Translate

Tampilkan postingan dengan label Terjemahan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 September 2016

thumbnail

Hubungan Antara Model Statis Visual dan Solusi tertulis Siswa terhadap Tugas Pecahan


Katie L. Anderson-Pence[1], University of Colorado Colorado Springs
Patricia S. Moyer-Packenham[2], Utah State University
Arla Westenskow[3], Utah State University
Jessica Shumway[4], Utah State University
            Kerry Jordan[5], Utah State University    

Tujuan studi ini untuk mengkonstruksikan ulang hubungan antara model statis visual dan solusi tertulis siswa terhadap masalah pecahan menggunakan sampel besar dari solusi siswa. Partisipan dalam studi ini terdiri dari 162 siswa kelas tiga dan 209 kelas empat dari 17 ruang kelas berbeda. Respon tertulis siswa terhadap tugas tak terbatas diuji untuk menentukan solusi dan kesalahan umum ketika menggunakan model statis visual. Hasilnya mengindikasikan bahwa (a) kesalahan siswa umum terkait dengan bagaimana siswa mengartikan model yang diberikan atau model mereka sendiri dari suatu situasi, dan (b) fleksibilitas siswa dengan model statis visual dikaitkan dengan keberhasilan solusi menulis. Siswa dengan kesalahan secara umum menunjukkan suatu kekurangan dari fleksibilitas mereka sendiri dalam mengartikan dan model statis visual yang diberikan. Hipotesis peneliti bahwa siswa menunjukkan berbagai representasi matematis mempengaruhi kemampuan mereka untuk secara fleksibilitas menggunakan representasi visual statis. Mereka merekomendasikan bahwa siswa memiliki suatu pemahaman mendalam dari situasi matematis dunia nyata dalam rangka menciptakan secara sukses dan mengartikan model statis visual matematika.
Kata kunci: pecahan, pendidikan matematika, matematika dunia-nyata, persepsi visual, model statis visual, visualisasi.
Pengantar        
Suatu pemahaman dari pecahan menyediakan suatu pondasi untuk keberhasilan dalam pembelajaran di masa depan dari topik matematika, seperti, rasio, proporsi, persentase, desimal, and aljabar (National Mathematics Advisory Panel / Panel laporan matematika nasional, 2008;  Council of Chief State School Officers [CCSSO] and National Governors Association [NGA], 2010). Disebabkan kepentingan pemahaman pecahan, dokumen sepertgi prinsip dan standar untuk matematika sekolah (National Council of Teachers of Mathematics [NCTM], 2000),  pondasi untuk keberhasilan (National Mathematics Advisory Panel, 2008), and the standar negara inti umum untuk matematika (CCSSO and NGA, 2010) sangat merekomendasikan fokus dalam pecahan dari kelas empat hingga kelas delapan.. meskipun demikian, kebanyakan siswa berjuang dengan pecahan dasar dan konsep angka rasional dalam level kelas ini (Lamon, 2007; Wu, 2005). Suatu kekurangan dari keterampilan visualisasi menawarkan satu penjelasan untuk kesulitan siswa dengan pecahan. Visualisasi konsep matematika memainkan peran penting seberapa baik siswa menerapkan pemahaman pecahan mereka untuk situasi baru (Arcavi, 2003).
Standar negara inti umum untuk matematika (CCSSO and NGA,  2010) merekomendasikan bahwa siswa “model dengan matematika” dan “menggunakan alat yang tepat secara strategis” (hal.7). ketika siswa mengembangkan fasilitas dengan model dan alat untuk berpikir, mereka mampu menganalisa situasi, menggambarkan kesimpulan, dan membuat hubungan untuk domain lain dari matematika. Apalagi, standar dikembangkan oaleh NCTM menekankan kepentingan dari representasi konsep matematika daripada penyelesaian masalah (2000).  Sedig and Laing  (2006)  menjelaskan representasi matematika visual sebagai “representasi grafis yang menyandikan penyebab, fungsi, struktur, logika, dan, bahan semantik dan hubungan struktur matematika, objek, consep, masalah, pola, dan ide” (2006, hal. 180). Model visual statis, seperti yang telah diuji dalam studi ini, adalah suatu jenis khusus dari representasi matematika visual yang terdiri dari gambar piktorial tetap dari konsep matematika. Sementara model statis visual menyediakan satu metiode representasi dan penyelesaian masalah dengan matematika, representasi tersebut yang secara umum tampak dalam lembar kerja atau ujian, mungkin memiliki suatu elemen yang tidak akrab terhadap siswa atau yang tidak sesuai representasi mental siswa itu sendiri. Model visual yang tidak akrab mungkin berdampak bagaimana siswa mengartikan suatu masalah. Tujuan dari  studi ini untuk mengkonstruksikan ulang hubungan antara model statis visual dan solusi tertulis siswa terhadap masalah pecahan menggunakan suatu sampel besar solusi siswa. Dengan menggunakan sampel besar model solusi siswa, kita berharap untuk mengidentifikasi pola dan untuk menghasilkan hipotesis tentang bagaimana siswa menggunakan model mengarah pada keberhasilan atau keluaran penyelesaian masalah yang tidak berhasil. Jenis kebalikan ini menghasilkan hipotesis, menggunakan data besar satuan pola dan hubungan untuk menghasilkan teori,  memiliki suatu potensi untuk menjembatani pembelajaran (misal, bagaimana siswa mengembangkan dan menggunakan model) dengan praktek pengajaran (misal, bagaimana guru mendukung siswa mengembangkan model pecahan) (Carpenter, Fennema, & Franke, 1996; Hill, Rowan, & Ball, 2005). Dalam jenis penyamarataan hipotesis ini, pemeriksaan kita tidak akan “hanya memungkinkan kita secara sistematis mengkhususkan apa yang kita lihat, tetapi ketika mereka mengambil bentuk hipotesis atau proposisi, mereka menyarankan bagaimana fenomena mungkin menjadi kemungkinan dikaitkan satu sama lain” (Strauss & Corbin, 1998, hal. 102). Seksi berikut memberikan suatu tinjauan singkat dari literatur terkini dikaitkan dengan visualisasi representasi matematika.
Tinjauan Literature

Representasi Visual dalam Matematika

NCTM menetapkan, “Cara dimana ide matematika disajikan adalah pondasi bagaimana orang dapat memahami dan menggunakan ide tersebut” (2000, hal. 67). Karena itu, seperti pelajar mengembangkan visualisasi jelas dan canggih dari konsep matematika, mereka akan memiliki pemahaman mendalam dari konsep tersebut, dan mengembangkan apa yang Tall and Vinner (1981) arahkan sebagai suatu concept image (gambar konsep).  Dalam studi ini, kita mendefinisikan model statis visual, seperti suatu gambar yang tenang yaitu baik dicetak maupun digambar dalam halaman untuk mewakili konsep matematika. Dalam studi ini, kita menggunakan definisi Arcavi’s (2003) visualisasi matematika: kemampuan untuk menciptakan, menggunakan, mengartikan, dan dicerminkan dalam gambar dalam pemikiran atau dalam kertas. Karena itu, siswa menggunakan dan menciptakan model statis visual seperti mereka mengembangkan keterampilan visualisasi matematika. Visualisasi ini mendukung koneksi yang bermakna dengan jenis berbeda dari representasi dan konsep matematika abstrak. Lesh, Post, dan Behr (1987) mengidentifikasi lima jenis representasi matematika: gambar statis, model manipulatif, simbol tertulis, situasi kehidupan nyata, dan bahasa yang diucapkan. Pemahaman suatu konsep matematika melibatkan: a) mengakui konsep diantara jenis berbeda dari representasi, b) secara fleksibel memanipulasi konsep dalam suatu jenis representasi, dan c) menerjemahkan konsep dari satu jenis representasi ke representasi yang lain. Gambar statis adalah dari kepentingan khusus untuk studi ini sebab model statis adalah apa yang siswa sering kembangkan ketika menyelesaikan masalah, dan apa yang seringkali lihat dalam ujian, lembar kerja, dan dalam buku teks selama instruksi matematika khusus (Yeh & McTigue, 2009).
Representasi visual meningkatkan muatan kognitif selama penyelesaian masalah (Clark, Nguyen, & Sweller, 2006) dan membolehkan pelajar untuk secara mental bekerja dalam satu bagian dari model tanpa harus menjalani keseluruhan model dalam pemikiran mereka (Woleck, 2001). Contoh, kebanyakan siswa secara otomatis menggambar persegi dipisahkan dengan sama ke dalam tiga bagian, dua dari gambar diberi bayang-bayang, ketika mereka mendengar atau melihat simbol, 2/3. model visual ini memungkinkan pelajar untuk mempertahankan keseluruhan bagian makna pecahan. Ditemukan oleh van Garderen (2006) juga mengindikasikan bahwa keterampilan visualisasi dikorelasikan secara signifikan dengan kemampuan pelajar untuk memahami matematika. Pencapaian-tinggi siswa seringkali menampilkan level paling tinggi dari visualisasi spasial. Demikian juga, siswa yang pencapaian rendah mendapat manfaat dari bekerja dengan model statis visual yang diberikan (Moyer-Packenham, Ulmer, & Anderson, 2012). Model visual menyediakan suatu tangga-tangga bagi siswa seperti mereka mengembangkan keterampilan visualisasi mereka sendiri. Tetapi model ini hanya dapat berguna untuk siswa ketika siswa mampu menciptakan model akurat mereka sendiri atau mengartikan model yang diberikan dan menggunakan model secara efektif untuk penyelesaian masalah.
Ketika siswa mengartikan dan menciptakan model statis visual, mereka mengembangkan pengetahuan bagu yang dapat diterapkan untuk situasi penyelesaian masalah lain. Peneliti menekankan kepentingan penggunaan siswa dalam matematika dalam dunia-nyata (Baruk, 1985, Greer, 1993; Verschaffel, De Corte, & Lasure,  1994; Verschaffel, Greer, & De Corte, 2007). Generasi model, seleksi, dan penerjemahan menjadi faktor kunci dalam keberhasilan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika (Martin, Svihla, & Petrick Smith, 2012; Moseley & Okamoto, 2008; Ng & Lee, 2009). Dalam teori kelas koordinasinya,  diSessa (2002)  menyatakan bahwa penafsiran seorang siswa dari suatu situasi masalah dikoneksikan untuk membaca dengan suara kerasnya (misal. Secara konsisten mengidentifikasi informasi penting dalam suatu situasi masalah dalam rangka membuat suatu strategi solusi).  Penyelesai masalah yang cakap secara khas mengembangkan representasi komplek (misal: gambar, diagram, or tabel) untuk mengatur dan membuat menjaga alur dari strategi solusi mereka (Edens & Potter, 2008; Larkin, McDermott, Simon, & Simon, 1980; Whitin & Whitin, 2001). Sayangnya, kebanyakan siswa secara otomatis tidak menggunakan model statis visual sementara menyelesaikan masalah atau menciptakan suatu model yang tidak mencerminkan situasi matematika. Siswa membutuhkan bantuan dan panduan dari guru dan rekan sebaya yang berpengetahuan seperti mereka memilih, mengartikan, dan menciptakan model visual matematika (Abrams, 2001; Moyer & Jones, 2004). Penelitian ini menyatakan bahwa hubungan komplek ada diantara guru model statis visual yang menggunakan dalam pembelajaran, model mental siswa diciptakan untuk diri mereka sendiri, dan strategi siswa ketika menggunakan suatu model untuk menyelesaikan masalah.
Memvisualisasikan konsep pecahan
Suatu cara dimana siswa memahami konsep pecahan dan pemberian alasan proporsional telah secara luas ditinjau. Contoh, penelitian telah mengidentifikasi perbedaan dalam pemahaman siswa dari pecahan berdasarkan ciri-ciri tersendiri dan kuantitas berkelanjutan (DeWolf, Bassok, & Holyoak, 2013) dan menguji jalan pembelajaran siswa seperti mereka mengembangkan pemahaman pecahan (Martin, dkk.,  2013).  Sebagai bagian dari proyek angka rasional, Behr, Lesh, Post, and Silver (1983) mengidentifikasi empat sub konstruk matematika dari angka rasional—ukuran, rasio hasil bagi, rasio, dan operator (lihat juga Kieren, 1980; Lamon, 2007), dan Kieren (1981)  mengidentifikasi lima wajah pembangunan pengetahuan matematika dikaitkan dengan pemahaman angka rasional—matematika, visual, pengembangan, konstruktif, and simbolis.
Moss dan Case (1999) menyatakan bahwa anak-anak memiliki dua skema dimasukkan dalam keseluruhan angka pembelajaran: a) skema numerikal yang membolehkan siswa untuk belajar pondasi menghitung, dan suatu skema kuantitatif global yang membolehkan anak-anak untuk membuat penilaian global dari kuantitas. Ketika anak-anak sekitar usia 9-10 tahun, mereka juga memiliki dua skema kognitif untuk pecahan: evaluasi proporsional dan pemecahan (misal. Membagi dua). Skema kognitif ini membolehkan siswa untuk memahami proporsi relative dan semi –pemahaman abstrak dari pecahan dasari seperti ½ dan ¼.  Meskipun demikian, Lamon’s (2007) meringkas penetapan sekarang dari penelitian dalam pemberian alasan proporsional menyatakan bahwa penelitian dalam bidang ini butuh memasukkan diversifikasi pendekatan penelitian dan analisis mendalam dari pemikiran anak-anak.
Metode

Pertanyaan penelitian

Dalam studi ini kita menguji sejumlah sampel besar model solusi siswa untuk mengkonstruksikan ulang hubungan antara model statis visual dan solusi tertulis siswa untuk masalah pecahan. Keseluruhan pertanyaan penelitian untuk studi ini ditanyakan: bagaimana model statis visual mempengaruhi metode solusi tertulis siswa? Sub pertanyaan berikut ini memandu prosedur dan analisis koleksi data:
1.  Apakah jenis kesalahan konsepsi yang dilakukan solusi tertulis siswa secara umum dinyatakan dalam tugas pecahan dimasukkan baik dalam model statis visual yang diberikan atau yang diciptakan siswa?
2.  Apakah hubungan antara model statis visual yang diberikan atau model yang diciptakan siswa dari konsep pecahan dan solusi tertulis siswa dalam masalah tak terbatas?
Partisipan dan Pengaturan

Siswa yang berpartisipasi dalam studi ini adalah 162 siswa kelas tiga (75 lelaki, 87 wanita) dan 209 siswa kelas empat (100 lelaki, 109 wanita) dalam 17 ruang kelas. Pelayanan kelompok suku siswa, status sosio-ekonomi (SES/ Socio-Economic Status) dan pelajar bahasa Inggris (ELL/ English Language Learner) diidentifikasi oleh guru ruang kelas mereka dan daerah sekolah.  Kelompok suku siswa kelas tiga adalah Caucasian (75.0%), Hispanic (14.1%), campuran (4.5%), Asia (3.2%), dan African American (2.6%).  Kelompok suku kelas empat adalah Caucasian (78.4%), Hispanic (14.4%), campuran (4.6%), Asia, (1.0%), and penduduk Pulau Pacific (1.0%). Kira-kira setengah dari siswa menerima makan siang gratis atau diskon dan diklasifikasikan sebagai status sosio-ekonomi rendah (kelas tiga: 42.3%, kelas empat: 53.6%). Persentase kecil dari siswa menerima pelayanan pelajar bahasa Inggris (kelas tiga: 4.5%, kelas empat: 7.7%). 17 ruang kelas dalam dua daerah sekolah berbeda dalam delapan sekolah dasar berbeda di Amerika serikat barat.

Sumber Data & Instrumen-Instrumen

Sumber data utama untuk analisis ini adalah satuan item penilaian tak terbatas mengikuti suatu unit instruksi pecahan. Item tak terbatas ini datang dari empat database item ujian berbeda (National Assessment of Educational Progress/ penilaian nasional dari perubahan pendidikan, Massachusetts Comprehensive Assessment System/ sistem penilaian komprehensif Massachussetts, Utah Test Item Pool Service/ Pelayanan kelompok item ujian Utah, dan Virginia Standards of Learning/ standar Virginia pembelajaran) dan memasukkan representasi visual dan numerik dari konsep pecahan. Lima pendidik matematika meninjau item ujian untuk validitas isi dan ujian diprakarsai dalam enam daerah sekolah sebelum studi untuk menentukan kesulitan item dan ukuran reliabilitas (Moyer –Packenham, dkk., 2013).
Dengan bantuan peneliti universitas, guru ruang kelas mengatur penilaian pada akhir unit regular instruksi pecahan. Sasaran pembelajaran untuk unit ini dikaitkan secara langsung untuk standar kurikulum negara. Sasaran kelas tiga termasuk bagian persamaan pemahaman; pemahaman dan menggunakan daerah, satuan, dan model baris angka; pemberian nama dan menulis pecahan; membandingkan dan mengurutkan pecahan; dan memahami pecahan ekuivalen. Sasaran kelas empat termasuk membagi daerah ke dalam bagian pecahan; memahami bagian/ keseluruhan ide; membandingkan dan mengurutkan pecahan; mengidentifikasi angka anara pecahan; mengidentifikasi dan menghasilkan pecahan ekuivalen; membuat model tambahan dan pengurangan pecahan; dan menambah dan mengurangi pecahan.
Dua item penilaian tak terbatas yang membentuk dasar dari analisis ini menyoroti penggunaan siswa model statis visual dalam solusi tertulis mereka dan dibentuk untuk mengumpulkan informasi di luar respon sederhana yang benar atau tidak benar (Cai, Lane, & Jakabcsin, 1996). Tujuan dari tugas tak terbatas (open-ended) ini adalah untuk memahami hubungan antara model statis visual baik yang diberikan maupun yang diciptakan siswa dari konsep pecahan dan solusi tertulis siswa.  Tugas area membutuhkan siswa kelas tiga untuk mengartikan model pecahan ekuivalen.  Tugas Pizza disajikan siswa kelas empat dengan suatu situasi pecahan ekuivalen dari keseluruhan ukuran-berbeda.
Tugas Area.  Tugas Area (kelas 3) menilai pemahaman siswa dari pecahan ekuivalen dengan menyajikan siswa model area persegi 2 per 2 dari 3/4 dan model area persegi 4 per 4 dari 12/16. dalam satu jenis model untuk tugas, 12 persegi paling kecil dalam model 12/16 didiami ruang berdekatan dalam persegi lebih besar (lihat gambar 1a). Jenis model kedua untuk tugas menyajikan 12 persegi lebih kecil dalam ruang pencar di persegi lebih besar (lihat gambar 1b). Masalah membutuhkan siswa memutuskan jika setiap persegi memiliki pecahan yang sama dari area berbayang dan menjelaskan pemikiran mereka dengan diagram dan kata-kata.
Tugas Pizza.  Tugas Pizza (kelas 4)  menyajikan satu dari dua situasi berbagi yang serupa untuk siswa, (a) dua orang masing-masing makan setengah pizza berbeda dan (b) dua orang masing-masing makan pecahan ekuivalen dari pizza berbeda (4 di luar dari 10 iris dan 2 di luar dari 5 iris). Dalam setiap kasus, satu orang (José) mengklaim telah memakan lebih banyak pizza daripada orang lain (Ella). Kemudian masalahnya membutuhkan siswa menentukan bagaimana José dapat dibenarkan (lihat gambar 2). Dalam situasi ini José dapat dibenarkan jika pizza aslinya lebih besar daripada pizza Ella. Dengan kata lain, salah satu pizza keseluruhan dapat lebih besar daripada pizza keseluruhan yang lain. Tugas ini menilai pemahaman siswa dari hubungan keseluruhan bagian dalam pecahan menggunakan model daerah.
1a. Sam berkata bahwa dua persegi di bawah memiliki pecahan yang sama dari area berbayang. Menggunakan suatu gambar dan jelaskan bagaimana anda berpikir. Sam benar atau salah.
1b.Sam berkata bahwa dua persegi di bawah memiliki pecahan yang sama dari area berbayang. Menggunakan gambar dan menjelaskan kenapa anda berpikir Sam benar atau salah.
Gambar 1. Tugas Area untuk kelas tiga.
Pikir dengan hati-hati tentang pertanyaan berikut. Tulis jawaban yang lengkap. Anda mungkin menggunakan gambar, kata-kata, dan angka untuk menjelaskan jawaban anda.Pastikan untuk menunjukkan pekerjaan anda.
a. José makan ½ pizza, Ella makan ½ dari pizza lain.

José berkata bahwa dia makan lebih banyak pizza daripada Ella, tetapi Ella berkata mereka berdua makan jumlah pizza yang sama. Gunakan kata-kata dan gambar untuk menunjukkan bahwa José dapat dibenarkan.
b. Pizza diiris dalam 10 bagian yang sama dan José makan 4 iris dari pizza. Pizza lain diiris ke dalam 5 bagian yang sama dan Ella makan 2 iris pizza.

José berkata bahwa dia makan lebih banyak pizza daripada Ella, tetapi Ella berkata mereka berdua makan jumlah pizza yang sama. Gunakan kata-kata dan gambar untuk menunjukkan bahwa José dapat dibenarkan.
Gambar 2. Tugas Pizza untuk kelas empat
Analisis Data
Analisis kualitatif dalam pertanyaan tugas tak terbatas diikuti koleksi data dan termasuk kode terbuka dan aksial (Strauss & Corbin, 1998; Merriam, 2009; Moghaddam, 2006). Pertama, pasangan peneliti memberi skor suatu sampel solusi siswa untuk setiap masalah sebagai respon tepat atau tidak tepat. Respon yang tidak tepat kemudian dikategorikan penggunaan kode terbuka (misal., descriptive) untuk mengidentifikasi pola pola dalam kesalahan siswa. Berikutnya, peneliti menggunakan kode aksial untuk menguji kode descriptive. Peneliti mengelompokkan kategori serupa bersama-sama dan mengidentifikasi pola dan hubungan diantara kategori. Kode aksial dihasilkan dalam rubrik pemberian skor khusus-masalah berdasarkan model akurasi yang digunakan dalam mewakili matematika dan bagaimana siswa menggunakan model tersebut dalam solusi tertulis mereka.
Berikutnya, peneliti menggunakan rubrik skor untuk secara bebas memberi skor dan kode keseluruhan satuan dari 371 respon tak terbatas siswa. Setelah kode bebas, peneliti memenuhi untuk membandingkan kode dan membahas ketidaksesuaian. Dalam kasus ketidaksesuaian, peneliti membahas respon siswa khusus dan mencapai suatu keputusan konsensus. Suatu pengujian pola kesalahan lintas keseluruhan satuan data menyatakan pola tambahan, dan mengarahkan peneliti untuk merevisi rubrik pemberian skor pendahuluan untuk membedakan trend tersebut lebih dekat. Konsekuensinya, peneliti memberi skor dan kode keseluruhan satuan data waktu kedua berdasarkan rubrik yang direvisi (lihat gambar 3). Akhirnya, frekuensi dan persentase siswa dalam setiap kategori kode ditabulasikan untuk mengidentifikasi kesalahan umum dalam setiap tugas penilaian yang dihasilkan dalam menghasilkan hipotesis tentang hubungan antara  model statis visual dari konsep pecahan dan solusi tertulis siswa untuk masalah berdasarkan model tersebut.
3a. Rubrik untuk tugas Area
3b. Rubrik untuk tugas Pizza
Makna kode dari kode
Makna kode  dari kode
1. Secara lengkap salah: tidak ada percobaan ATAU mengindikasikan bahwa Sam salah
1. Equivalensi: Menetapkan bahwa pecahan adalah ekuivalen tanpa mempertimbangkan ukuran dari keseluruhan
2. Membenarkan gambar spatial atau penjelasan numerical: baik penjelasan tidak lengkap ATAU tidak menyediakan suatu gambar sebagai bukti
2. Bagian tidak rata: mengindikasikan bahwa hanya cara bagian José’s  dapat menjadi lebih besar jika bagian tidak dipotong secara rata
3. Membenarkan gambar spatial  DAN penjelasan numerical: Menjelaskan bahwa empat persegi kecil ekuivalen untuk satu persegi yang besar dan menyediakan gambar sebagai bukti
3. Fokus pada keseluruhan angka: mengindikasikan bahwa José terlihat pada keseluruhan angka dari pecahan ketika dibandingkan


4. Tepat: Menjelaskan atau gambar menunjukkan suatu perbedaan dalam ukuran dua pizza.
Gambar 3. Rubrik untuk pemberian skor item penilaian tak terbatas: tugas Area dan tugas Pizza.


Hasil

Keseluruhan pertanyaan penelitian untuk studi ini menanyakan: bagaimana model statis visual mempengaruhi metode solusi tertulis siswa?  Untuk menghasilkan hipotesis tentang hubungan ini, hasil untuk kedua item penelitian disajikan. Seksi pertama menyediakan frekuensi deskriptif dari kesalahan untuk setiap tugas penilaian. Seksi kedua menyediakan contoh descriptif bagaimana model statis visual yang diberikan dan yang diciptakan-siswa dikaitkan dengan solusi tertulis siswa dalam tugas penilaian. 
Frekuensi dari kesalahan konsepsi
Tugas Area.  Penelitian pertama sub pertanyaan menanyakan:  Apakah jenis kesalahan konsepsi yang dilakukan dalam solusi tertulis siswa secara umum menyatakan tugas pecahan termasuk model statis visual yang diberikan maupun yang diciptakan siswa? Solusi tertulis siswa kelas tiga untuk tugas Area menyatakan jarak luas pemahaman konseptual. Tabel 1 melaporkan distribusi siswa dari respon untuk 162 kelas tiga pada seiap jenis model dalam tugas ini.
Tabel 1
Distribusi respon untuk kelas tiga tugas area menurut jenis model
Respon
Tugas Area jenis Model

Persegi yang berdekatan
Persegi pencar
Gambar tepat DAN penjelasan
41 (25.3%) 
44 (27.1%)
Gambar tepat ATAU penjelasan
41 (25.3%) 
40 (24.7%)
Benar-benar salah
80 (49.4%) 
78 (48.1%)
Total
162
162
Seperti Tabel 1 menunjukkan, kira-kira setengah siswa kelas tiga tidak berhasil dalam tugas ini. Hanya kira-kira satu perempat dari siswa nmenyediakan kedua model lengkap dan akurat dan penjelasan. Respon diberi nilai tidak lengkap jika siswa sepakat bahwa model sama tetapi tidak menyediakan gambar atau penjelasan komprehensif. Level akurasi hampir tetap sama untuk dua model berbeda (berdekatan dan pencar) dalam tugas ini.
Tugas Pizza.  Solusi siswa kelas empa untuk tugas Pizza menyatakan jarak luas dari pemahaman konseptual yang berubah-ubah menurut model  untuk tugas. Tabel 2 melaporkan distribusi respon siswa untuk 209 siswa kelas empat pada setiap jenis model untuk tugas ini.
Tabel 2 Distribusi respon untuk tugas Pizza kelas empat menurut jenis model
Respon
Tugas Pizza jenis Model

1/2 & 1/2 
2/5 & 4/10
Tepat
43 (20.6%) 
10 (4.8%)
kesalahan pecahan ekuivalen
125 (59.8%) 
79 (37.8%)
Fokus pada keseluruhan kesalahan angka
20 (9.6%)
54 (25.8%)
Kesalahan bagian tidak seimbang
21 (10.0%)
9 (4.3%)
Tidak dijawab; tidak terbaca
0 (0%)
57 (27.2%)
Total
209
209
Seperti Tabel 2 menunjukkan, siswa kelas empat lebih berhasil dengan model “½ and ½” daripada dengan model “2/5 and 4/10” dari tugas Pizza (20.6% dibandingkan dengan 4.8%). Suatu pengujian respon siswa menyatakan tiga kesalahan umum siswa. Pertama, siswa paling umum mengklaim bahwa José salah sebab pecahan ekuivalen (misal, ½ = ½, 2/5 = 4/10). Karena itu, mereka menyimpulkan bahwa kedua anak-anak makan jumlah yang sama dan tidak mempertimbangkan bahwa dua keseluruhan memiliki ukuran berbeda. Kedua, kebanyakan siswa menyatakan bahwa José’ salah dengan membandingkan keseluruhan angka numerator and denominator. Contoh, satu siswa membagi pizza José’ ke dalam delapan seksi dan menyatakan bahwa José berpikir bahwa 4/8 lebih besar daripada ½ sebab 4 lebih besar daripada 1. kesalahan ini terjadi lebih sering dalam tugas “2/5 dan 4/10” (25.8%) daripada tugas “½ dan ½” (9.6%). Akhirnya, beberapa siswa beralasan bahwa porsi pizza José harus dipotong sedikit lebih besar daripada bagian lain. Sepuluh persen siswa menawarkan penjelasan ini untuk tugas “½ dan ½”, tetapi hanya 4.3% dari siswa menawarkan penjelasan serupa untuk tugas “2/5 dan 4/10”. Secara keseluruhan, tugas ini kelihatan bahwa siswa memiliki kesulitan memvisualisasikan suatu model dengan pizzadari dua ukuran berbeda.
Hubungan antara model statis visual dan solusi tertulis siswa
Tugas Area.  Sub pertanyaan penelitian kedua menanyakan:  Apakah hubungan antara model statis visual yang diberikan atau yang diciptakan siswa dari konsep pecahan dan solusi tertulis siswa pada masalah tak terbatas?  Meskipun siswa kelas tiga menunjukkan kemiripan pada kedua jenis model untuk tugas Area, suatu pengujian akhir pekerjaan siswa mengindikasikan perbedaan dalam bagaimana model statis visual dikaitkan dengan solusi tertulis siswa. Ketika bekerja dengan model persegi yang berdekatan dari tugas ini, penjelasan tertulis siswa yang berhasil lebih sering mengacu pada tindakan “[bergerak/ moving] persegi gelap ke dalam ruang kosong” (lihat gambar 4).
4a.  4b.
Gambar 4. Penggunaan berhasil dari model dalam tugas Area (model berdekatan).
Gambar 5. Penggunaan tidak berhasil dari model dalam tugas Area (model berdekatan).
Siswa yang tidak berhasil tidak menyediakan informasi tertulis dalam respon mereka yang mengindikasikan bahwa mereka mampu memvisualisasikan tindakan ini.  Hal ini besar kemungkinan bahwa siswa ini hanya menganggap dua model tidak identik, dan karena itu menyimpulkan bahwa model tidak mewakili pecahan ekuivalen (lihat gambar 5).
Ketika bekerja dengan model persegi pencar untuk tugas ini, penjelasan tertulis siswa yang berhasil lebih sering mengidentifikasi empat persegi lebih kecil sebagai ekuivalen hingga persegi yang lebih besar (lihat gambar 6a). Siswa yang tidak berhasil secara khas fokus hanya pada angka persegi dan tidak pada ukuran persegi untuk menentukan jika jumlah adalah ekuivalen (lihat gambar 6b).
6a.  6b.
Gambar 6. Penggunaan berhasil dan tidak berhasil dari model dalam tugas Area (model pencar).
Pizza task.  Tugas Pizza tidak menyediakan model statis visual bagi siswa dari suatu masalah. Sebagai ganti, model membutuhkan siswa mengembangkan model statis visualnya sendiri dari suatu situasi (lihat gambar 7).
Gambar 7. Penggunaan yang berhasil dari model yang dihasilkan siswa dalam tugas Pizza (model “½ and ½”).
Keberhasilan siswa dalam menyelesaikan tugas ini sangat terletak pada keterampilan visualisasi mereka sendiri daripada interpretasi mereka dari suatu model statis yang diberikan. Contoh, berdasarkan gambar mereka, sebagian besar siswa memvisualisasikan dua pizza dari ukuran yang sama atau satu pizza yang dipotong setengah (lihat gambar 8).
Gambar ini mewakili pandangan terbatas dari kemungkinan solusi dari tugas ini; siswa tidak mempertimbangkan kemungkinan keseluruhan ukuran berbeda. Meskipun begitu kebanyakan siswa menunjukkan keahlian dengan mengidentifikasi pecahan ekuivalen, fokus mereka pada ekuivalensi pecahan mencegah mereka dari pertimbangan kemungkinan keseluruhan ukuran berbeda.  Dalam kasus tugas Pizza,  kesalahan siswa mungkin telah disebabkan oleh kesalahan interpretasi dari masalah daripada oleh kesalahan konsepsi matematis dari suatu pecahan.
8a.
8b.
Gambar 8.  Penggunaan yang tidak berhasil dari model yang dihasilkan siswa dalam tugas Pizza (“model ½ and ½”).
Gambar 9.  Penggunaan yang tidak berhasil dari model yang dihasilkan siswa dalam tugas Pizza (“model 2/5 and 4/10”).
Kadang-kadang, model digambar oleh siswa sebenarnya merintangi keberhasilan mereka dengan suatu tugas.
Contoh, gambar 9 menunjukkan gambar siswa dari sepuluh irisan pizza lebih kecil (José) sejajar dengan lima irisan pizza lebih besar (Ella). Kemudian siswa menggambar baris untuk membandingkan akhir dari empat irisan José dan dua irisan Ella. Sayangnya, meskipun begitu siswa dengan tepat menyimpulkan bahwa José makan lebih banyak pizza, model ini tidak secara akurat menggambarkan hubungan antara dua pecahan.
Pembahasan
Studi ini menggunakan sampel besar dari model solusi siswa untuk mengkonstruksi ulang hubungan antara model statis visual dan solusi tertulis siswa untuk masalah pecahan. Hasil mengindikasikan bahwa kesalahan siswa umum dikaitkan dengan bagaimana siswa mengartikan model yang diberikan maupun model mereka sendiri dari situasi masalah. Hasil juga mengindikasikan bahwa fleksibilitas siswa dengan model statis visual dikaitkan dengan keberhasilan solusi tertulis. Hasil ini dibahas dlaam seksi yang berikut.
Apakah jenis kesalahan konsepsi yang dilakukan solusi tertulis siswa secara umum menyatakan tugas pecahan termasuk model statis visual yang diberikan maupun yang diciptakan siswa?
Studi ini menyoroti dua kesalahan konsepsi siswa ketika mengembangkan pemahaman situasi pecahan. Pertama, dalam tugas Area, siswa yang tidak berhasil dengan model persegi pencar seringkali fokus pada angka dan bukan ukuran dari persegi untuk menentukan ekuivalensi. Penjelasan yang tidak tepat siswa dan jawaban menunjukkan bahwa mereka kemungkinan mempertimbangkan keseluruhan angka, daripada pecahan dalam membuat perbandingan. Hasil ini mendukung penemuan penelitian terkini yang dari usia muda, angka mungkin lebih berpengaruh daripada ukuran dalam penyelesaian masalah kuantitatif anak-anak (misal., Libertus, Starr, & Brannon, 2013).
Dalam tugas Pizza, sebagian besar siswa membuat asumsi bahwa pizza adalah ukuran yang sama. Sebab ini, siswa tidak mampu untuk menghasilkan model akurat dari contoh-perhitungan matematis. Penjelasan yang mungkin dari kesulitan siswa dengan masalah ini adalah bahwa siswa tidak mengaitkan kontek pizza matematis terhadap pizza dalamn dunia nyata yang memiliki banyak ukuran berbeda. Penemuan ini konsisten dengan pengamatan Verschaffel, Greer, and De Corte’s (2007) yang tanpa koneksi terhadap matematika dunia nyata, siswa cenderung menahan pertimbangan mereka dan “menjawab masalah kata tanpa memperhitungkan pertimbangan realistik tentang situasi yang dijelaskan dalam teks” (hal. 586). Kesulitan siswa dengan pertimbangan tugas Pizza juga konsisten dengan studi lain yang melaporkan kecenderungan siswa memberi jawaban terhadap masalah kata tanpa mempertimbangkan dampak dunia nyata dari situasi yang diberikan (Baruk, 1985; Greer, 1993; Verschaffel, dkk., 1994).
Penjelasan yang mungkin lain dari kesulitan siswa dengan masalah ini adalah bahwa mereka salah mengartikan tugas. Menurut teori kelas koordinasi diSessa’s (2002), siswa memberi perhatian terhadap apa yang mereka pertimbangkan kenyataan paling penting dari situasi masalah dan mendisain strategi solusi mereka sesuai dengan itu. Contoh, mengukur kesalahan sementara memotong irisan pizza mungkin menjadi interpretasi yang nyata.  Ketika berbagi suatu pizza, sejumlah bagian dibagikan biasanya lebih signifikan daripada ukuran bagian. Hal ini mungkin secara parsial menjelaskan beberapa kepercayaan siswa pada keseluruhan jumlah pemikiran dalam situasi ini. Karena itu, hal ini dapat dinyatakan bahwa kesulitan siswa dengan tugas Pizza berasal dari kesalahan interpretasi, daripada kesalahan konsepsi (misal, berlatih yang baik dan mempercayai ide yang tidak tepat). Beberapa interpretasi membuat beberapa pertimbangkan dalam dunia nyata bahkan jika mereka tidak sesuai dunia matematika.
Hasil penting untuk dipertimbangkan adalah bahwa dua model tugas pizza menimbulkan jawaban berbeda dan kesalahan konsepsi siswa. Dalam model “½ dan ½”, lebih dari setengah (59.8%) dari siswa tidak tepat menggunakan pecahan ekuivalen (misal, ½ = ½, jadi dua porsi harus sama) untuk membenarkan jawaban mereka. Namun, dalam model “2/5 dan 4/10”, hanya 37.8% siswa menggunakan alasan yang sama. Dengan cara yang sama, siswa kemungkinan lebih mempertimbangkan numerator dan denominator sebagai keseluruhan angka dalam model “2/5 dan 4/10” daripada model “½ dan ½”. Penemuan ini menyatakan bahwa siswa memiliki gambar konsep kuat (Tall & Vinner, 1981)  dari pecahan seperti satu setengah, tetapi bukan pecahan seperti 2/5 atau 4/10—kemungkinan sebab mereka telah memiliki banyak pengalaman melihat representasi ulang (Scaife & Rogers, 1996) dari ½ dan sebab daerah bundar sulit untuk diukur secara tepat ketika menggambar model pecahan. Mereka sedikit mungkin membandingkan atau mengoperasikan dalam numerator dan denominator dari satu setengah (atau pecahan ekuivalen terhadap satu setengah) sebab gambar konsep ini.  Pola ini mencerminkan dua jenis skema kognitif—numerical dan kuantitatif global—dijelaskan oleh Moss dan Case (1999).  Skema kognitif ini membolehkan anak-anak memahami proporsi relatif dan pemahaman semi abstrak dari pecahan dasar seperti ½ dan ¼.  Apalagi, memberi alasan dengan model 2/5 dan 4/10 melibatkan koordinasi ukuran dan operator sub konstruk (Behr, Lesh, Post, & Silver, 1983) membuat skema lebih sulit daripada memberi alasan dengan model ½. Hal ini menjelaskan kemampuan anak-anak untuk bekerja dengan model ½ lebih berhasil daripada model 2/5 dan 4/10.
Apakah hubungan antara model statis visual yang diberikan atau yang diciptakan siswa dari konsep pecahan dan solusi tertulis siswa pada masalah tak terbatas?
Suatu model dimana pengalaman siswa, baik secara visual maupun secara mental, dikaitkan pada solusi tertulis siswa terhadap masalah. Hasil dari studi ini memberikan cara dimana siswa menggunakan model ini. Pertama, dalam tugas Area, sebagaian besar siswa melengkapi tugas secara tepat tanpa berhadapan langsung dengan pecahan sebab mereka mampu menggunakan model. Sebagai ganti menghitung persegi untuk menentukan pecahan ekuivalen (misal., menggunakan konservasi rasio), mereka membuktikan ekuivalensi dengan memvisualisasikan persegi bergerak ke lokasi berbeda. Pergerakan persegi tersebut mendukung gagasan Piaget (1952) dari konservasi area.  Meskipun demikian, meletakkan gambar model itu sendiri mungkin juga mengalihkan perhatian siswa jauh dari hubungan numerical diantara angka pecahan.  Sepanjang tidak ada bagian model dihapus atau dimasukkan, model masih akan mewakili jumlah yang sama tanpa mengabaikan lokasi bagian.  Beberapa siswa menulis solusi berdasarkan konservasi rasio, tetapi mayoritas siswa dalam studi ini meletakkan konservasi area dalam solusi tertulis mereka.  Kemampuan untuk mengartikan model statis visual dari pecahan dalam cara ini mungkin mendahului pemahaman konsep pecahan.
Kedua, dalam Pizza, siswa tidak memberikan model statis visual dalam mendasarkan solusi mereka. Keberhasilan mereka dengan tugas ini bergantung pada kemampuan mereka untuk memvisualisasikan situasi dengan dua keseluruhan ukuran berbeda. Mayoritas besar dari siswa tidak mampu menyelesaikan dua model berbeda dari tugas ini (79.4% dan 95.2%, secara berurutan).  Jelasnya, generasi diri dari representasi adalah permintaan lebih kognitif daripada bekerja dengan representasi yang diberikan (Clark, Nguyen, & Sweller, 2006; Woleck, 2001).  Penemuan ini menyatakan bahwa pandangan terbatas siswa dari model pecahan menghalangi keberhasilan mereka pada tugas ini. Seperti dicatat di atas, ketika siswa gagal untuk memvisualisasikan konsep matematika dalam dunia nyata, mereka mengembangkan konsepsi terbatas dari makna matematika. Kemampuan siswa memvisualisasikan konsep matematika baik proses dan produk pengalaman kualitas dalam matematika (Arcavi, 2003). Hasil ini juga mendukung penemuan van Garderen’s (2006) dimana keterampilan visualisasi yang dikembangkan dengan baik sangat berkontribusi pada pencapaian tinggi keberhasilan siswa dalam matematika.
Kesimpulan
Hasil dari studi ini mengindikasikan bahwa hanya dipresentasikan dengan model statis visual dalam situasi penilaian tidak menjamin bahwa siswa akan mampu secara berhasil menghasilkan model mereka sendiri atau menggunakan model yang diberikan untuk menyelesaikan masalah matematika secara akurat. Analisis menyatakan bahwa kesalahan konsepsi umum dikaitkan bagaimana siswa mengartikan baik model yang diberikan maupun model dari situasi mereka sendiri.  Perbedaan dalam solusi tertulis siswa dapat dipengaruhi oleh strategi instruksional atau penampakan lain terhadap representasi matematis termasuk situasi dunia nyata. Kita menghipotesiskan bahwa ketika siswa memiliki pemahaman tepat dari situasi matematika dunia nyata, mereka dapat berhasil menciptakan dan mengartikan model statis visual untuk mempertimbangkan matematika.  Seperti memanipulasi objek mental dan mempertimbangkan aplikasi dunia nyata, mereka secara aktif berpartisipasi dalam konstruksi pengetahuan mereka dan mengembangkan keterampilan visualisasi. Berdasarkan hasil studi ini, penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk menentukan faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa dari model statis visual.
 
Referensi

Abrams, J. P. (2001). Teaching mathematical modeling and the skills of representation. In A. A. Cuoco & F. R. Curcio (Eds.),  The Roles of Representation in School Mathematics, 2001 Yearbook (pp. 269-282). Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.
Arcavi, A. (2003). The role of visual representations in the learning of mathematics. Educational Studies in Mathematics, 52(3), 215–241.
Baruk, S. (1985). L’âge du capitaine. De l’erreur en mathématiques.  [The captian’s age. About errors in mathematics]. Paris: Seuil.
Behr, M., Lesh, R., Post, T., & Silver, E. (1983). Rational number concepts. In R. Lesh & M. Landau (Eds.),  Acquisition of Mathematics Concepts and Processes  (pp. 91-125). New York: Academic Press.
Cai, J., Lane, S., & Jakabcsin, M. S.  (1996). The role of open-ended tasks and holistic scoring rubrics: Assessing students’ mathematical reasoning and communication. In P. C. Elliott (Ed.), Communication in Mathematics, K-12 and Beyond (pp. 137-145). Reston, VA: The National Council of Teachers of Mathematics.
Carpenter, T. P., Fennema, E., & Franke, M. L. (1996). Cognitively guided instruction: A knowledge base for reform in primary mathematics instruction.  The Elementary School Journal, 97(1), 3–20.
Clark, R., Nguyen, F., & Sweller, J. (2006). Efficiency in learning: Evidence-based guidelines to manage cognitive load. San Francisco, CA: Pfeiffer.
Council of Chief State School Officers and National Governors Association. (2010). Common Core Standards. Retrieved from http://www.corestandards.org/about-the-standards/key-points-in-mathematics.
DeWolf, M, Bassok, M, & Holyoak, K. J. (2013). Analogical reasoning with rational numbers: Semantic alignment based on discrete versus continuous quantities. In M. Knauf, M. Pauven, N. Sebanz, & I.  Wachsmuth (Eds.), Proceedings of the 35th Annual Conference of the of the Cognitive Science Society  (pp. 388-393). Austin, TX: Cognitive Science Society.
DiSessa, A. A. (2002). Why “conceptual ecology” is a good idea." In M. Limón & L. Mason (Eds.).  Reconsidering Conceptual Change: Issues in Theory and Practice  (pp. 29-60). Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
Edens, K., & Potter, E. (2008). How students "unpack" the structure of a word problem: graphic representations and problem solving. School Science And Mathematics, 108(5), 184-196.
Greer, B. (1993).  The modeling perspective on wor(l)d problems.  Journal of Mathematical Behavior, 12, 239-250.
Hill, H. C., Rowan, B., & Ball, D. L. (2005). Effects of teachers’ mathematical knowledge for teaching on student achievement.  American Educational Research Journal,  42(2), 371–406. doi:10.3102/00028312042002371
Kieren, T. E. (1980). The rational number construct: Its elements and mechanisms. In T. E. Kieren (Ed.),  Recent Research on Number Learning  (pp. 125-150). Columbus, OH: ERIC/SMEAC.
Kieren, T. E. (1981). Five faces of mathematical knowledge building. Edmonton: Department of Secondary Education, University of Alberta.
Lamon, S. (1996).  The development of unitizing: Its role in children's partitioning strategies. Journal for Research in Mathematics Education, 27(2), 170-193.
Lamon, S. (2007). Rational numbers and proportional reasoning: Toward a theoretical framework for research. In F.  K. Lester (Ed.),  Second Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning  (Vol. 1,  pp. 629-667). Charlotte, NC: Information Age Publishing Inc.
Larkin, J., McDermott, J., Simon, D.P., & Simon, H. A. (1980). Expert and novice performance in solving physics problems. Science, 208(20), 1335-1342.
Lesh, R., Post, T., & Behr, M. (1987). Representations and translations among representations in mathematics learning and problem solving. In C. Janvier (Ed.),  Problems of Representation in the Teaching and Learning of Mathematics  (pp. 33-40). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
Libertus, M. E., Starr, A., & Brannon, E. M. (2013). Number trumps area for 7-month-old infants. Developmental Psychology, doi:10.1037/a0032986
Martin, T., Aghababyan, A., Pfaffman, J., Olsen, J., Baker, S., Janisiewicz, P., ... & Smith, C. P. (2013, April). Nanogenetic learning analytics: Illuminating student learning pathways in an online fraction game. In Proceedings of the Third International Conference on Learning Analytics and Knowledge (pp. 165-169). ACM.
Martin, T., Svihla, V., & Petrick Smith, C. (2012). The role of physical action in fraction learning. Journal of Education and Human Development, 5(1).
Merriam, S. B. (2009).  Qualitative research: A guide to design  and implementation  (3rd ed.). San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Moghaddam, A. (2006). Coding issues in grounded theory.  Issues in Educational Research, 16(1), 52–66. http://www.iier.org.au/iier16/moghaddam.html
Moseley, B., & Okamoto, Y. (2008). Identifying  fourth graders' understanding of rational number representations: A mixed methods approach. School Science And Mathematics, 108(6), 238-250.
Moss, J., & Case, R. (1999). Developing children’s understanding of the rational numbers: A new model and an experimental curriculum.  Journal for Research in Mathematics Education, 30(2), 122-147.
Moyer, P. S., Bolyard, J. J., & Spikell, M. A. (2002). What are virtual manipulatives?  Teaching Children Mathematics, 8(6), 372–377.
Moyer, P. S., & Jones, M. G. (2004). Controlling choice: Teachers, students, and manipulatives in mathematics classrooms. School Science and Mathematics, 104(1), 16-31.
Moyer-Packenham, P., Baker, J., Westenskow, A., Anderson, K., Shumway, J., Rodzon, K., & Jordan, K., The Virtual Manipulatives Research Group at Utah State University. (2013). A study comparing virtual manipulatives with other instructional treatments in third- and fourth-grade classrooms. Journal of Education, 193(2), 25-39.
Moyer-Packenham, P. S., Ulmer, L. A., & Anderson, K. L.  (2012). Examining pictorial models and virtual manipulatives for third-grade fraction instruction.  Journal of Interactive Online Learning, 11(3), 103–120.
National Council of Teachers of Mathematics. (2000).  Principles and standards for school mathematics. Reston, VA: Author.
National Mathematics Advisory Panel (2008).  Foundations for success: The final report of the National Mathematics Advisory Panel. Washington, DC: U. S. Department of Education.
Ng, S. F., & Lee, K. (2009). The model method: Singapore children’s tool for representing and solving algebraic word problems. Journal for Research in Mathematics Education, 40(3), 282-313.
Piaget, J. (1952). The child’s conception of number. New York: Humanities Press.
Sedig, K., & Liang, H.-N. (2006). Interactivity of visual mathematical representations: Factors affecting learning and cognitive processes.  Journal of Interactive Learning Research, 17(2), 179–212.
Scaife, M., & Rogers, Y. (1996). External cognition: how do graphical representations work? International Journal of Human-Computer Studies,  45(2), 185–213. doi:10.1006/ijhc.1996.0048
Strauss, A., & Corbin, J. (1998).  Basics of qualitative research: Techniques and procedures for developing grounded theory. Thousand Oaks, CA: Sage Publications, Inc.
Tall, D., & Vinner, S. (1981). Concept image and concept definition in mathematics with particular reference to limits and continuity.  Educational Studies in Mathematics, 12(2), 151-169.
Van Garderen, D. (2006). Spatial visualization, visual imagery, and mathematical problem solving of students with varying abilities.  Journal of Learning Disabilities,  39(6), 496–506. doi:10.1177/00222194060390060201
Verschaffel, L., De Corte, E., & Lasure, S. (1994). Realistic considerations in mathematical modeling of school arithmetic word problems. Learning and Instruction, 4, 273-294.
Verschaffel, L., Greer, B., & De Corte, E. (2007). Whole number concepts and operations. In F. K. Lester (Ed.),  Second handbook of research on mathematics teaching and learning (Vol. 1, pp. 557–628). Charlotte, NC: Information Age Publishing Inc.
Whitin, P., & Whitin, D. (2001). Using literature to invite mathematical representations. In A. A. Cuoco & F. R. Curcio (Eds.),  The Roles of Representation in School Mathematics, 2001 Yearbook (pp. 228-237). Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.
Woleck, K. R. (2001). Listen to their pictures; An investigation of children’s mathematical drawings. In A. A. Cuoco & F. R. Curcio (Eds.),  The Roles of Representation in School Mathematics, 2001 Yearbook  (pp. 215-  227). Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics.
Wu, H. (2005, April).  Key mathematical ideas in grades 5–8.  Paper presented at National Council of Teachers of Mathematics Annual Meeting, Anaheim, CA.
Yeh, Y. Y., &  McTigue, E. M. (2009). The frequency, variation, and function of graphical representations within standardized state science tests. School Science And Mathematics, 109(8), 435-449.


[1] K. L. Anderson-Pence, Assistant Professor in the Department of Curriculum and Instruction at
the University of Colorado Colorado Springs
[2] P. S. Moyer-Packenham, Professor and the Director of Mathematics Education and Leadership
in the School of Teacher Education and Leadership at Utah State University. Email:
patricia.moyer-packenham@usu.edu
[3] A. Westenskow, Director of the Tutoring Intervention and Mathematics Enrichment Clinic in
the School of Teacher Education and Leadership at Utah State University. Email:
arlawestenskow@gmail.com
[4] J. Shumway, Doctoral Candidate in the School of Teacher Education and Leadership at Utah
State University. Email: jfshumway10@gmail.com
[5] K. Jordan, Associate Professor in the Department of Psychology at Utah State University.
Email: kerry.jordan@usu.edu

Selasa, 05 April 2016

thumbnail

Perbedaan lintas-budaya dalam manajemen


Tagreed Issa Kawar
Princess Sumaya University untuk tehnologi
P.O. Box 1438 Al Jubaiha 11941
Amman – Jordan
Intisari
Penelitian ini bertujuan pada perbedaan lintas budaya dalam manajemen. Ada bidang dalam manajemen dimana perbedaan mengarah pada sikap, perilaku, fungsi, masalah komunikasi dan dampak budaya dapat dilihat. Perbedaan lintas budaya berasal dari perbedaan latar belakang setiap budaya. Variasi budaya mungkin disaksikan dalam tempat kerja, dan ada factor lain diperkenalkan seperti mencapai target penjualan, deadline rapat, bekerja dalam anggaran yang ketat, yang mungkin menyebabkan konflik. Disebabkan perbedaan dalam budaya, mungkin ada kesalahpahaman diantara orang yang bekerja dalam organisasi yang sama berkaitan dengan perbedaan nilai mereka, kepercayaan, latar belakang, dan lain-lain. Untuk manajemen yang sukses, seseorang harus mampu bekerja orang dari latar belakang budaya berbeda tidak masalah apa orientasi budaya mereka. Suatu bukti dalam masalah ini adalah manajemen yang berhasil dari kebanyakan perusahaan barat dalam bagian berbeda dunia seperti timur tengah dan mereka menghasilkan manajemen yang baik.
Kata kunci: perbedaan lintas budaya, manajemen, budaya.
1.      Pengantar
Untuk memulai dengan, harus ada definisi yang baik dari pernyataan “budaya” yang dapat didefinisikan sebagai nilai yang diwariskan, konsep dan cara hidup bersama seseorang dari kelompok social yang sama. Untuk membuat definisi lebih jelas, budaya dibagi ke dalam dua jenis: pertama adalah budaya umum dimana budaya bersama dari semua manusia yang tinggal dalam planet ini. Kedua adalah budaya local yang mengacu pada symbol dan skema dibagi bersama dengan kelompok social khusus.
Seperti yang telah diketahui, dunia menjadi sekarang ini suatu desa global, dalam perhatian tersebut pencapaian tehnologi dari waktu modern ini telah membawa seseorang saling dekat satu sama lain. Hal ini juga dimaksudkan bahwa orang dari bagian berbeda dunia dan dengan perbedaan latar belakang budaya bekerja dan berkomunikasi bersama-sama. Kenyataan ini adalah cara yang menarik, tetapi berhadapan dengan orang dari budaya berbeda membutuhkan pengetahuai keanekaragaman budaya: contoh, cara kita berhadapan dengan budaya, apa yang kita sebut dan apa yang akan hindari untuk dikatakan, bagaimana berkomunikasi dan sadar dari tabu budaya sebab apa yang diterima dalam satu budaya mungkin tidak diterima dalam budaya lain. Apa yang diterapkan untuk organisasi butuh berhadapan masalah tertentu seperti memotivasi pekerja, menstrukturkan kebijakan dan mengembangkan strategi. Dalam kasus ini, harus ada jenis pemahaman keanekaragaman budaya dalam rangka menerapkan masalah yang disebutkan di atas, di tempat kerja.
Untuk memberikan definisi luas dari kata budaya, kata memiliki dua makna. Makna pertama “peradaban” yang membawa seni dan keahlian, pendidikan dan tata cara. Sementara makna kedua mengacu pada cara orang berpikir, merasa, dan bertindak sesuai dengan nilai dan norma dominant dalam masyarakat mereka. Menurut Hofstede Geert, budaya didefinisikan sebagai “program kolektif dari pembedaan pemikiran anggota satu kelompok atau kategori orang dari kelompok lain”. Dalam kata yang sederhana, budaya mengacu pada nilai yang diketahui untuk kelompok suku tertentu dari latar belakang social yang sama.
Sebagian besar dari satu budaya diperoleh selama masa kanak-kanak, sebelum pubertas. Manusia pada usia awal memiliki kemampuan untuk menyerap norma budaya dari budaya sekitar mereka, dari orangtua, saudara kandung, teman sepermainan, … dan lain-lain. Karena itu, budaya membantu seseorang untuk berfungsi secara pelan dalam masyarakat khusus. Ada level tertentu dimana budaya dapat bekerja:
1.1.  Level nasional: ini dikenal bahwa budaya budaya nasional berbeda pada level nilai bawah sadar yang diperoleh selama masa kanak-kanak dan budaya nasional ini seimbang, perubahan setelah itu yang terjadi adalah terapan dimana mendasari nilai yang dibiarkan tidak tersentuh.
1.2.  Level organisasi: budaya organisasi berbeda pada level terapan yang dapat dijelaskan secara dangkal dan mereka untuk beberapa tingkat yang dapat dikelola. Budaya organisasi ini berbeda dari satu perusahaan ke perusahaan lain dalam Negara yang sama.
1.3.  Level jabatan: jenis budaya ini berasal antara budaya nasional dan organisasi; memperoleh suatu jabatan seperti mengajar membutuhkan nilai social yang diperoleh bersamaan dengan praktek organisasi.
1.4.  Level gender: perbedaan gender diakui dalam budaya yang sama, ada yang disebut budaya lelaki yang berbeda dari budaya wanita. Secara teknis, lelaki dan wanita memiliki kemampuan untuk menunjukkan tugas yang sama pada tempat kerja, tetapi mereka memiliki perbedaan ketika kedua menjawab symbol yang digunakan dalam masyarakat. Perbedaan antara lelaki dan wanita sangat bergantung pada budaya nasional dari suatu Negara.

2.      Perbedaan lintas budaya dalam perusahaan multi nasional
Geert Hofstede adalah ahli sosiologi yang mempelajari pekerja yang bekerja di suatu perusahaan multi nasional (Reynold dan Valentine, 2011). Dia menjelaskan empat cara yang dapat membantu dalam menganalisa dan memahami budaya lain sebagai berikut:
2.1.  Individualisme vs. Kolektivisme: dalam beberapa budaya, individual ditekankan sementara kolektivisme kelompok lebih ditekankan.
2.2.  Jarak kekuasaan: budaya yang percaya bahwa kekuasaan organisasi harus didistribusikan secara tidak seimbang.
2.3.  Mengindari ketidakpastian: Hofstede menemukan bahwa beberapa budaya cenderung menerima perubahan sebagai suatu tantangan sementara budaya lain tidak.
2.4.  Maskulinitas vs. Feminitas: Hofstede sendiri cenderung menolak istilah “maskulin” dan “feminine”. Dua istilah ini harus dilupakan dalam rangka menilai masalah lain yang lebih penting untuk organisasi seperti prestasi dan ketegasan.
Sejak budaya mungkin didefinisikan sebagai “nilai yang diwariskan, konsep dan cara hidup yang dibagi bersama dengan orang dari kelompok social yang sama”. Budaya tidak dimiliki oleh kelas social tertentu; kenyataan setiap dan tiap-tiap orang tidak hanya memiliki satu budaya tetapi budaya yang menyebabkan kompleksitas dari istilah. Budaya dapat didefinisikan sebagai “dinamis” dalam perhatian dimana budaya berubah dari waktu ke waktu, perubahan ini dalam budaya mungkin mengarah pada konflik.
Dalam rangka memahami dengan baik budaya, harus ada pemahaman konflik yang mungkin muncul berkaitan dengan perbedaan antara budaya. Menurut Avruch (1998), yang menulis tulisan dalam konflik lintas budaya, dia mendefinisikan konflik sebagai berikut:
Suatu kompetisi oleh kelompok atau individu di atas tujuan yang bertentangan, sumberdaya langka atau sumberdaya kekuasaan dibutuhkan untuk memperolehnya. Kompetisi ini juga ditentukan oleh persepsi individu dari tujuan, sumberdaya, dan kekuasaan dan persepsi tersebut mungkin sangat berbeda diantara individu. Salah satu persepsi dominant adalah budaya, secara social diwariskan, dibagi bersama dan mempelajari cara hidup yang dimiliki oleh individu dalam kebaikan keanggotaan mereka dalam kelompok social”.
Untuk memberikan suatu definisi kata konflik, konflik adalah cirri yang dapat ditemukan dalam suatu masyarakat manusia dan mungkin terjadi sebagai suatu hasil jenis interaksi social. Konflik yang mungkin berlangsung antara budaya mungkin menghadapi masalh kesalahan komunikasi antara budaya dan kesalahpahaman. Masalah tersebut akan menyebabkan suatu peningkatan konflik. Selain itu, budaya mungkin bekerja sebagai suatu hubungan antara apa yang kita sebut “identitas suatu individu” terhadap “identitas kolektif”. Dalam rangkan memahami kompleksitas konflik, konflik harus dipikirkan bahwa konflik bukan persoalan seseorang yang ingin memenangkan semuanya, sehingga konflik melibatkan baik kompetisi dan kerjasama yang dicampur bersama-sama (Avruch, 1998).
Dalam rangka mendekatkan ruang lingkup penelitian ini, konflik yang mungkin terjadi antara individu dari latar belakang budaya berbeda dapat dipertimbangkan suatu “konflik lintas budaya”. Konflik mungkin terjadi dalam kelompok social yang sama menurut criteria berbeda: seperti keluarga, bahasa, agama, kesukuan, nasionalitas, cirri sosioekonomi, pendidikan, jabatan. Dengan demikian, suatu masyarakat membuat berbagai “sub budaya” dengan kebaikan anggota suatu masyarakat “multi budaya”.

3.      Manajemen lintas budaya
Menurut Nancy Adler (2008) dia memberikan definisi yang baik dari manajemen lintas budaya:
Manajemen lintas budaya menjelaskan perilaku seseorang dalam organisasi di seluruh dunia dan menunjukkan pada semua  orang bagaimana bekerja dalam organisasi dengan pekerja dan populasi klien dari banyak budaya berbeda”.
Kepentingan manajemen lintas budaya terletak dalam pertumbuhan kerjasama antara perusahaan dalam Negara berbeda dimana kesulitan mungkin muncul sebab latar belakang budaya berbeda.
Salah satu peneliti terkenal di bidang budaya dan manajemen adalah Geert Hofstede (1980). Karena itu, pekerjaan Hofstede sangat memerlukan suatu studi dalam budaya dan manajemen. Dia mengembangkan apa yang disebut “pendekatan dimensional untuk perbandingan lintas budaya”.
Seperti dunia menyaksikan “globalisasi” hari ini, semakin banyak perusahaan berjalan dalam tempat berbeda di seluruh dunia. Hal ini akan menghasilkan lebih banyak aktivitas di seluruh dunia yang dihasilkan dalam komunikasi lintas budaya. Budaya adalah sesuatu dimana manusia belajar dan sebagai suatu hasil. Pembelajaran membutuhkan komunikasi dan komunikasi adalah suatu cara memberi kode dan mengkodekan bahasa seperti halnya symbol yang digunakan dalam bahasa tersebut. Contoh, manusia berkomunikasi melalui banyak maksud lain daripada bahasa seperti ekspresi wajah, isyarat, bahasa tubuh, postur, dan lain-lain.
Dengan kata lain, budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, jika salah satu ditunjukkan untuk budaya tertentu, kemudian komunikasi menjadi keharusan. Pertama untuk memperkenalkan istilah “komunikasi antar budaya” adalah Edward T. Hall dimana dia mendefinisikan sebagai “komunikasi antara dua orang dari budaya berbeda”. Istilah “komunikasi bisnis antara budaya” adalah istilah baru di dunia bisnis yang mungkin didefinisikan sebagai komunikasi yang berlangsung dalam bisnis dimana ada pekerja dari latar belakang budaya berbeda. Dengan kata lain, ada istilah lain dimana “komunikasi internasional” yang dimaksudkan komunikasi yang berlangsung antara Negara dan pemerintah daripada individual (Chaney dan Martin, 2011). Karena itu, pengetahuan yang baik dari komunikasi antara budaya seperti halnya komunikasi bisnis internasional sepenuhnya penting untuk memberikan individu kesempatan untuk bersaing secara internasional.
4.      Kecerdasan budaya
Dalam rangkan hidup dalam budaya khusus, individu diandaikan menyesuaikan dengan perbedaan dalam budaya. Menurut Peterson (2004), kecerdasan budaya adalah kemampuan untuk menunjukkan perilaku tertentu, termasuk keterampilan dan kualitas, yang secara budaya ditunjukkan untuk sikap dan nilai lain.
Kecerdasan budaya mencakup bidang lain (Chaney dan Martin, 2011) seperti:
4.1. Kecerdasan linguistic: kecerdasan ini membantu belajar tentang bahasa asli konsumen dan menggunakan bahasa Inggris bisnis internasional dapat meningkatkan efektifitas ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain.
4.2. Kecerdasan spasial: Kecerdasan ini melibatkan ruang yang digunakan selama rapat dan perkenalan.
4.3. Kecerdasan antar personal: Kecerdasan ini melibatkan kesadaran salah satu gaya budaya yang d imiliki dalam rangka membuat penyesuaian untuk rekan kerja internasional.
4.4. Kecerdasan antar personal: Kecerdasan ini melibatkan kemampuan untuk memahami orang lain dan motivasi mereka.
Dalam kata-kata sederhana, ketika berhadapan dengan orang dari budaya lain, seseorang mungkin mengetahui sesuatu tentang bahasa mereka, ruang untuk menggunakan sementara berhadapan dengan orang, kesadaran tentang budaya anda dan bagaimana menerapkan salah satu perilaku budaya dengan budaya lain tersebut.
5.      Pengaruh nilai budaya dalam manajemen
Nilai budaya memiliki pengaruh yang dapat dipertimbangkan dalam cara manajer menjalankan suatu organisasi. Gambar berikut menyajikan perbedaan dimana manajer mungkin dialami ketika mengelola bisnis di level internasional.
Gambar 1 Model budaya
Sumber: disesuaikan dari melakukan bisnis secara internasional, buku kerja partisipan: 2.3.
5.1. Fokus waktu (Monokronik/ polikronik)
Waktu dianggap berbeda dalam setiap budaya menurut tradisinya, sejarah, dan lain-lain. Menurut Hall dan Hall (1990), dua penulis membedakan dua jenis system waktu: monokronik dan polikronik. Dalam budaya dimana system waktu monokronik yang diikuti, waktu digunakan dalam cara linier dimana orang menunjukkan satu aktivitas pada suatu waktu menurut jadwat pra pengaturan. Selain itu, focus mereka dalam informasi daripada dalam orang. Dengan kata lain, dalam budaya dimana system waktu polikronik digunakan orang focus pada lebih dari satu waktu dan sedikit bergantung pada informasi detail, dan jadwal terbuka untuk perubahan. Juga, orang mengambil prioritas dari jadwal.
5.2. Orientasi waktu (masa lalu, sekarang dan masa depan)
Budaya berbeda memperhatikan persepsi orientasi waktu mereka. Contoh, budaya memperhatikan tentang masa lalu dimana nilai tradisi masa lalu dalam budaya mereka. Rencana mereka focus pada apakah mereka bersamaan dengan sejarah dan tradisi perusahaan. Sementara budaya memperhatikan tentang masa lalu yang menarik dalam keuntungan jangka pendek. Masa depan focus pada perusahaan yang memperhatikan tentang keuntungan/ manfaat jangka panjang. Penekanan dalam orientasi budaya mengarah pada masa lalu yang dibuat oleh Hall dan Hall (1990), dimana Negara seperti timur jauh, India dan Iran lekat pada masa lalu. Dengan kata lain, budaya Amerika Serikat urban berorientasi pada masa kini dan masa depan jangka pendek dan budaya Amerika Latin berorientasi pada keduanya masa lalu dan masa kini. Hasilnya, perusahaan orientasi masa lalu menekankan tradisi dan membangun rencana jangka panjangnya. Sementara perusahaan orientasi pada masa depan menekankan rencana dan hasil jangka panjang.
5.3. Kekuasaan (hirarki dan kesamaan)
Di tempat kerja, level kekuasaan  ditekankan dalam budaya yang berorientasi pada hirarki. Pekerja mengimplementasikan arahan manajer mereka dan peran manajer untuk mengambil keputusan dan mendistribusikan pekerjaan untuk pekerja. Dalam beberapa budaya, ketidaksamaan diterima dan tidak ada yang mencoba merubah situasi. Sementara budaya lain, ketidaksamaan menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan dan karena itu ketidaksamaan membutuhkan reformasi. Budaya berorientasi pada kesamaan tidak mempertimbangkan hirarki meskipun kesamaan ada dalam rangka memudahkan hubungan dalam organisasi. Hasilnya manajer terlibat dalam pekerjaan itu sendiri daripada orang yang memilik peran diberikan arahan. Juga, manajer bukan satu-satunya yang mengambil keputusan pada perusahaan mereka sendiri; pengambilan keputusan dilakukan pada level semua pekerja terlibat dalam masalah.
5.4. Persaingan (Kompetisi)
Manajemen mungkin mendorong kompetisi dalam suatu organisasi, terutama dimana lingkungan “pasar bebas” (Browaeys dan Price, 2008). Dalam beberapa organisasi, kompetisi diantara pekerja didorong dalam rangka membuat pekerja lebih bertanggung jawab dan lebih kreatif.
Ketika kompetisi dinilai dalam suatu organisasi, kemudian focus pada kesejahteraan, kinerja dan ambisi. Sementara dalam budaya lain, kepuasan kerja adalah focus dimana kompetisi tidak dinilai sebanyak pekerjaan dalam lingkungan yang baik.
5.5. Aktivitas (tindakan: dilakukan atau sedang dilakukan)
beberapa perusahaan mempertimbangkan “budaya melakukan) dimana focus dalam mengembangkan tindakan kerangka waktu, yang dapat diukur. Dalam “budaya sedang melakukan” menekankan pengambilan visi perusahaan berusaha untuk mencapai.
5.6. Ruang (Pribadi atau public)
Budaya berbeda dalam persepsi ruang mereka, apakah beberapa budaya dipertimbangkan sebagai pribadi, budaya mungkin dipertimbangkan sebagai ruang public oleh budaya lain. Juga ada yang disebut “zona personal”; budaya berbeda ketika budaya didekati selama percakapan. Dalam kasus zona personal ini dicampur, hal ini akan menyebabkan tidak sesuai. Dalam beberapa budaya, beberapa masalah personal dan keluarga dibahas secara terbuka, sementara dalam budaya lain dimana privasi adalah kepentingan tinggi harus ada formalitas tinggi dalam percakapan dimana focus terletak pada bisnis daripada masalah personal.
5.7. Komunikasi (kontek tinggi atau kontek rendah)
Menurut Hall dan Hall (1990), mereka mendefinisikan konsep “kontek” dimana lingkungan sekitar dimana komunikasi terjadi. Mereka juga membuat perbedaan antara kontek tinggi dan kontek rendah sebagai berikut:
Komunikasi atau pesan Kontek Tinggi (KT) adalah salah satu dimana sebagian besar informasi sudah dalam seseorang, sementara sangat sedikit  dalam kode, eksplisitm bagian yang dikirim dari pesan. Komunikasi Kontek Rendah (KR) kebalikannya saja; Misal, massa informasi ditetapkan dalam kode eksplisit.
Contoh, Jepang dipertimbangkan sebagai suatu Negara yang memiliki kontek tinggi sebab informasi implicit dalam teks sementara Amerika Serikat dipertimbangkan sebagai Negara kontek rendah sebab informasi diberikan secara jelas.
5.8. Struktur (individualisme atau kolektivisme)
Istilah “struktur” mengacu pada stuktur organisasi dalam bisnis. Individualisme mengacu pada budaya yang focus pada individu daripada kelompok. Dalam kasus ini individu diandaikan untuk lebih percaya diri dan memiliki sedikit kebutuhan beristirahat untuk kelompok dan tidak ada perbedaan antara di dalam kelompok dan di luar kelompok. Kolektivisme mengacu pada berbagi nilai bersama kelompok dimana kepentingan kelompok melebihi kepentingan individu. Individualisme dan kolektivisme adalah dua konsep bertentangan.
Hofstede dan Hofstede (2005) mempelajari individualisme dan kolektivisme dalam Negara berbeda. Hasilnya adalah Amerika Serikat ada di ranking pertama dalam individualisme dimana orang tua membawa anak-anak mereka pada kepercayaan diri. Anak-anak Amerika menunjukkan opini dan ide mereka: mereka bertanggung jawab untuk pilihan mereka ketika belajar di perguruan tinggi seperti halnya pilihan pekerjaan.
Dalam budaya lain, seperti Jepang, penekanan ditempatkan pada pendekatan kelompok daripada dalam pendekatan individual untuk semua aspek kehidupan. Cina dan Malaysia juga menilai pendekatan kelompok dan keluarga (Chaney dan Martin, 2011). Dari sudut pandang personal, budaya yang menilai individualisme akan memiliki manajer yang lebih merdeka dan pekerja yang menunjukkan tanggung jawab pada tugas mereka harus menunjukkan kreatifitas. Dengan kata lain, dalam budaya yang menilai manajer kolektivisme dan pekerja dalam manajemen atas cenderung mendelegasikan otoritas kepada pekerja lain. Hal ini mungkin menghasilkan beberapa masalah dalam organisasi dimana tugas diambil oleh orang lain.
Table berikut menunjukkan perbedaan antara “budaya individualisme” dan “budaya kolektivisme”.
Budaya individualisme
Budaya kolektivisme
  1. Berorientasi pada transaksi (focus pada hasil)
  2. Keuntungan jangkan pendek
  3. Menekannkan pada isi (kenyataan, angka, rasio, statistic)
  4. Kebebasan
  5. Kompetitif, diarahkan pada keputusan
  6. Langsung, komunikasi eksplisit
  7. Akuntabilitas personal
  8. Kantor pribadi
  9. Waktu linier, tidak sabaran
  1. Berorientasi pada hubungan (focus pada proses)
  2. Pertumbuhan jangka panjang
  3. Menekankan pada kontek (pengalaman, intuisi, hubungan)
  4. Kebebasan
  5. Kolaboratif
  6. Tidak langsung, komunikasi tidak langsung
  7. Perlindungan keberanian
  8. Rencana kantor terbuka
  9. Waktu fleksibel, sabar
Gambar 2. Ringkasan budaya individualis dan kolektif
Sumber: Disesuaikan dari Panduan untuk komunikasi lintas budaya
6.      Kesimpulan
Kesimpulannya, tulisan ini telah menemukan bahwa perbedaan lintas budaya ada diantara budaya berbeda. Perbedaan ini memiliki dampak pada komunikasi diantara orang dari budaya berbeda. Sebab banyak perusahaan yang harus beroperasi dalam bagian dunia berbeda, orang ditunjukkan untuk budaya berbeda dimana mereka harus menyerap dan menggunakannya. Hasilnya, kebanyakan rintangan mungkin terjadi; rintangan komunikasi adalah hasil dari perbedaan antara dua budaya. Rintangan tersebut akan menyebabkan ketiadaan komunikasi efektif. Kadang-kadang bahasa isyarat tertentu dipahami secara berbeda antara dua budaya. Contoh, mengangguk dalam budaya Amerika maksudnya memahami apa yang telah dikatakan sementara di Jepang mengangguk maksudnya mendengar apa yang telah dikatakan. Jadi, jika kita memahami komunikasi antar budaya kita dapat mengatasi rintangan.
Meskipun ada perbedaan antara budaya, orang memiliki kecerdasan untuk menyesuaikan dengan perbedaan tersebut. Contoh, ekspatriate yang bekerja menunjukkan budaya berbeda total dari penyesuaian budaya baru mereka, mereka masuk ke dalam system dan mereka menggunakan untuk status quo. Hal ini membutuhkan apa yang disebut kecerdasan budaya yang membantu seseorang mengatasi rintangan yang mereka hadapi sebab keberagaman budaya.
Dalam manajemen, budaya dapat dilihat ada banyak perusahaan yang beroperasi di luar Negara mereka. Contoh, Orange untuk komunikasi dan Lapharge untuk semen adalah dua perusahaan Perancis yang memiliki cabang di banyak Negara asing dimana manajemen atas adalah Perancis dan sisanya pekerja local. Perusahaan berjalan tanpa berkata, bahwa dalam kasus tersebut, manajer telah menyesuaikan budaya baru dan dapat mudahn berhadapan dengan pekerja mereka meskipun mereka memiliki budaya berbeda.
Sumber:
Jurnal Internasional Bisnis dan ilmu social Vol.3 No. 6 [Masalah khusus – Maret 2012]