post,
& Silver, 1983) membuat skema lebih sulit daripada memberi alasan dengan
model ½. Hal ini menjelaskan kemampuan anak-anak untuk bekerja dengan model ½
lebih berhasil daripada model 2/5 dan 4/10.
Apakah hubungan antara model statis visual
yang diberikan atau yang diciptakan siswa dari konsep pecahan dan solusi
tertulis siswa pada masalah tak terbatas?
Suatu model dimana pengalaman siswa, baik
secara visual maupun secara mental, dikaitkan pada solusi tertulis siswa
terhadap masalah. Hasil dari studi ini memberikan cara dimana siswa menggunakan
model ini. Pertama, dalam tugas Area, sebagaian besar siswa melengkapi tugas
secara tepat tanpa berhadapan langsung dengan pecahan sebab mereka mampu
menggunakan model. Sebagai ganti menghitung persegi untuk menentukan pecahan
ekuivalen (misal., menggunakan konservasi rasio), mereka membuktikan
ekuivalensi dengan memvisualisasikan persegi bergerak ke lokasi berbeda.
Pergerakan persegi tersebut mendukung gagasan Piaget (1952) dari konservasi
area. Meskipun demikian, meletakkan
gambar model itu sendiri mungkin juga mengalihkan perhatian siswa jauh dari
hubungan numerical diantara angka pecahan.
Sepanjang tidak ada bagian model dihapus atau dimasukkan, model masih
akan mewakili jumlah yang sama tanpa mengabaikan lokasi bagian. Beberapa siswa menulis solusi berdasarkan
konservasi rasio, tetapi mayoritas siswa dalam studi ini meletakkan konservasi
area dalam solusi tertulis mereka.
Kemampuan untuk mengartikan model statis visual dari pecahan dalam cara
ini mungkin mendahului pemahaman konsep pecahan.
Kedua, dalam Pizza, siswa tidak memberikan
model statis visual dalam mendasarkan solusi mereka. Keberhasilan mereka dengan
tugas ini bergantung pada kemampuan mereka untuk memvisualisasikan situasi
dengan dua keseluruhan ukuran berbeda. Mayoritas besar dari siswa tidak mampu
menyelesaikan dua model berbeda dari tugas ini (79.4% dan 95.2%, secara
berurutan). Jelasnya, generasi diri dari
representasi adalah permintaan lebih kognitif daripada bekerja dengan
representasi yang diberikan (Clark, Nguyen, & Sweller, 2006; Woleck, 2001). Penemuan ini menyatakan bahwa pandangan terbatas
siswa dari model pecahan menghalangi keberhasilan mereka pada tugas ini.
Seperti dicatat di atas, ketika siswa gagal untuk memvisualisasikan konsep
matematika dalam dunia nyata, mereka mengembangkan konsepsi terbatas dari makna
matematika. Kemampuan siswa memvisualisasikan konsep matematika baik proses dan
produk pengalaman kualitas dalam matematika (Arcavi, 2003). Hasil ini juga
mendukung penemuan van Garderen’s (2006) dimana keterampilan visualisasi yang
dikembangkan dengan baik sangat berkontribusi pada pencapaian tinggi
keberhasilan siswa dalam matematika.
Kesimpulan
Hasil dari studi ini mengindikasikan bahwa
hanya dipresentasikan dengan model statis visual dalam situasi penilaian tidak
menjamin bahwa siswa akan mampu secara berhasil menghasilkan model mereka
sendiri atau menggunakan model yang diberikan untuk menyelesaikan masalah
matematika secara akurat. Analisis menyatakan bahwa kesalahan konsepsi umum
dikaitkan bagaimana siswa mengartikan baik model yang diberikan maupun model
dari situasi mereka sendiri. Perbedaan
dalam solusi tertulis siswa dapat dipengaruhi oleh strategi instruksional atau
penampakan lain terhadap representasi matematis termasuk situasi dunia nyata.
Kita menghipotesiskan bahwa ketika siswa memiliki pemahaman tepat dari situasi
matematika dunia nyata, mereka dapat berhasil menciptakan dan mengartikan model
statis visual untuk mempertimbangkan matematika. Seperti memanipulasi objek mental dan
mempertimbangkan aplikasi dunia nyata, mereka secara aktif berpartisipasi dalam
konstruksi pengetahuan mereka dan mengembangkan keterampilan visualisasi.
Berdasarkan hasil studi ini, penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk menentukan
faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa dari model statis visual.
Referensi
Abrams, J. P. (2001). Teaching mathematical
modeling and the skills of representation. In A. A. Cuoco & F. R. Curcio
(Eds.), The Roles of Representation in
School Mathematics, 2001 Yearbook (pp. 269-282). Reston, VA: National Council
of Teachers of Mathematics.
Arcavi, A. (2003). The role of visual
representations in the learning of mathematics. Educational Studies in
Mathematics, 52(3), 215–241.
Baruk, S. (1985). L’âge du capitaine. De
l’erreur en mathématiques. [The
captian’s age. About errors in mathematics]. Paris: Seuil.
Behr, M., Lesh, R., Post, T., & Silver, E.
(1983). Rational number concepts. In R. Lesh & M. Landau (Eds.), Acquisition of Mathematics Concepts and
Processes (pp. 91-125). New York:
Academic Press.
Cai, J., Lane, S., & Jakabcsin, M. S. (1996). The role of open-ended tasks and
holistic scoring rubrics: Assessing students’ mathematical reasoning and
communication. In P. C. Elliott (Ed.), Communication in Mathematics, K-12 and
Beyond (pp. 137-145). Reston, VA: The National Council of Teachers of Mathematics.
Carpenter, T. P., Fennema, E., & Franke,
M. L. (1996). Cognitively guided instruction: A knowledge base for reform in
primary mathematics instruction. The
Elementary School Journal, 97(1), 3–20.
Clark, R., Nguyen, F., & Sweller, J.
(2006). Efficiency in learning: Evidence-based guidelines to manage cognitive
load. San Francisco, CA: Pfeiffer.
Council of Chief State School Officers and
National Governors Association. (2010). Common Core Standards. Retrieved from
http://www.corestandards.org/about-the-standards/key-points-in-mathematics.
DeWolf, M, Bassok, M, & Holyoak, K. J.
(2013). Analogical reasoning with rational numbers: Semantic alignment based on
discrete versus continuous quantities. In M. Knauf, M. Pauven, N. Sebanz, &
I. Wachsmuth (Eds.), Proceedings of the
35th Annual Conference of the of the Cognitive Science Society (pp. 388-393). Austin, TX: Cognitive Science
Society.
DiSessa, A. A. (2002). Why “conceptual
ecology” is a good idea." In M. Limón & L. Mason (Eds.). Reconsidering Conceptual Change: Issues in
Theory and Practice (pp. 29-60).
Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
Edens, K., & Potter, E. (2008). How
students "unpack" the structure of a word problem: graphic
representations and problem solving. School Science And Mathematics, 108(5),
184-196.
Greer, B. (1993). The modeling perspective on wor(l)d
problems. Journal of Mathematical
Behavior, 12, 239-250.
Hill, H. C., Rowan, B., & Ball, D. L.
(2005). Effects of teachers’ mathematical knowledge for teaching on student
achievement. American Educational
Research Journal, 42(2), 371–406.
doi:10.3102/00028312042002371
Kieren, T. E. (1980). The rational number
construct: Its elements and mechanisms. In T. E. Kieren (Ed.), Recent Research on Number Learning (pp. 125-150). Columbus, OH: ERIC/SMEAC.
Kieren, T. E. (1981). Five faces of
mathematical knowledge building. Edmonton: Department of Secondary Education,
University of Alberta.
Lamon, S. (1996). The development of unitizing: Its role in
children's partitioning strategies. Journal for Research in Mathematics
Education, 27(2), 170-193.
Lamon, S. (2007). Rational numbers and
proportional reasoning: Toward a theoretical framework for research. In F. K. Lester (Ed.), Second Handbook of Research on Mathematics Teaching
and Learning (Vol. 1, pp. 629-667). Charlotte, NC: Information Age
Publishing Inc.
Larkin, J., McDermott, J., Simon, D.P., &
Simon, H. A. (1980). Expert and novice performance in solving physics problems.
Science, 208(20), 1335-1342.
Lesh, R., Post, T., & Behr, M. (1987).
Representations and translations among representations in mathematics learning
and problem solving. In C. Janvier (Ed.),
Problems of Representation in the Teaching and Learning of Mathematics (pp. 33-40). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum
Associates.
Libertus, M. E., Starr, A., & Brannon, E.
M. (2013). Number trumps area for 7-month-old infants. Developmental
Psychology, doi:10.1037/a0032986
Martin, T., Aghababyan, A., Pfaffman, J.,
Olsen, J., Baker, S., Janisiewicz, P., ... & Smith, C. P. (2013, April).
Nanogenetic learning analytics: Illuminating student learning pathways in an
online fraction game. In Proceedings of the Third International Conference on
Learning Analytics and Knowledge (pp. 165-169). ACM.
Martin, T., Svihla, V., & Petrick Smith,
C. (2012). The role of physical action in fraction learning. Journal of
Education and Human Development, 5(1).
Merriam, S. B. (2009). Qualitative research: A guide to design and implementation (3rd ed.). San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Moghaddam, A. (2006). Coding issues in
grounded theory. Issues in Educational
Research, 16(1), 52–66. http://www.iier.org.au/iier16/moghaddam.html
Moseley, B., & Okamoto, Y. (2008).
Identifying fourth graders'
understanding of rational number representations: A mixed methods approach.
School Science And Mathematics, 108(6), 238-250.
Moss, J., & Case, R. (1999). Developing
children’s understanding of the rational numbers: A new model and an
experimental curriculum. Journal for
Research in Mathematics Education, 30(2), 122-147.
Moyer, P. S., Bolyard, J. J., & Spikell,
M. A. (2002). What are virtual manipulatives?
Teaching Children Mathematics, 8(6), 372–377.
Moyer, P. S., & Jones, M. G. (2004).
Controlling choice: Teachers, students, and manipulatives in mathematics
classrooms. School Science and Mathematics, 104(1), 16-31.
Moyer-Packenham, P., Baker, J., Westenskow,
A., Anderson, K., Shumway, J., Rodzon, K., & Jordan, K., The Virtual
Manipulatives Research Group at Utah State University. (2013). A study
comparing virtual manipulatives with other instructional treatments in third-
and fourth-grade classrooms. Journal of Education, 193(2), 25-39.
Moyer-Packenham, P. S., Ulmer, L. A., &
Anderson, K. L. (2012). Examining
pictorial models and virtual manipulatives for third-grade fraction
instruction. Journal of Interactive
Online Learning, 11(3), 103–120.
National Council of Teachers of Mathematics.
(2000). Principles and standards for
school mathematics. Reston, VA: Author.
National Mathematics Advisory Panel
(2008). Foundations for success: The
final report of the National Mathematics Advisory Panel. Washington, DC: U. S.
Department of Education.
Ng, S. F., & Lee, K. (2009). The model
method: Singapore children’s tool for representing and solving algebraic word
problems. Journal for Research in Mathematics Education, 40(3), 282-313.
Piaget, J. (1952). The child’s conception of
number. New York: Humanities Press.
Sedig, K., & Liang, H.-N. (2006).
Interactivity of visual mathematical representations: Factors affecting
learning and cognitive processes.
Journal of Interactive Learning Research, 17(2), 179–212.
Scaife, M., & Rogers, Y. (1996). External
cognition: how do graphical representations work? International Journal of
Human-Computer Studies, 45(2), 185–213.
doi:10.1006/ijhc.1996.0048
Strauss, A., & Corbin, J. (1998). Basics of qualitative research: Techniques
and procedures for developing grounded theory. Thousand Oaks, CA: Sage
Publications, Inc.
Tall, D., & Vinner, S. (1981). Concept
image and concept definition in mathematics with particular reference to limits
and continuity. Educational Studies in
Mathematics, 12(2), 151-169.
Van Garderen, D. (2006). Spatial
visualization, visual imagery, and mathematical problem solving of students
with varying abilities. Journal of Learning
Disabilities, 39(6), 496–506.
doi:10.1177/00222194060390060201
Verschaffel, L., De Corte, E., & Lasure,
S. (1994). Realistic considerations in mathematical modeling of school
arithmetic word problems. Learning and Instruction, 4, 273-294.
Verschaffel, L., Greer, B., & De Corte, E.
(2007). Whole number concepts and operations. In F. K. Lester (Ed.), Second handbook of research on mathematics
teaching and learning (Vol. 1, pp. 557–628). Charlotte, NC: Information Age
Publishing Inc.
Whitin, P., & Whitin, D. (2001). Using
literature to invite mathematical representations. In A. A. Cuoco & F. R.
Curcio (Eds.), The Roles of
Representation in School Mathematics, 2001 Yearbook (pp. 228-237). Reston, VA:
National Council of Teachers of Mathematics.
Woleck, K. R. (2001). Listen to their
pictures; An investigation of children’s mathematical drawings. In A. A. Cuoco
& F. R. Curcio (Eds.), The Roles of
Representation in School Mathematics, 2001 Yearbook (pp. 215-
227). Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.
Wu, H. (2005, April). Key mathematical ideas in grades 5–8. Paper presented at National Council of
Teachers of Mathematics Annual Meeting, Anaheim, CA.
Yeh, Y. Y., & McTigue, E. M.
(2009). The frequency, variation, and function of graphical representations
within standardized state science tests. School Science And Mathematics,
109(8), 435-449.