Translate

Selasa, 26 Maret 2019

thumbnail

Info Bimtek Pusdiklat Pemendagri yang informatif



Dalam rangka membantu pemerintah meningkatkan produktifitas SDM, dalam hal ini Pemerintah Dalam Negeri mendirikan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pemerintahan Dalam Negeri di singkat Pusdiklat Pemendagri. Pusdiklat Pemendagri ini berorientasi dibidang Pendidikan dan Pelatihan (Diklat), Workshop, Bimbingan Teknis (Bimtek), Pengadaan barang dan jasa pemerintah, Kaji Banding/Study Banding, In House Training dan Seminar bagi instansi pemerintah baik Eksekutif, Legislatif maupun swasta dengan didukung oleh para professional dari berbagai latar belakang disiplin ilmu serta pengalaman di bidangnya masing-masing.

Kegiatan (baca: Pusdiklat Pemendagri) ini dimaksudkan untuk membantu program pemerintah dalam meningkatkan produktifitas SDM dan mensosialisasikan serta mensikronisasikan antara kebijakan pemerintah dengan dunia industri, begitupun sebaliknya pelaku industri dapat memberikan masukan dan kontribusi kepada pemerintah.

Visi Pusdiklat Pemendagri adalah mewujudkan peningkatan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) berkelanjutan, serta keberdayaan masyarakat yang partisipatif, dengan didukung sumber daya aparatur yang profesional. serta mencerminkan suatu keinginan dan cita-cita untuk menjadi yang terdepan dalam melanjutkan perjalanan organisasi sebagai motor penggerak perubahan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan non formal ke arah yang lebih baik, serta cerminan komitmen organisasi sebagai elemen penggerak dan motivator untuk menjadi semakin baik, yang harus disinergikan dengan elemen penggerak lainnya dalam suatu kesisteman yang utuh.

Sedangkan Misi Pusdiklat Pemendagri :

Mendorong peningkatan kemampuan sumber daya melalui Bimbingan Teknis (Bimtek),/ Sosialisasi, Mendorong peningkatan pendidikan dan pelatihan (Diklat), Sosialisasi, dan pemahaman informasi.;

Bersama masyarakat dan institusi lainnya memberikan kontribusi terhadap terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa;

Meningkatkan pemberdayaan masyarakat melalui konsultasi publik atas setiap kebijakan yang akan diterapkan, dan Mendorong lahirnya inisiatif, kreatif dan kemandirian masyarakat;Meningkatkan sumber daya manusia melalui pelatihan yang dilakukan.

Motto Pusat Pendidikan Dan Pelatihan Pemerintahan Dalam Negeri

“BERSAMA MEMBANGUN SUMBER DAYA MANUSIA”

Bimbingan Teknis atau disingkat Bimtek adalah suatu kegiatan yang diperuntukkan untuk memberikan bantuan yang umumnya berupa tuntunan, bisa juga dalam bentuk nasehat untuk menyelesaikan suatu masalah/persoalan yang sifatnya teknis. Bimbingan Teknis / Bimtek merupakan suatu kegiatan pelatihan serta pengembangan pengetahuan dan kemampuan yang dapat di pergunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi oleh setiap institusi tertentu maupun individu.

Sehingga dengan mengikuti kegiatan Bimbingan Teknis diharapkan setiap individu maupun institusi tertentu, baik lembaga pemerintahan atau swasta dapat mengambil sebuah manfaat dengan berorientasi pada kinerja. Sedangkan keuangan dapat diartikan dengan Ilmu keuangan, dan asset lainnya atau Manajemen asset tersebut serta menghitung, dan mengatur risiko proyek.

Oleh karena itu, Pusdiklat Pemendagri memberikan Info Bimtek yang selalu up to date.

Berikut ini Info Bimtek yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Pemendagri:


adalah suatu kegiatan pendidikan dan pelatihan (Diklat) serta pengembangan pengetahuan dan kemampuan yang berkaitan dengan keuangan yang dapat di gunakan sebagai suatu pemecahan masalah yang sering di hadapi bagi setiap individu maupun institusi tertentu.

Maksud dan Tujuan dilaksanakannya Bimbingan Teknis / Bimtek keuangan adalah Untuk menyelesaikan suatu kasus / permasalahan yang terjadi dan dihadapi oleh para pejabat sehingga penyelesaiannya dapat di pertanggungjawab kan sesuai dengan peraturan per undang-undangan yang berlaku.


Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2018 tentang Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2019. Serta telah diterbitkan juga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pedoman Peyusunan APBD Tahun Anggaran 2019. Peraturan Menteri Dalam Negeri Ini menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan penyusunan APBD Tahun Anggaran 2019.


Rabu, 28 September 2016

thumbnail

Hubungan Antara Model Statis Visual dan Solusi tertulis Siswa terhadap Tugas Pecahan


Katie L. Anderson-Pence[1], University of Colorado Colorado Springs
Patricia S. Moyer-Packenham[2], Utah State University
Arla Westenskow[3], Utah State University
Jessica Shumway[4], Utah State University
            Kerry Jordan[5], Utah State University    

Tujuan studi ini untuk mengkonstruksikan ulang hubungan antara model statis visual dan solusi tertulis siswa terhadap masalah pecahan menggunakan sampel besar dari solusi siswa. Partisipan dalam studi ini terdiri dari 162 siswa kelas tiga dan 209 kelas empat dari 17 ruang kelas berbeda. Respon tertulis siswa terhadap tugas tak terbatas diuji untuk menentukan solusi dan kesalahan umum ketika menggunakan model statis visual. Hasilnya mengindikasikan bahwa (a) kesalahan siswa umum terkait dengan bagaimana siswa mengartikan model yang diberikan atau model mereka sendiri dari suatu situasi, dan (b) fleksibilitas siswa dengan model statis visual dikaitkan dengan keberhasilan solusi menulis. Siswa dengan kesalahan secara umum menunjukkan suatu kekurangan dari fleksibilitas mereka sendiri dalam mengartikan dan model statis visual yang diberikan. Hipotesis peneliti bahwa siswa menunjukkan berbagai representasi matematis mempengaruhi kemampuan mereka untuk secara fleksibilitas menggunakan representasi visual statis. Mereka merekomendasikan bahwa siswa memiliki suatu pemahaman mendalam dari situasi matematis dunia nyata dalam rangka menciptakan secara sukses dan mengartikan model statis visual matematika.
Kata kunci: pecahan, pendidikan matematika, matematika dunia-nyata, persepsi visual, model statis visual, visualisasi.
Pengantar        
Suatu pemahaman dari pecahan menyediakan suatu pondasi untuk keberhasilan dalam pembelajaran di masa depan dari topik matematika, seperti, rasio, proporsi, persentase, desimal, and aljabar (National Mathematics Advisory Panel / Panel laporan matematika nasional, 2008;  Council of Chief State School Officers [CCSSO] and National Governors Association [NGA], 2010). Disebabkan kepentingan pemahaman pecahan, dokumen sepertgi prinsip dan standar untuk matematika sekolah (National Council of Teachers of Mathematics [NCTM], 2000),  pondasi untuk keberhasilan (National Mathematics Advisory Panel, 2008), and the standar negara inti umum untuk matematika (CCSSO and NGA, 2010) sangat merekomendasikan fokus dalam pecahan dari kelas empat hingga kelas delapan.. meskipun demikian, kebanyakan siswa berjuang dengan pecahan dasar dan konsep angka rasional dalam level kelas ini (Lamon, 2007; Wu, 2005). Suatu kekurangan dari keterampilan visualisasi menawarkan satu penjelasan untuk kesulitan siswa dengan pecahan. Visualisasi konsep matematika memainkan peran penting seberapa baik siswa menerapkan pemahaman pecahan mereka untuk situasi baru (Arcavi, 2003).
Standar negara inti umum untuk matematika (CCSSO and NGA,  2010) merekomendasikan bahwa siswa “model dengan matematika” dan “menggunakan alat yang tepat secara strategis” (hal.7). ketika siswa mengembangkan fasilitas dengan model dan alat untuk berpikir, mereka mampu menganalisa situasi, menggambarkan kesimpulan, dan membuat hubungan untuk domain lain dari matematika. Apalagi, standar dikembangkan oaleh NCTM menekankan kepentingan dari representasi konsep matematika daripada penyelesaian masalah (2000).  Sedig and Laing  (2006)  menjelaskan representasi matematika visual sebagai “representasi grafis yang menyandikan penyebab, fungsi, struktur, logika, dan, bahan semantik dan hubungan struktur matematika, objek, consep, masalah, pola, dan ide” (2006, hal. 180). Model visual statis, seperti yang telah diuji dalam studi ini, adalah suatu jenis khusus dari representasi matematika visual yang terdiri dari gambar piktorial tetap dari konsep matematika. Sementara model statis visual menyediakan satu metiode representasi dan penyelesaian masalah dengan matematika, representasi tersebut yang secara umum tampak dalam lembar kerja atau ujian, mungkin memiliki suatu elemen yang tidak akrab terhadap siswa atau yang tidak sesuai representasi mental siswa itu sendiri. Model visual yang tidak akrab mungkin berdampak bagaimana siswa mengartikan suatu masalah. Tujuan dari  studi ini untuk mengkonstruksikan ulang hubungan antara model statis visual dan solusi tertulis siswa terhadap masalah pecahan menggunakan suatu sampel besar solusi siswa. Dengan menggunakan sampel besar model solusi siswa, kita berharap untuk mengidentifikasi pola dan untuk menghasilkan hipotesis tentang bagaimana siswa menggunakan model mengarah pada keberhasilan atau keluaran penyelesaian masalah yang tidak berhasil. Jenis kebalikan ini menghasilkan hipotesis, menggunakan data besar satuan pola dan hubungan untuk menghasilkan teori,  memiliki suatu potensi untuk menjembatani pembelajaran (misal, bagaimana siswa mengembangkan dan menggunakan model) dengan praktek pengajaran (misal, bagaimana guru mendukung siswa mengembangkan model pecahan) (Carpenter, Fennema, & Franke, 1996; Hill, Rowan, & Ball, 2005). Dalam jenis penyamarataan hipotesis ini, pemeriksaan kita tidak akan “hanya memungkinkan kita secara sistematis mengkhususkan apa yang kita lihat, tetapi ketika mereka mengambil bentuk hipotesis atau proposisi, mereka menyarankan bagaimana fenomena mungkin menjadi kemungkinan dikaitkan satu sama lain” (Strauss & Corbin, 1998, hal. 102). Seksi berikut memberikan suatu tinjauan singkat dari literatur terkini dikaitkan dengan visualisasi representasi matematika.
Tinjauan Literature

Representasi Visual dalam Matematika

NCTM menetapkan, “Cara dimana ide matematika disajikan adalah pondasi bagaimana orang dapat memahami dan menggunakan ide tersebut” (2000, hal. 67). Karena itu, seperti pelajar mengembangkan visualisasi jelas dan canggih dari konsep matematika, mereka akan memiliki pemahaman mendalam dari konsep tersebut, dan mengembangkan apa yang Tall and Vinner (1981) arahkan sebagai suatu concept image (gambar konsep).  Dalam studi ini, kita mendefinisikan model statis visual, seperti suatu gambar yang tenang yaitu baik dicetak maupun digambar dalam halaman untuk mewakili konsep matematika. Dalam studi ini, kita menggunakan definisi Arcavi’s (2003) visualisasi matematika: kemampuan untuk menciptakan, menggunakan, mengartikan, dan dicerminkan dalam gambar dalam pemikiran atau dalam kertas. Karena itu, siswa menggunakan dan menciptakan model statis visual seperti mereka mengembangkan keterampilan visualisasi matematika. Visualisasi ini mendukung koneksi yang bermakna dengan jenis berbeda dari representasi dan konsep matematika abstrak. Lesh, Post, dan Behr (1987) mengidentifikasi lima jenis representasi matematika: gambar statis, model manipulatif, simbol tertulis, situasi kehidupan nyata, dan bahasa yang diucapkan. Pemahaman suatu konsep matematika melibatkan: a) mengakui konsep diantara jenis berbeda dari representasi, b) secara fleksibel memanipulasi konsep dalam suatu jenis representasi, dan c) menerjemahkan konsep dari satu jenis representasi ke representasi yang lain. Gambar statis adalah dari kepentingan khusus untuk studi ini sebab model statis adalah apa yang siswa sering kembangkan ketika menyelesaikan masalah, dan apa yang seringkali lihat dalam ujian, lembar kerja, dan dalam buku teks selama instruksi matematika khusus (Yeh & McTigue, 2009).
Representasi visual meningkatkan muatan kognitif selama penyelesaian masalah (Clark, Nguyen, & Sweller, 2006) dan membolehkan pelajar untuk secara mental bekerja dalam satu bagian dari model tanpa harus menjalani keseluruhan model dalam pemikiran mereka (Woleck, 2001). Contoh, kebanyakan siswa secara otomatis menggambar persegi dipisahkan dengan sama ke dalam tiga bagian, dua dari gambar diberi bayang-bayang, ketika mereka mendengar atau melihat simbol, 2/3. model visual ini memungkinkan pelajar untuk mempertahankan keseluruhan bagian makna pecahan. Ditemukan oleh van Garderen (2006) juga mengindikasikan bahwa keterampilan visualisasi dikorelasikan secara signifikan dengan kemampuan pelajar untuk memahami matematika. Pencapaian-tinggi siswa seringkali menampilkan level paling tinggi dari visualisasi spasial. Demikian juga, siswa yang pencapaian rendah mendapat manfaat dari bekerja dengan model statis visual yang diberikan (Moyer-Packenham, Ulmer, & Anderson, 2012). Model visual menyediakan suatu tangga-tangga bagi siswa seperti mereka mengembangkan keterampilan visualisasi mereka sendiri. Tetapi model ini hanya dapat berguna untuk siswa ketika siswa mampu menciptakan model akurat mereka sendiri atau mengartikan model yang diberikan dan menggunakan model secara efektif untuk penyelesaian masalah.
Ketika siswa mengartikan dan menciptakan model statis visual, mereka mengembangkan pengetahuan bagu yang dapat diterapkan untuk situasi penyelesaian masalah lain. Peneliti menekankan kepentingan penggunaan siswa dalam matematika dalam dunia-nyata (Baruk, 1985, Greer, 1993; Verschaffel, De Corte, & Lasure,  1994; Verschaffel, Greer, & De Corte, 2007). Generasi model, seleksi, dan penerjemahan menjadi faktor kunci dalam keberhasilan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika (Martin, Svihla, & Petrick Smith, 2012; Moseley & Okamoto, 2008; Ng & Lee, 2009). Dalam teori kelas koordinasinya,  diSessa (2002)  menyatakan bahwa penafsiran seorang siswa dari suatu situasi masalah dikoneksikan untuk membaca dengan suara kerasnya (misal. Secara konsisten mengidentifikasi informasi penting dalam suatu situasi masalah dalam rangka membuat suatu strategi solusi).  Penyelesai masalah yang cakap secara khas mengembangkan representasi komplek (misal: gambar, diagram, or tabel) untuk mengatur dan membuat menjaga alur dari strategi solusi mereka (Edens & Potter, 2008; Larkin, McDermott, Simon, & Simon, 1980; Whitin & Whitin, 2001). Sayangnya, kebanyakan siswa secara otomatis tidak menggunakan model statis visual sementara menyelesaikan masalah atau menciptakan suatu model yang tidak mencerminkan situasi matematika. Siswa membutuhkan bantuan dan panduan dari guru dan rekan sebaya yang berpengetahuan seperti mereka memilih, mengartikan, dan menciptakan model visual matematika (Abrams, 2001; Moyer & Jones, 2004). Penelitian ini menyatakan bahwa hubungan komplek ada diantara guru model statis visual yang menggunakan dalam pembelajaran, model mental siswa diciptakan untuk diri mereka sendiri, dan strategi siswa ketika menggunakan suatu model untuk menyelesaikan masalah.
Memvisualisasikan konsep pecahan
Suatu cara dimana siswa memahami konsep pecahan dan pemberian alasan proporsional telah secara luas ditinjau. Contoh, penelitian telah mengidentifikasi perbedaan dalam pemahaman siswa dari pecahan berdasarkan ciri-ciri tersendiri dan kuantitas berkelanjutan (DeWolf, Bassok, & Holyoak, 2013) dan menguji jalan pembelajaran siswa seperti mereka mengembangkan pemahaman pecahan (Martin, dkk.,  2013).  Sebagai bagian dari proyek angka rasional, Behr, Lesh, Post, and Silver (1983) mengidentifikasi empat sub konstruk matematika dari angka rasional—ukuran, rasio hasil bagi, rasio, dan operator (lihat juga Kieren, 1980; Lamon, 2007), dan Kieren (1981)  mengidentifikasi lima wajah pembangunan pengetahuan matematika dikaitkan dengan pemahaman angka rasional—matematika, visual, pengembangan, konstruktif, and simbolis.
Moss dan Case (1999) menyatakan bahwa anak-anak memiliki dua skema dimasukkan dalam keseluruhan angka pembelajaran: a) skema numerikal yang membolehkan siswa untuk belajar pondasi menghitung, dan suatu skema kuantitatif global yang membolehkan anak-anak untuk membuat penilaian global dari kuantitas. Ketika anak-anak sekitar usia 9-10 tahun, mereka juga memiliki dua skema kognitif untuk pecahan: evaluasi proporsional dan pemecahan (misal. Membagi dua). Skema kognitif ini membolehkan siswa untuk memahami proporsi relative dan semi –pemahaman abstrak dari pecahan dasari seperti ½ dan ¼.  Meskipun demikian, Lamon’s (2007) meringkas penetapan sekarang dari penelitian dalam pemberian alasan proporsional menyatakan bahwa penelitian dalam bidang ini butuh memasukkan diversifikasi pendekatan penelitian dan analisis mendalam dari pemikiran anak-anak.
Metode

Pertanyaan penelitian

Dalam studi ini kita menguji sejumlah sampel besar model solusi siswa untuk mengkonstruksikan ulang hubungan antara model statis visual dan solusi tertulis siswa untuk masalah pecahan. Keseluruhan pertanyaan penelitian untuk studi ini ditanyakan: bagaimana model statis visual mempengaruhi metode solusi tertulis siswa? Sub pertanyaan berikut ini memandu prosedur dan analisis koleksi data:
1.  Apakah jenis kesalahan konsepsi yang dilakukan solusi tertulis siswa secara umum dinyatakan dalam tugas pecahan dimasukkan baik dalam model statis visual yang diberikan atau yang diciptakan siswa?
2.  Apakah hubungan antara model statis visual yang diberikan atau model yang diciptakan siswa dari konsep pecahan dan solusi tertulis siswa dalam masalah tak terbatas?
Partisipan dan Pengaturan

Siswa yang berpartisipasi dalam studi ini adalah 162 siswa kelas tiga (75 lelaki, 87 wanita) dan 209 siswa kelas empat (100 lelaki, 109 wanita) dalam 17 ruang kelas. Pelayanan kelompok suku siswa, status sosio-ekonomi (SES/ Socio-Economic Status) dan pelajar bahasa Inggris (ELL/ English Language Learner) diidentifikasi oleh guru ruang kelas mereka dan daerah sekolah.  Kelompok suku siswa kelas tiga adalah Caucasian (75.0%), Hispanic (14.1%), campuran (4.5%), Asia (3.2%), dan African American (2.6%).  Kelompok suku kelas empat adalah Caucasian (78.4%), Hispanic (14.4%), campuran (4.6%), Asia, (1.0%), and penduduk Pulau Pacific (1.0%). Kira-kira setengah dari siswa menerima makan siang gratis atau diskon dan diklasifikasikan sebagai status sosio-ekonomi rendah (kelas tiga: 42.3%, kelas empat: 53.6%). Persentase kecil dari siswa menerima pelayanan pelajar bahasa Inggris (kelas tiga: 4.5%, kelas empat: 7.7%). 17 ruang kelas dalam dua daerah sekolah berbeda dalam delapan sekolah dasar berbeda di Amerika serikat barat.

Sumber Data & Instrumen-Instrumen

Sumber data utama untuk analisis ini adalah satuan item penilaian tak terbatas mengikuti suatu unit instruksi pecahan. Item tak terbatas ini datang dari empat database item ujian berbeda (National Assessment of Educational Progress/ penilaian nasional dari perubahan pendidikan, Massachusetts Comprehensive Assessment System/ sistem penilaian komprehensif Massachussetts, Utah Test Item Pool Service/ Pelayanan kelompok item ujian Utah, dan Virginia Standards of Learning/ standar Virginia pembelajaran) dan memasukkan representasi visual dan numerik dari konsep pecahan. Lima pendidik matematika meninjau item ujian untuk validitas isi dan ujian diprakarsai dalam enam daerah sekolah sebelum studi untuk menentukan kesulitan item dan ukuran reliabilitas (Moyer –Packenham, dkk., 2013).
Dengan bantuan peneliti universitas, guru ruang kelas mengatur penilaian pada akhir unit regular instruksi pecahan. Sasaran pembelajaran untuk unit ini dikaitkan secara langsung untuk standar kurikulum negara. Sasaran kelas tiga termasuk bagian persamaan pemahaman; pemahaman dan menggunakan daerah, satuan, dan model baris angka; pemberian nama dan menulis pecahan; membandingkan dan mengurutkan pecahan; dan memahami pecahan ekuivalen. Sasaran kelas empat termasuk membagi daerah ke dalam bagian pecahan; memahami bagian/ keseluruhan ide; membandingkan dan mengurutkan pecahan; mengidentifikasi angka anara pecahan; mengidentifikasi dan menghasilkan pecahan ekuivalen; membuat model tambahan dan pengurangan pecahan; dan menambah dan mengurangi pecahan.
Dua item penilaian tak terbatas yang membentuk dasar dari analisis ini menyoroti penggunaan siswa model statis visual dalam solusi tertulis mereka dan dibentuk untuk mengumpulkan informasi di luar respon sederhana yang benar atau tidak benar (Cai, Lane, & Jakabcsin, 1996). Tujuan dari tugas tak terbatas (open-ended) ini adalah untuk memahami hubungan antara model statis visual baik yang diberikan maupun yang diciptakan siswa dari konsep pecahan dan solusi tertulis siswa.  Tugas area membutuhkan siswa kelas tiga untuk mengartikan model pecahan ekuivalen.  Tugas Pizza disajikan siswa kelas empat dengan suatu situasi pecahan ekuivalen dari keseluruhan ukuran-berbeda.
Tugas Area.  Tugas Area (kelas 3) menilai pemahaman siswa dari pecahan ekuivalen dengan menyajikan siswa model area persegi 2 per 2 dari 3/4 dan model area persegi 4 per 4 dari 12/16. dalam satu jenis model untuk tugas, 12 persegi paling kecil dalam model 12/16 didiami ruang berdekatan dalam persegi lebih besar (lihat gambar 1a). Jenis model kedua untuk tugas menyajikan 12 persegi lebih kecil dalam ruang pencar di persegi lebih besar (lihat gambar 1b). Masalah membutuhkan siswa memutuskan jika setiap persegi memiliki pecahan yang sama dari area berbayang dan menjelaskan pemikiran mereka dengan diagram dan kata-kata.
Tugas Pizza.  Tugas Pizza (kelas 4)  menyajikan satu dari dua situasi berbagi yang serupa untuk siswa, (a) dua orang masing-masing makan setengah pizza berbeda dan (b) dua orang masing-masing makan pecahan ekuivalen dari pizza berbeda (4 di luar dari 10 iris dan 2 di luar dari 5 iris). Dalam setiap kasus, satu orang (José) mengklaim telah memakan lebih banyak pizza daripada orang lain (Ella). Kemudian masalahnya membutuhkan siswa menentukan bagaimana José dapat dibenarkan (lihat gambar 2). Dalam situasi ini José dapat dibenarkan jika pizza aslinya lebih besar daripada pizza Ella. Dengan kata lain, salah satu pizza keseluruhan dapat lebih besar daripada pizza keseluruhan yang lain. Tugas ini menilai pemahaman siswa dari hubungan keseluruhan bagian dalam pecahan menggunakan model daerah.
1a. Sam berkata bahwa dua persegi di bawah memiliki pecahan yang sama dari area berbayang. Menggunakan suatu gambar dan jelaskan bagaimana anda berpikir. Sam benar atau salah.
1b.Sam berkata bahwa dua persegi di bawah memiliki pecahan yang sama dari area berbayang. Menggunakan gambar dan menjelaskan kenapa anda berpikir Sam benar atau salah.
Gambar 1. Tugas Area untuk kelas tiga.
Pikir dengan hati-hati tentang pertanyaan berikut. Tulis jawaban yang lengkap. Anda mungkin menggunakan gambar, kata-kata, dan angka untuk menjelaskan jawaban anda.Pastikan untuk menunjukkan pekerjaan anda.
a. José makan ½ pizza, Ella makan ½ dari pizza lain.

José berkata bahwa dia makan lebih banyak pizza daripada Ella, tetapi Ella berkata mereka berdua makan jumlah pizza yang sama. Gunakan kata-kata dan gambar untuk menunjukkan bahwa José dapat dibenarkan.
b. Pizza diiris dalam 10 bagian yang sama dan José makan 4 iris dari pizza. Pizza lain diiris ke dalam 5 bagian yang sama dan Ella makan 2 iris pizza.

José berkata bahwa dia makan lebih banyak pizza daripada Ella, tetapi Ella berkata mereka berdua makan jumlah pizza yang sama. Gunakan kata-kata dan gambar untuk menunjukkan bahwa José dapat dibenarkan.
Gambar 2. Tugas Pizza untuk kelas empat
Analisis Data
Analisis kualitatif dalam pertanyaan tugas tak terbatas diikuti koleksi data dan termasuk kode terbuka dan aksial (Strauss & Corbin, 1998; Merriam, 2009; Moghaddam, 2006). Pertama, pasangan peneliti memberi skor suatu sampel solusi siswa untuk setiap masalah sebagai respon tepat atau tidak tepat. Respon yang tidak tepat kemudian dikategorikan penggunaan kode terbuka (misal., descriptive) untuk mengidentifikasi pola pola dalam kesalahan siswa. Berikutnya, peneliti menggunakan kode aksial untuk menguji kode descriptive. Peneliti mengelompokkan kategori serupa bersama-sama dan mengidentifikasi pola dan hubungan diantara kategori. Kode aksial dihasilkan dalam rubrik pemberian skor khusus-masalah berdasarkan model akurasi yang digunakan dalam mewakili matematika dan bagaimana siswa menggunakan model tersebut dalam solusi tertulis mereka.
Berikutnya, peneliti menggunakan rubrik skor untuk secara bebas memberi skor dan kode keseluruhan satuan dari 371 respon tak terbatas siswa. Setelah kode bebas, peneliti memenuhi untuk membandingkan kode dan membahas ketidaksesuaian. Dalam kasus ketidaksesuaian, peneliti membahas respon siswa khusus dan mencapai suatu keputusan konsensus. Suatu pengujian pola kesalahan lintas keseluruhan satuan data menyatakan pola tambahan, dan mengarahkan peneliti untuk merevisi rubrik pemberian skor pendahuluan untuk membedakan trend tersebut lebih dekat. Konsekuensinya, peneliti memberi skor dan kode keseluruhan satuan data waktu kedua berdasarkan rubrik yang direvisi (lihat gambar 3). Akhirnya, frekuensi dan persentase siswa dalam setiap kategori kode ditabulasikan untuk mengidentifikasi kesalahan umum dalam setiap tugas penilaian yang dihasilkan dalam menghasilkan hipotesis tentang hubungan antara  model statis visual dari konsep pecahan dan solusi tertulis siswa untuk masalah berdasarkan model tersebut.
3a. Rubrik untuk tugas Area
3b. Rubrik untuk tugas Pizza
Makna kode dari kode
Makna kode  dari kode
1. Secara lengkap salah: tidak ada percobaan ATAU mengindikasikan bahwa Sam salah
1. Equivalensi: Menetapkan bahwa pecahan adalah ekuivalen tanpa mempertimbangkan ukuran dari keseluruhan
2. Membenarkan gambar spatial atau penjelasan numerical: baik penjelasan tidak lengkap ATAU tidak menyediakan suatu gambar sebagai bukti
2. Bagian tidak rata: mengindikasikan bahwa hanya cara bagian José’s  dapat menjadi lebih besar jika bagian tidak dipotong secara rata
3. Membenarkan gambar spatial  DAN penjelasan numerical: Menjelaskan bahwa empat persegi kecil ekuivalen untuk satu persegi yang besar dan menyediakan gambar sebagai bukti
3. Fokus pada keseluruhan angka: mengindikasikan bahwa José terlihat pada keseluruhan angka dari pecahan ketika dibandingkan


4. Tepat: Menjelaskan atau gambar menunjukkan suatu perbedaan dalam ukuran dua pizza.
Gambar 3. Rubrik untuk pemberian skor item penilaian tak terbatas: tugas Area dan tugas Pizza.


Hasil

Keseluruhan pertanyaan penelitian untuk studi ini menanyakan: bagaimana model statis visual mempengaruhi metode solusi tertulis siswa?  Untuk menghasilkan hipotesis tentang hubungan ini, hasil untuk kedua item penelitian disajikan. Seksi pertama menyediakan frekuensi deskriptif dari kesalahan untuk setiap tugas penilaian. Seksi kedua menyediakan contoh descriptif bagaimana model statis visual yang diberikan dan yang diciptakan-siswa dikaitkan dengan solusi tertulis siswa dalam tugas penilaian. 
Frekuensi dari kesalahan konsepsi
Tugas Area.  Penelitian pertama sub pertanyaan menanyakan:  Apakah jenis kesalahan konsepsi yang dilakukan dalam solusi tertulis siswa secara umum menyatakan tugas pecahan termasuk model statis visual yang diberikan maupun yang diciptakan siswa? Solusi tertulis siswa kelas tiga untuk tugas Area menyatakan jarak luas pemahaman konseptual. Tabel 1 melaporkan distribusi siswa dari respon untuk 162 kelas tiga pada seiap jenis model dalam tugas ini.
Tabel 1
Distribusi respon untuk kelas tiga tugas area menurut jenis model
Respon
Tugas Area jenis Model

Persegi yang berdekatan
Persegi pencar
Gambar tepat DAN penjelasan
41 (25.3%) 
44 (27.1%)
Gambar tepat ATAU penjelasan
41 (25.3%) 
40 (24.7%)
Benar-benar salah
80 (49.4%) 
78 (48.1%)
Total
162
162
Seperti Tabel 1 menunjukkan, kira-kira setengah siswa kelas tiga tidak berhasil dalam tugas ini. Hanya kira-kira satu perempat dari siswa nmenyediakan kedua model lengkap dan akurat dan penjelasan. Respon diberi nilai tidak lengkap jika siswa sepakat bahwa model sama tetapi tidak menyediakan gambar atau penjelasan komprehensif. Level akurasi hampir tetap sama untuk dua model berbeda (berdekatan dan pencar) dalam tugas ini.
Tugas Pizza.  Solusi siswa kelas empa untuk tugas Pizza menyatakan jarak luas dari pemahaman konseptual yang berubah-ubah menurut model  untuk tugas. Tabel 2 melaporkan distribusi respon siswa untuk 209 siswa kelas empat pada setiap jenis model untuk tugas ini.
Tabel 2 Distribusi respon untuk tugas Pizza kelas empat menurut jenis model
Respon
Tugas Pizza jenis Model

1/2 & 1/2 
2/5 & 4/10
Tepat
43 (20.6%) 
10 (4.8%)
kesalahan pecahan ekuivalen
125 (59.8%) 
79 (37.8%)
Fokus pada keseluruhan kesalahan angka
20 (9.6%)
54 (25.8%)
Kesalahan bagian tidak seimbang
21 (10.0%)
9 (4.3%)
Tidak dijawab; tidak terbaca
0 (0%)
57 (27.2%)
Total
209
209
Seperti Tabel 2 menunjukkan, siswa kelas empat lebih berhasil dengan model “½ and ½” daripada dengan model “2/5 and 4/10” dari tugas Pizza (20.6% dibandingkan dengan 4.8%). Suatu pengujian respon siswa menyatakan tiga kesalahan umum siswa. Pertama, siswa paling umum mengklaim bahwa José salah sebab pecahan ekuivalen (misal, ½ = ½, 2/5 = 4/10). Karena itu, mereka menyimpulkan bahwa kedua anak-anak makan jumlah yang sama dan tidak mempertimbangkan bahwa dua keseluruhan memiliki ukuran berbeda. Kedua, kebanyakan siswa menyatakan bahwa José’ salah dengan membandingkan keseluruhan angka numerator and denominator. Contoh, satu siswa membagi pizza José’ ke dalam delapan seksi dan menyatakan bahwa José berpikir bahwa 4/8 lebih besar daripada ½ sebab 4 lebih besar daripada 1. kesalahan ini terjadi lebih sering dalam tugas “2/5 dan 4/10” (25.8%) daripada tugas “½ dan ½” (9.6%). Akhirnya, beberapa siswa beralasan bahwa porsi pizza José harus dipotong sedikit lebih besar daripada bagian lain. Sepuluh persen siswa menawarkan penjelasan ini untuk tugas “½ dan ½”, tetapi hanya 4.3% dari siswa menawarkan penjelasan serupa untuk tugas “2/5 dan 4/10”. Secara keseluruhan, tugas ini kelihatan bahwa siswa memiliki kesulitan memvisualisasikan suatu model dengan pizzadari dua ukuran berbeda.
Hubungan antara model statis visual dan solusi tertulis siswa
Tugas Area.  Sub pertanyaan penelitian kedua menanyakan:  Apakah hubungan antara model statis visual yang diberikan atau yang diciptakan siswa dari konsep pecahan dan solusi tertulis siswa pada masalah tak terbatas?  Meskipun siswa kelas tiga menunjukkan kemiripan pada kedua jenis model untuk tugas Area, suatu pengujian akhir pekerjaan siswa mengindikasikan perbedaan dalam bagaimana model statis visual dikaitkan dengan solusi tertulis siswa. Ketika bekerja dengan model persegi yang berdekatan dari tugas ini, penjelasan tertulis siswa yang berhasil lebih sering mengacu pada tindakan “[bergerak/ moving] persegi gelap ke dalam ruang kosong” (lihat gambar 4).
4a.  4b.
Gambar 4. Penggunaan berhasil dari model dalam tugas Area (model berdekatan).
Gambar 5. Penggunaan tidak berhasil dari model dalam tugas Area (model berdekatan).
Siswa yang tidak berhasil tidak menyediakan informasi tertulis dalam respon mereka yang mengindikasikan bahwa mereka mampu memvisualisasikan tindakan ini.  Hal ini besar kemungkinan bahwa siswa ini hanya menganggap dua model tidak identik, dan karena itu menyimpulkan bahwa model tidak mewakili pecahan ekuivalen (lihat gambar 5).
Ketika bekerja dengan model persegi pencar untuk tugas ini, penjelasan tertulis siswa yang berhasil lebih sering mengidentifikasi empat persegi lebih kecil sebagai ekuivalen hingga persegi yang lebih besar (lihat gambar 6a). Siswa yang tidak berhasil secara khas fokus hanya pada angka persegi dan tidak pada ukuran persegi untuk menentukan jika jumlah adalah ekuivalen (lihat gambar 6b).
6a.  6b.
Gambar 6. Penggunaan berhasil dan tidak berhasil dari model dalam tugas Area (model pencar).
Pizza task.  Tugas Pizza tidak menyediakan model statis visual bagi siswa dari suatu masalah. Sebagai ganti, model membutuhkan siswa mengembangkan model statis visualnya sendiri dari suatu situasi (lihat gambar 7).
Gambar 7. Penggunaan yang berhasil dari model yang dihasilkan siswa dalam tugas Pizza (model “½ and ½”).
Keberhasilan siswa dalam menyelesaikan tugas ini sangat terletak pada keterampilan visualisasi mereka sendiri daripada interpretasi mereka dari suatu model statis yang diberikan. Contoh, berdasarkan gambar mereka, sebagian besar siswa memvisualisasikan dua pizza dari ukuran yang sama atau satu pizza yang dipotong setengah (lihat gambar 8).
Gambar ini mewakili pandangan terbatas dari kemungkinan solusi dari tugas ini; siswa tidak mempertimbangkan kemungkinan keseluruhan ukuran berbeda. Meskipun begitu kebanyakan siswa menunjukkan keahlian dengan mengidentifikasi pecahan ekuivalen, fokus mereka pada ekuivalensi pecahan mencegah mereka dari pertimbangan kemungkinan keseluruhan ukuran berbeda.  Dalam kasus tugas Pizza,  kesalahan siswa mungkin telah disebabkan oleh kesalahan interpretasi dari masalah daripada oleh kesalahan konsepsi matematis dari suatu pecahan.
8a.
8b.
Gambar 8.  Penggunaan yang tidak berhasil dari model yang dihasilkan siswa dalam tugas Pizza (“model ½ and ½”).
Gambar 9.  Penggunaan yang tidak berhasil dari model yang dihasilkan siswa dalam tugas Pizza (“model 2/5 and 4/10”).
Kadang-kadang, model digambar oleh siswa sebenarnya merintangi keberhasilan mereka dengan suatu tugas.
Contoh, gambar 9 menunjukkan gambar siswa dari sepuluh irisan pizza lebih kecil (José) sejajar dengan lima irisan pizza lebih besar (Ella). Kemudian siswa menggambar baris untuk membandingkan akhir dari empat irisan José dan dua irisan Ella. Sayangnya, meskipun begitu siswa dengan tepat menyimpulkan bahwa José makan lebih banyak pizza, model ini tidak secara akurat menggambarkan hubungan antara dua pecahan.
Pembahasan
Studi ini menggunakan sampel besar dari model solusi siswa untuk mengkonstruksi ulang hubungan antara model statis visual dan solusi tertulis siswa untuk masalah pecahan. Hasil mengindikasikan bahwa kesalahan siswa umum dikaitkan dengan bagaimana siswa mengartikan model yang diberikan maupun model mereka sendiri dari situasi masalah. Hasil juga mengindikasikan bahwa fleksibilitas siswa dengan model statis visual dikaitkan dengan keberhasilan solusi tertulis. Hasil ini dibahas dlaam seksi yang berikut.
Apakah jenis kesalahan konsepsi yang dilakukan solusi tertulis siswa secara umum menyatakan tugas pecahan termasuk model statis visual yang diberikan maupun yang diciptakan siswa?
Studi ini menyoroti dua kesalahan konsepsi siswa ketika mengembangkan pemahaman situasi pecahan. Pertama, dalam tugas Area, siswa yang tidak berhasil dengan model persegi pencar seringkali fokus pada angka dan bukan ukuran dari persegi untuk menentukan ekuivalensi. Penjelasan yang tidak tepat siswa dan jawaban menunjukkan bahwa mereka kemungkinan mempertimbangkan keseluruhan angka, daripada pecahan dalam membuat perbandingan. Hasil ini mendukung penemuan penelitian terkini yang dari usia muda, angka mungkin lebih berpengaruh daripada ukuran dalam penyelesaian masalah kuantitatif anak-anak (misal., Libertus, Starr, & Brannon, 2013).
Dalam tugas Pizza, sebagian besar siswa membuat asumsi bahwa pizza adalah ukuran yang sama. Sebab ini, siswa tidak mampu untuk menghasilkan model akurat dari contoh-perhitungan matematis. Penjelasan yang mungkin dari kesulitan siswa dengan masalah ini adalah bahwa siswa tidak mengaitkan kontek pizza matematis terhadap pizza dalamn dunia nyata yang memiliki banyak ukuran berbeda. Penemuan ini konsisten dengan pengamatan Verschaffel, Greer, and De Corte’s (2007) yang tanpa koneksi terhadap matematika dunia nyata, siswa cenderung menahan pertimbangan mereka dan “menjawab masalah kata tanpa memperhitungkan pertimbangan realistik tentang situasi yang dijelaskan dalam teks” (hal. 586). Kesulitan siswa dengan pertimbangan tugas Pizza juga konsisten dengan studi lain yang melaporkan kecenderungan siswa memberi jawaban terhadap masalah kata tanpa mempertimbangkan dampak dunia nyata dari situasi yang diberikan (Baruk, 1985; Greer, 1993; Verschaffel, dkk., 1994).
Penjelasan yang mungkin lain dari kesulitan siswa dengan masalah ini adalah bahwa mereka salah mengartikan tugas. Menurut teori kelas koordinasi diSessa’s (2002), siswa memberi perhatian terhadap apa yang mereka pertimbangkan kenyataan paling penting dari situasi masalah dan mendisain strategi solusi mereka sesuai dengan itu. Contoh, mengukur kesalahan sementara memotong irisan pizza mungkin menjadi interpretasi yang nyata.  Ketika berbagi suatu pizza, sejumlah bagian dibagikan biasanya lebih signifikan daripada ukuran bagian. Hal ini mungkin secara parsial menjelaskan beberapa kepercayaan siswa pada keseluruhan jumlah pemikiran dalam situasi ini. Karena itu, hal ini dapat dinyatakan bahwa kesulitan siswa dengan tugas Pizza berasal dari kesalahan interpretasi, daripada kesalahan konsepsi (misal, berlatih yang baik dan mempercayai ide yang tidak tepat). Beberapa interpretasi membuat beberapa pertimbangkan dalam dunia nyata bahkan jika mereka tidak sesuai dunia matematika.
Hasil penting untuk dipertimbangkan adalah bahwa dua model tugas pizza menimbulkan jawaban berbeda dan kesalahan konsepsi siswa. Dalam model “½ dan ½”, lebih dari setengah (59.8%) dari siswa tidak tepat menggunakan pecahan ekuivalen (misal, ½ = ½, jadi dua porsi harus sama) untuk membenarkan jawaban mereka. Namun, dalam model “2/5 dan 4/10”, hanya 37.8% siswa menggunakan alasan yang sama. Dengan cara yang sama, siswa kemungkinan lebih mempertimbangkan numerator dan denominator sebagai keseluruhan angka dalam model “2/5 dan 4/10” daripada model “½ dan ½”. Penemuan ini menyatakan bahwa siswa memiliki gambar konsep kuat (Tall & Vinner, 1981)  dari pecahan seperti satu setengah, tetapi bukan pecahan seperti 2/5 atau 4/10—kemungkinan sebab mereka telah memiliki banyak pengalaman melihat representasi ulang (Scaife & Rogers, 1996) dari ½ dan sebab daerah bundar sulit untuk diukur secara tepat ketika menggambar model pecahan. Mereka sedikit mungkin membandingkan atau mengoperasikan dalam numerator dan denominator dari satu setengah (atau pecahan ekuivalen terhadap satu setengah) sebab gambar konsep ini.  Pola ini mencerminkan dua jenis skema kognitif—numerical dan kuantitatif global—dijelaskan oleh Moss dan Case (1999).  Skema kognitif ini membolehkan anak-anak memahami proporsi relatif dan pemahaman semi abstrak dari pecahan dasar seperti ½ dan ¼.  Apalagi, memberi alasan dengan model 2/5 dan 4/10 melibatkan koordinasi ukuran dan operator sub konstruk (Behr, Lesh, Post, & Silver, 1983) membuat skema lebih sulit daripada memberi alasan dengan model ½. Hal ini menjelaskan kemampuan anak-anak untuk bekerja dengan model ½ lebih berhasil daripada model 2/5 dan 4/10.
Apakah hubungan antara model statis visual yang diberikan atau yang diciptakan siswa dari konsep pecahan dan solusi tertulis siswa pada masalah tak terbatas?
Suatu model dimana pengalaman siswa, baik secara visual maupun secara mental, dikaitkan pada solusi tertulis siswa terhadap masalah. Hasil dari studi ini memberikan cara dimana siswa menggunakan model ini. Pertama, dalam tugas Area, sebagaian besar siswa melengkapi tugas secara tepat tanpa berhadapan langsung dengan pecahan sebab mereka mampu menggunakan model. Sebagai ganti menghitung persegi untuk menentukan pecahan ekuivalen (misal., menggunakan konservasi rasio), mereka membuktikan ekuivalensi dengan memvisualisasikan persegi bergerak ke lokasi berbeda. Pergerakan persegi tersebut mendukung gagasan Piaget (1952) dari konservasi area.  Meskipun demikian, meletakkan gambar model itu sendiri mungkin juga mengalihkan perhatian siswa jauh dari hubungan numerical diantara angka pecahan.  Sepanjang tidak ada bagian model dihapus atau dimasukkan, model masih akan mewakili jumlah yang sama tanpa mengabaikan lokasi bagian.  Beberapa siswa menulis solusi berdasarkan konservasi rasio, tetapi mayoritas siswa dalam studi ini meletakkan konservasi area dalam solusi tertulis mereka.  Kemampuan untuk mengartikan model statis visual dari pecahan dalam cara ini mungkin mendahului pemahaman konsep pecahan.
Kedua, dalam Pizza, siswa tidak memberikan model statis visual dalam mendasarkan solusi mereka. Keberhasilan mereka dengan tugas ini bergantung pada kemampuan mereka untuk memvisualisasikan situasi dengan dua keseluruhan ukuran berbeda. Mayoritas besar dari siswa tidak mampu menyelesaikan dua model berbeda dari tugas ini (79.4% dan 95.2%, secara berurutan).  Jelasnya, generasi diri dari representasi adalah permintaan lebih kognitif daripada bekerja dengan representasi yang diberikan (Clark, Nguyen, & Sweller, 2006; Woleck, 2001).  Penemuan ini menyatakan bahwa pandangan terbatas siswa dari model pecahan menghalangi keberhasilan mereka pada tugas ini. Seperti dicatat di atas, ketika siswa gagal untuk memvisualisasikan konsep matematika dalam dunia nyata, mereka mengembangkan konsepsi terbatas dari makna matematika. Kemampuan siswa memvisualisasikan konsep matematika baik proses dan produk pengalaman kualitas dalam matematika (Arcavi, 2003). Hasil ini juga mendukung penemuan van Garderen’s (2006) dimana keterampilan visualisasi yang dikembangkan dengan baik sangat berkontribusi pada pencapaian tinggi keberhasilan siswa dalam matematika.
Kesimpulan
Hasil dari studi ini mengindikasikan bahwa hanya dipresentasikan dengan model statis visual dalam situasi penilaian tidak menjamin bahwa siswa akan mampu secara berhasil menghasilkan model mereka sendiri atau menggunakan model yang diberikan untuk menyelesaikan masalah matematika secara akurat. Analisis menyatakan bahwa kesalahan konsepsi umum dikaitkan bagaimana siswa mengartikan baik model yang diberikan maupun model dari situasi mereka sendiri.  Perbedaan dalam solusi tertulis siswa dapat dipengaruhi oleh strategi instruksional atau penampakan lain terhadap representasi matematis termasuk situasi dunia nyata. Kita menghipotesiskan bahwa ketika siswa memiliki pemahaman tepat dari situasi matematika dunia nyata, mereka dapat berhasil menciptakan dan mengartikan model statis visual untuk mempertimbangkan matematika.  Seperti memanipulasi objek mental dan mempertimbangkan aplikasi dunia nyata, mereka secara aktif berpartisipasi dalam konstruksi pengetahuan mereka dan mengembangkan keterampilan visualisasi. Berdasarkan hasil studi ini, penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk menentukan faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa dari model statis visual.
 
Referensi

Abrams, J. P. (2001). Teaching mathematical modeling and the skills of representation. In A. A. Cuoco & F. R. Curcio (Eds.),  The Roles of Representation in School Mathematics, 2001 Yearbook (pp. 269-282). Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.
Arcavi, A. (2003). The role of visual representations in the learning of mathematics. Educational Studies in Mathematics, 52(3), 215–241.
Baruk, S. (1985). L’âge du capitaine. De l’erreur en mathématiques.  [The captian’s age. About errors in mathematics]. Paris: Seuil.
Behr, M., Lesh, R., Post, T., & Silver, E. (1983). Rational number concepts. In R. Lesh & M. Landau (Eds.),  Acquisition of Mathematics Concepts and Processes  (pp. 91-125). New York: Academic Press.
Cai, J., Lane, S., & Jakabcsin, M. S.  (1996). The role of open-ended tasks and holistic scoring rubrics: Assessing students’ mathematical reasoning and communication. In P. C. Elliott (Ed.), Communication in Mathematics, K-12 and Beyond (pp. 137-145). Reston, VA: The National Council of Teachers of Mathematics.
Carpenter, T. P., Fennema, E., & Franke, M. L. (1996). Cognitively guided instruction: A knowledge base for reform in primary mathematics instruction.  The Elementary School Journal, 97(1), 3–20.
Clark, R., Nguyen, F., & Sweller, J. (2006). Efficiency in learning: Evidence-based guidelines to manage cognitive load. San Francisco, CA: Pfeiffer.
Council of Chief State School Officers and National Governors Association. (2010). Common Core Standards. Retrieved from http://www.corestandards.org/about-the-standards/key-points-in-mathematics.
DeWolf, M, Bassok, M, & Holyoak, K. J. (2013). Analogical reasoning with rational numbers: Semantic alignment based on discrete versus continuous quantities. In M. Knauf, M. Pauven, N. Sebanz, & I.  Wachsmuth (Eds.), Proceedings of the 35th Annual Conference of the of the Cognitive Science Society  (pp. 388-393). Austin, TX: Cognitive Science Society.
DiSessa, A. A. (2002). Why “conceptual ecology” is a good idea." In M. Limón & L. Mason (Eds.).  Reconsidering Conceptual Change: Issues in Theory and Practice  (pp. 29-60). Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
Edens, K., & Potter, E. (2008). How students "unpack" the structure of a word problem: graphic representations and problem solving. School Science And Mathematics, 108(5), 184-196.
Greer, B. (1993).  The modeling perspective on wor(l)d problems.  Journal of Mathematical Behavior, 12, 239-250.
Hill, H. C., Rowan, B., & Ball, D. L. (2005). Effects of teachers’ mathematical knowledge for teaching on student achievement.  American Educational Research Journal,  42(2), 371–406. doi:10.3102/00028312042002371
Kieren, T. E. (1980). The rational number construct: Its elements and mechanisms. In T. E. Kieren (Ed.),  Recent Research on Number Learning  (pp. 125-150). Columbus, OH: ERIC/SMEAC.
Kieren, T. E. (1981). Five faces of mathematical knowledge building. Edmonton: Department of Secondary Education, University of Alberta.
Lamon, S. (1996).  The development of unitizing: Its role in children's partitioning strategies. Journal for Research in Mathematics Education, 27(2), 170-193.
Lamon, S. (2007). Rational numbers and proportional reasoning: Toward a theoretical framework for research. In F.  K. Lester (Ed.),  Second Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning  (Vol. 1,  pp. 629-667). Charlotte, NC: Information Age Publishing Inc.
Larkin, J., McDermott, J., Simon, D.P., & Simon, H. A. (1980). Expert and novice performance in solving physics problems. Science, 208(20), 1335-1342.
Lesh, R., Post, T., & Behr, M. (1987). Representations and translations among representations in mathematics learning and problem solving. In C. Janvier (Ed.),  Problems of Representation in the Teaching and Learning of Mathematics  (pp. 33-40). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Libertus, M. E., Starr, A., & Brannon, E. M. (2013). Number trumps area for 7-month-old infants. Developmental Psychology, doi:10.1037/a0032986
Martin, T., Aghababyan, A., Pfaffman, J., Olsen, J., Baker, S., Janisiewicz, P., ... & Smith, C. P. (2013, April). Nanogenetic learning analytics: Illuminating student learning pathways in an online fraction game. In Proceedings of the Third International Conference on Learning Analytics and Knowledge (pp. 165-169). ACM.
Martin, T., Svihla, V., & Petrick Smith, C. (2012). The role of physical action in fraction learning. Journal of Education and Human Development, 5(1).
Merriam, S. B. (2009).  Qualitative research: A guide to design  and implementation  (3rd ed.). San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Moghaddam, A. (2006). Coding issues in grounded theory.  Issues in Educational Research, 16(1), 52–66. http://www.iier.org.au/iier16/moghaddam.html
Moseley, B., & Okamoto, Y. (2008). Identifying  fourth graders' understanding of rational number representations: A mixed methods approach. School Science And Mathematics, 108(6), 238-250.
Moss, J., & Case, R. (1999). Developing children’s understanding of the rational numbers: A new model and an experimental curriculum.  Journal for Research in Mathematics Education, 30(2), 122-147.
Moyer, P. S., Bolyard, J. J., & Spikell, M. A. (2002). What are virtual manipulatives?  Teaching Children Mathematics, 8(6), 372–377.
Moyer, P. S., & Jones, M. G. (2004). Controlling choice: Teachers, students, and manipulatives in mathematics classrooms. School Science and Mathematics, 104(1), 16-31.
Moyer-Packenham, P., Baker, J., Westenskow, A., Anderson, K., Shumway, J., Rodzon, K., & Jordan, K., The Virtual Manipulatives Research Group at Utah State University. (2013). A study comparing virtual manipulatives with other instructional treatments in third- and fourth-grade classrooms. Journal of Education, 193(2), 25-39.
Moyer-Packenham, P. S., Ulmer, L. A., & Anderson, K. L.  (2012). Examining pictorial models and virtual manipulatives for third-grade fraction instruction.  Journal of Interactive Online Learning, 11(3), 103–120.
National Council of Teachers of Mathematics. (2000).  Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: Author.
National Mathematics Advisory Panel (2008).  Foundations for success: The final report of the National Mathematics Advisory Panel. Washington, DC: U. S. Department of Education.
Ng, S. F., & Lee, K. (2009). The model method: Singapore children’s tool for representing and solving algebraic word problems. Journal for Research in Mathematics Education, 40(3), 282-313.
Piaget, J. (1952). The child’s conception of number. New York: Humanities Press.
Sedig, K., & Liang, H.-N. (2006). Interactivity of visual mathematical representations: Factors affecting learning and cognitive processes.  Journal of Interactive Learning Research, 17(2), 179–212.
Scaife, M., & Rogers, Y. (1996). External cognition: how do graphical representations work? International Journal of Human-Computer Studies,  45(2), 185–213. doi:10.1006/ijhc.1996.0048
Strauss, A., & Corbin, J. (1998).  Basics of qualitative research: Techniques and procedures for developing grounded theory. Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc.
Tall, D., & Vinner, S. (1981). Concept image and concept definition in mathematics with particular reference to limits and continuity.  Educational Studies in Mathematics, 12(2), 151-169.
Van Garderen, D. (2006). Spatial visualization, visual imagery, and mathematical problem solving of students with varying abilities.  Journal of Learning Disabilities,  39(6), 496–506. doi:10.1177/00222194060390060201
Verschaffel, L., De Corte, E., & Lasure, S. (1994). Realistic considerations in mathematical modeling of school arithmetic word problems. Learning and Instruction, 4, 273-294.
Verschaffel, L., Greer, B., & De Corte, E. (2007). Whole number concepts and operations. In F. K. Lester (Ed.),  Second handbook of research on mathematics teaching and learning (Vol. 1, pp. 557–628). Charlotte, NC: Information Age Publishing Inc.
Whitin, P., & Whitin, D. (2001). Using literature to invite mathematical representations. In A. A. Cuoco & F. R. Curcio (Eds.),  The Roles of Representation in School Mathematics, 2001 Yearbook (pp. 228-237). Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.
Woleck, K. R. (2001). Listen to their pictures; An investigation of children’s mathematical drawings. In A. A. Cuoco & F. R. Curcio (Eds.),  The Roles of Representation in School Mathematics, 2001 Yearbook  (pp. 215-  227). Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.
Wu, H. (2005, April).  Key mathematical ideas in grades 5–8.  Paper presented at National Council of Teachers of Mathematics Annual Meeting, Anaheim, CA.
Yeh, Y. Y., &  McTigue, E. M. (2009). The frequency, variation, and function of graphical representations within standardized state science tests. School Science And Mathematics, 109(8), 435-449.


[1] K. L. Anderson-Pence, Assistant Professor in the Department of Curriculum and Instruction at
the University of Colorado Colorado Springs
[2] P. S. Moyer-Packenham, Professor and the Director of Mathematics Education and Leadership
in the School of Teacher Education and Leadership at Utah State University. Email:
patricia.moyer-packenham@usu.edu
[3] A. Westenskow, Director of the Tutoring Intervention and Mathematics Enrichment Clinic in
the School of Teacher Education and Leadership at Utah State University. Email:
arlawestenskow@gmail.com
[4] J. Shumway, Doctoral Candidate in the School of Teacher Education and Leadership at Utah
State University. Email: jfshumway10@gmail.com
[5] K. Jordan, Associate Professor in the Department of Psychology at Utah State University.
Email: kerry.jordan@usu.edu

Jumat, 01 Juli 2016

thumbnail

Prinsip Dasar Pemikiran AHP (Analytic Hierarchy Process)



1.      Membuat Model Hirarki (Structuring Hierarchy)
Proses identifikasi masalah dilanjutkan dengan penguraian (decomposition) permasalahan atau elemen menjadi unsur-unsur terkecil sehingga tidak dapat diuraikan/dijabarkan lagi. Penguraian masalah dipecah menjadi beberapa level hirarki (lihat gambar 1 di bawah ini).
Gambar 1 Model hirarki 


2.  Menentukan Nilai Prioritas (Setting priorities)
Membandingkan diantara dua criteria (pairwise comparisons) kemudian membedakannya berdasarkan tingkat preferensi.
Tabel 1 Skala AHP
Skala
Definisi
Keterangan
Zona Persepsi
1
Sama-sama penting
A sama-sama penting dibanding B
Sama
2
Nilai tengah jika ragu memilih 1 atau 2
3
Sangat sedikit lebih penting
A sangat sedikit lebih penting dibanding B
Berbeda sedikit
4
Nilai tengah jika ragu memilih 3 atau 5
5
Sedikit lebih penting
A sedikit lebih penting dibanding B
6
Nilai tengah jika ragu memilih 5 atau 7
7
Jauh lebih penting
A jauh lebih penting dibanding B
Berbeda jauh
8
Nilai tengah jika ragu memilih 7 atau 9
9
Sangat jauh lebih penting
A sangat jauh lebih penting dibanding B
Resiprokal angka 1 s.d. 9
Jika A jauh lebih penting dibanding B dengan skala 7, maka B jauh lebih penting dibanding A dengan skala 1/7.
Jika A “7 kali” lebih penting dibanding B, maka B adalah “1/7 kali” lebih penting dari A

Contoh kuesioner
Dengan membandingkan (“menimbang-nimbang”) antar-dua kriteria berikut, KRITERIA manakah menurut anda yang lebih PENTING?
(1 = Sama-sama penting, 3 = Sangat sedikit lebih penting, 5 = Sedikit lebih penting, 7 = Jauh lebih penting, 9 = Sangat jauh lebih penting).
Tabel 2 Contoh kuesioner pairwise comparisons
No

KIRI

ê
KIRI … lebih penting dibanding KANAN

KANAN … lebih penting dibanding KIRI
KANAN
ê
Sangat jauh

Jauh

Sedikit

Sangat sedikit

Sama

Sangat sedikit

Sedikit

Jauh

Sangat jauh
1
Aspek Ekonomi (Harga tanah, Biaya produksi (Biaya perijinan, biaya pembelian bahan bangunan, dan lain-lain), Kedekatan dengan tenaga kerja, ketersediaan sumber air, Kedekatan dengan sumber tenaga listrik)
9

7

5
3

1

3

5

7

9
Aspek sosial (Kedekatan dengan pemukiman penduduk—ramai/ sepi, Sikap masyarakat, Keadaan lingkungan—keamanan, Tata ruang kota (Rencana Tata Ruang Wilayah/ RTRW)

Jika menurut anda kriteria ekonomi sangat sedikit lebih penting dibanding dengan kriteria sosial maka lingkarilah angka 3 (lihat tabel 1, skala AHP)
Gambar 2 Matrik Pairwise Comparisons untuk Kriteria (Level II)




Rumus:
Kolom F  =PRODUCT (B5:E5)^(1/4)
^(1/4) sama dengan akar pangkat 4 artinya matrik tersebut merupakan matrik 4 (4 kolom dan 4 baris). Jika jumlah matrik 5 (5 kolom dan 5 baris) maka harus ^(1/5), dan seterusnya.
Kolom G merupakan bobot /vektor prioritas (eigenvector) =F5/F$9
Kolom H perkalian antar matrik atau rata-rata bobot atau bobot relatif {=MMULT(B5:E8,G5:G8)}
Kolom I  merupakan eigenvalue (Lambda) =H5/G5

3.  Mengukur Konsistensi (Logical consistency)
Menurut Thomas L. Saaty (1990:18) konsistensi memiliki dua makna, yaitu pertama konsisten karena memiliki kesamaan objek yang digolongkan ke dalam kelompok menurut homogenitas dan relevansinya. Misalnya, anggur dan jeruk dikelompokkan (homogenitas) ke dalam buah yang berbentuk bulat, relevan jika kriterianya adalah bulat. Tetapi mungkin tidak relevan jika kriterianya adalah rasa. Kedua, konsisten karena intensitas hubungan diantara objek berdasarkan kriteria tertentu bersifat transitif. Misalnya, madu dinilai 5 kali lebih manis daripada gula. Gula 2 kali lebih manis daripada tebu, maka madu 10 kali lebih manis daripada tebu.
AHP mengukur konsistensi dengan consistency ratio (CR). Mula-mula hi­tung dulu consistency index (CI), yang menggam­barkan deviasi pre­fe­ren­si dari konsistensinya:
di mana  adalah jumlah elemen yang hendak dibanding­kan, dan  ada­lah eigenvalue terbesar. Kemudian hitung CR, yaitu CI di­bagi dengan random index (RI).

Tabel 3 Indeks Random

Nilai CR ini diusa­hakan tidak lebih dari 10 persen. Pelangga­ran se­rius ter­hadap konsistensi akan menjurus pada pe­ng­ambi­lan keputusan yang keli­ru.