BAB 12 IDENTITAS BUDAYA DAN SOSIAL
Marilynn B.
Brewer
Masaki Yuki
Konsep “identitas
sosial” telah dimasukkan melalui ilmu pengetahuan manusia kapanpun ada
dibutuhkan untuk pegangan konseptual diantara level analisis individual dan
kelompok. Identitas sosial menyediakan hubungan diantara psikologi individual –
representasi diri – dan struktur dan proses kelompok sosial dimana diri sendiri
dikaitkan. Sebagai sebuah konsekuensi, konsep identitas sosial telah ditemukan
dan ditemukan kembali dalam macam-macam luas kerangka kerja theoritis, dan
untuk semua disiplin ilmu pengetahuan sosial dan perilaku (Brewer, 2001;
Stryker, 1987; Thoits & Virshup, 1997).
Dimanapun
teori dan penelitian identitas sosial melalui ilmu pengetahuan sosial
menggambarkan beberapa ciri-ciri universal masyarakat yang diperoleh dari
besarnya sifat sosial manusia sebagai spesies. Hidup berkelompok adalah bagian
sejarah evolusioner manusia, yang diwariskan dari nenek moyang primata kita
tetapi berkembang ke level antar ketergantungan melewati primata sosial lain
(Brewer & Caporael, 2006; Caporael, 1997). Dengan hidup berkelompok
terkoordinasi sebagai strategi kelangsungan hidup utama dalam spesies, kelompok
sosial pada hakekatnya menyediakan penopang diantara organisme individual dan
urgensi lingkungan fisik. Menyajikan morfologi dan ekologi hominid berkembang,
hubungan diantara hominid dan habitat mereka harus menjadi proses kelompok.
Menemukan makanan, bertahan terhadap pemangsaan, berpindah menyeberangi
pemandangan – masalah ini dalam mengatasi habitat fisik – sebagian besar adalah
proses kelompok. Dari waktu ke waktu, jika eksploitasi habitat lebih berhasil
sebagai proses kelompok kolektif daripada sebagai proses individual, maka tidak
hanya akan lebih banyak kelompok berhasil ada, tetapi begitu juga akan
individual yang lebih baik diadaptasikan ke kehidupan berkelompok. Maka, kita
akan mengharapkan bahwa elemen dasar psikologi manusia – kognisi/theori,
motivasi, dan emosi – akan disesuaikan ke permintaan struktural kelompok sosial
dan koordinasi sosial.
Kapasitas
untuk identifikasi sosial – mempertimbangkan diri sendiri sebagai bagian unit
sosial besar – adalah salah satu ciri-ciri psikologi manusia yang melayani
untuk meregulasi dan menjaga hubungan esensial diantara individual dan kelompok
sosial mereka. Di semua masyarakat, individual memandang diri mereka sendiri
sebagai bagian pengelompokan sosial terdefinisi (ingroup) yang
dikarakterkan dengan saling kerjasama dan kewajiban timbal balik (Levine &
Campbell, 1972; Summer, 1906). Walaupun kapasitas untuk identitas sosial
didalilkan menjadi universal, tempat dan kandungan identitas sosial secara
nyata berbudaya ditetapkan dan diregulasi. Maka, identitas sosial menyediakan
banyak bidang untuk studi hubungan diantara psikologi individual dan sistem
praktek dan pemahaman budaya.
Studi
perbedaan budaya dalam identifikasi sosial sering kebanyakan ditulis dengan
istilah perbedaan diantara individualisme dan kolektivisme sebagai
salah satu dimensi dasar norma dan nilai budaya (Hofstede, 1980; Triandis,
1989; 1995). Ketika ini secara umum paling dipahami, budaya individualistik
dikarakterkan dengan tekanan pada otonomi dan perbedaan diri individual dari
orang lain, sebaliknya masyarakat kolektivist dikarakterkan dengan keakraban
dan antarketergantungan sosial (Osyserman, Coon, & Kemmelmeier, 2002).
Dalam hal defenisi sendiri, individualis diasumsikan sangat berfokus pada
perbedaan diantara diri sendiri dan orang lain (saya vs bukan saya) dan
kolektivis pada perbedaan diantara ingroup (kita) dan outgroup (mereka), dengan
sedikit perbedaan diri individual dalam
ingroup. Sebagai sebuah konsekuensi, kolektivis diharapkan menunjukkan level
tinggi diskriminasi ingroup-outgroup dalam perilaku sosial mereka, sebaliknya
individualis diharapkan menjadi lebih universalistik dan tidak diskriminasi.
Dalam hal sasaran dan nilai, individualis memberikan prioritas ke sasaran
pribadi diatas sasaran kolektif, sebaliknya kolektivis baik tidak membuat
perbedaan diantara sasaran pribadi dan kolektif, atau jika mereka kerjakan,
mereka menangguhkan sasaran pribadi mereka untuk sasaran kolektif (Triandis,
1989). Dengan memperhatikan kepada identitas ingroup, thema pusat
individualisme adalah konsepsi individual sebagai makhluk otonomi yang terpisah
dari kelompok; thema pusat kolektivisme adalah konsepsi individual sebagai
aspek kelompok atau kolektif (Triandis, Chan, Bhawuk, Iwao, & Sinha, 1995).
Menyajikan
permintaan universal kehidupan berkelompok dan antar ketergantungan sosial,
kita percaya bahwa karakterisasi budaya dua kutub ini yang dilabuhkan oleh
individualisme pada satu ujung dimensi dan kolektivisme pada ujung lain adalah
terlalu sederhana. Dan, memang, representasi masyarakat individualistik yang
dijelaskan diawal tidak konsisten dengan dasawarsa penelitian pada identitas
sosial dan penyimpangan ingroup yang dilakukan hampir secara eksklusif dalam
masyarakat Barat yang sangat individualistik (cf. Brewer, 1979; Tajfel &
Turner, 1979; Abrams & Hogg, 2001). Selanjutnya, tinjauan komprehensif
sekarang dalam studi individualisme dan kolektivisme untuk semua bangsa
(Oyserman et al., 2002) menunjukkan bahwa orang Amerika (yang secara umum
menilai tinggi pada ukuran individualisme) ditemukan menjadi tidak tidak
kolektif daripada orang Asia Timur (khususnya Jepang dan Korea) pada beberapa
komponen nilai dan sikap kolektivis.
Kita
tidak meragukan bahwa masyarakat berbeda dalam hal tingkat individualisme,
khususnya, jangkauan dimana budaya menekan kebebasan dan otonomi melalui antar
ketergantungan dan harmoni (markus & Kitayama, 1991; Oyserman et al., 2002;
Schimmack, Oishi, & Diener, 2005). Apa yang kita tentang adalah dugaan
bahwa individualisme menghalangi identifikasi sosial dengan kelompok dan
kolektif sosial. Dalam pandangan kami, pemahaman lebih lengkap perbedaan budaya
dalam identitas sosial akan berawal dari pengakuan bahwa semua
masyarakat harus memenuhi kebutuhan pokok untuk kedua identitas individual dan
sosial, dan menyediakan untuk hubungan efektif diantara kepentingan-diri
sendiri individual dan kepentingan dan kesejahteraan kolektif. Apa yang
membedakan untuk semua budaya adalah bagaimana proses identifikasi
sosial direpresentasikan dan disalurkan
untuk meregulasi kerjasama sosial dan mencapai keseimbangan diantara ekspresi
kenyamanan individualitas dan sosial (Brewer & Roccas, 2001). Kita
menyajikan thesis yang menyempurnakan karya sebelumnya pada individualisme dan
kolektivisme dengan menunjukkan bagaimana masyarakat dimana secara tradisional
diklasifikasikan sebagai kolektivistik yang berbeda dari masyarakat yang lebih
individualistik dalam sifat dan struktur identitas sosial. Dalam bab ini kita
berharap menguraikan peran budaya dalam membentuk (1) pemahaman ingroup, (2)
hubungan diantara identitas dan kepercayaan kelompok, dan (3) sifat
penyimpangan ingroup-outgroup.
TEORI IDENTITAS SOSIAL: DASAR IDENTIFIKASI INGROUP
Dalam
psikologi sosial, theori yang paling ditekuni dalam identitas sosial dan
penyimpangan ingroup adalah social identity theory (SIT), seperti yang
dikembangkan oleh Tajfel dan Turner (1979), dan self-categorization theory
(SCT) terkait, yang dikembangkan oleh Turner dan kolega dalam tahun-tahun
berikutnya (Turner, Hogg, Oakes, Reicher, & Wetherell, 1987). kemudian,
kita mulai tinjauan kita dengan sinopsis SIT dan penelitian terkait, kemdian
menunjukkan bagaimana pengantar perspektif budaya mendorong kualifikasi dan
modifikasi theori.
Identitas sosial didefinisikan sebagai “dimana
bagian konsep-diri sendiri individual dimana diperoleh dari pengetahuannya
dalam keanggotaannya dalam kelompok sosial . . . bersama dengan pentingnya
nilai dan emosional yang melekat pada keanggotaan itu” (Tajfel, 1981, p.255).
SCT memperluas definisi ini untuk memasukkan gagasan dimana identitas sosial adalah
representasi diri sendiri yang tidak diselaraskan, meminta “sebuah
pergeseran terhadap persepsi diri sendiri sebagai eksemplar yang dapat ditukar
dalam beberapa kategori sosial dan jauh dari persepsi diri sendiri sebagai
orang unik” (Turner et al., 1987, p. 50). SIT, seperti yang dilafalkan oleh
Tajfel (1987) dan Turner (1975, 1985), menyajikan pemusatan dua tradisi dalam
studi sikap dan perilaku antar kelompok -
kategorisasi sosial (seperti yang disajikan dalam karya oleh Doise
[1978], Tajfel [1969], dan Wilder [1986]) dan perbandingan sosial (seperti yang
dicontohkan oleh Lemaine [1974] dan Vanneman dan Pettigrew [1972]). Persepsi
theoritis menyandarkan pada dua pemikiran dasar:
individual
mengorganisasi pemahaman dunia sosial mereka dengan dasar perbedaan kategori
yang mengubah variabel berlanjut kedalam kelas-kelas yang berlainan;
kategorisasi memiliki efek meminimalkan perbedaan yang dirasa dalam kategori-kategori
dan mengutamakan perbedaan antarkategori.
karena
orang individual adalah diri mereka anggota beberapa kategori sosial dan bukan
yang lain, kategorisasi sosial membawa dengan perbedaan ingroup-outgroup lengkapnya
(kami – mereka); karena relevansi-diri sendiri dalam kategori sosial,
klasifikasi ingroup-outgroup adalah perbedaan kategori yang sangat dibebankan
dengan signifikansi efektif dan emosional.
Dua
dasar pemikiran ini menyediakan kerangka kerja untuk mengkonseptualisasikan
setiap situasi sosial dimana kategorisasi ingroup-outgroup tertentu dibuat
menonjol. Akibatnya, theori mengusulkan skema antargroup dasar dengan
ciri-ciri karakteristik berikut: (1) perpaduan dengan batas-batas dan perbedaan
kategori diantara kategori-kategori seperti dimana semua anggota ingroup dirasa
menjadi lebih sama dengan diri sendiri daripada anggota outgroup (prinsip
penekanan antargroup); (2) efek positif (kepercayaan, kegemaran) secera
selektif menyamaratakan anggota ingroup laki-laki tetapi tidak untuk anggota
outgroup (prinsip favoritisme ingroup); dan (3) perbandingan sosial
antargroup yang dikaitkan dengan antarketergantungan negatif yang dirasa
diantara ingroup dan outgroup (prinsip persaingan sosial).
SIT
bersama dengan SCT menyediakan theori komprehensif tunggal dalam perilaku
kelompok dan proses kognitif yang mendasari tingkatan antargroup dan fenomena
group. Ajaran dasar theori ini adalah dimana perilaku kelompok diperoleh dari
representasi kognitif diri sendiri dalam hal keanggotaan kategori sosial yang
dibagi, dimana ada secara efektif pemisahan bukan psikologi diantara diri
sendiri dan kelompok secara keseluruhan. Fenomena ini mengacu kepada penyelarasan
representasi-diri, dengan mana representasi kognitif diri sendiri bergeser
dari diri pribadi ke diri kolektif (Hogg & Abrams, 1988; Hogg
& Turner 1987).
SIT
melafalkan bagaimana representasi kognitif dalam diri sendiri dan ingroup
relevan menyesuaikan ketika identifikasi ingroup (identitas sosial) secara
psikologi ditonjolkan. Ketika individual mengakategorikan diri sendiri dan
memandang diri mereka sendiri sebagai hal yang dapat dibedakan dari ingroup,
mereka juga memandang anggota ingroup lain sebagai hal yang dapat diubah dengan
satu sama lain. Representasi ingroup diwujudkan dalam “purwa rupa”, yang
ditentukan dengan ciri-ciri yang dibagi oleh anggota kelompok. Ciri-ciri purwa
rupa demikian menangkap kesamaan ingroup dan perbedaan antar group yang membedakan
ingroup dari outgroup perbandingan. Persepsi diri sendiri dan anggota ingroup
lain adalah kemudian dipadukan ke purwa rupa ingroup ini. Ketika identitas
sosial yang terbagi ditonjolkan, anggota ingroup dirasa saling sama, dan
ingroup secara keseluruhan dirasa unit homogen (Doosje, Ellemers, &
McGarty, 1996; Simon & Hamilton, 1994). Konsekuensi kecenderungan dan
perilaku dalam identitas sosial mendorong situasi antargroup yang dikarakterkan
oleh perlakuan istimewa anggota ingroup, saling ketidak percayaan diantara
ingroup dan outgroup, dan persaingan antargroup.
Budaya Dan Arti Identitas Sosial
Sejajar dengan
individualisme dan kolektivisme, SIT/SCT mendalilkan kesatuan yang dilabuhkan
oleh identitas pribadi (terindividualisasi) pada satu ujung dan identitas
sosial (kolektif) pada ujung yang lain. Pergeseran diantara identitas pribadi
dan kolektif diperkirakan untuk meletakkan dalam proses kognitif universal yang
terkait dengan kategorisasi sosial dan penonjolan kategori. Melawan pandangan
kasatuan tunggal ini, Brewer dan Gardner (1996) mendalilkan bahwa ada tiga
level perbedaan “diri sosial” – individual, relasional, dan kolektif
– sebagai representasi-diri yang berbeda dengan properti struktural yang
berbeda, berdasarkan evaluasi-diri, dan perhatian motivasi (lihat juga Kashima
& Hardie, 2000; Gabriel & Gardner, 1999; Sedikides & Brewer, 2001).
Diri individual adalah representasi diri sebagai orang unik, yang berbeda dari
individual lain. Diri relasional adalah diri yang didefinisikan dalam istilah
hubungan dan hubungan peran dengan orang penting lain (Aron, Aron, Tudor, &
Nelson, 1991; Cross & Madson, 1997; Gilligan, 1982; Markus & Kitayama,
1991). Diri kolektif adalah identitas sosial SCT, yang didefinisikan dengan
istilah properti purwa rupa yang dibagi diantara anggota-anggota ingroup umum
(turner et al., 1987).
Level
relasional dan kolektif diri yang didalilkan oleh Brewer dan Gardner (1996)
merupakan dua bentuk yang berbeda dari identifikasi sosial (i.e., proses dimana
diri individual diperluas untuk mencakup orang lain sebagai integral untuk
konsep diri). perbedaan kritis diantara ini adalah relasional itu sendiri diselaraskan,
menyertai hubungan diadik (dua unsur) diantara diri sendiri dan orang lain
akran khusus, dan perluasan hubungan ini dalam bentuk jaringan hubungan
antarpribadi. Sebaliknya, kolektif itu sendiri melibatkan hubungan yang
tidak diselaraskan dengan orang lain
dengan kebaikan keanggotaan umum dalam kelompok simbolik. Identitas
kolektif tidak membutuhkan pengetahuan dan koordinasi antarpribadi, tetapi
menyandarkan simbol yang terbagi dan representasi kognitif kelompok sebagai independent unit hubungan
pribadi dalam kelompok.
Menggambarkan
pada perbedaan ini diantara sosial relasional dan kolektif itu sendiri, Yuki
(2003) menyatakan bahwa karakteristik utama kognisi dan perilaku kelompok bisa
berbeda untuk semua konteks budaya tertentu. Menurut kerangka kerja ini, proses
terdiri dari SIT dan SCT adalah yang paling dapat diterapkan kepada situasi
antargroup meliputi orang dari budaya Barat. Karakteristik khas kognisi dan
perilaku kelompok untuk orang Asia Timur, bagaimanapun, secara kualitatifnya
bisa berbeda dari mereka yang dari Barat. Sebaliknya orang dalam budaya Barat
cenderung menekankan perbedaan kategori diantara ingroup dan outgroup, orang
Asia Timur bisa memiliki kcenderungan kuat untuk memikirkan tentang kelompok
ketika pentingnya mendasarkan-hubungan. Dalam konteks kelompok, orang
Asia cenderung merasa diri mereka sebagai “tangkai” yang melekat dalam jaringan
koneksi hubungan yang dibagi (i.e., anggota keluarga, teman, kolega, kenalan,
teman dari teman, dan sebagainya) daripada dalam kekerasan, kelompok yang
terbatas dengan sendirinya. Dalam kerangka kerja ini, ingroup untuk orang Asia
Timur secara kognitif/theori digambarkan secara relatif stabil dan jaringan
hubungan terstruktur diantara anggota kelompok.
Sebaliknya SIT
melibatkan perbandingan antargroup sebagai sumber kunci identifikasi ingroup
dan koperasi, kerangka kerja Yuki mengusulkan bahwa kolektivisme orang Asia
Timur sangat didasarkan pada promosi
perilaku kooperatif dan pemeliharaan harmoni relasional dalam ingroup.
Ini adalah penting untuk mencatat bahwa kerangka kerja ini tidak mengusulkan
bahwa orang Asia Timur mengabaikan ingroup sebagai unit sosial yang sangat
berarti, dan penelitian memang menyatakan bahwa mereka benar-benar membebankan
batas-batas diantara ingroup dan outgroup (Gudykunst, 1988; Smith & Bond,
1999). Akan tetapi, orang Asia Timur cenderung tidak memprediksikan ingroup
mereka sebagai entitas yang tidak diselaraskan (seperti yang dikonseptualkan
dalam SIT), tetapi sebagai jaringan kompleks anggota individual antar terhubung
(Chang, Lee, & Koh, 1996; Hamaguchi, 1977; Ho, 1993; Hwang, 1999; King
& Bond, 1985; Kim & Lee, 1994; Libra, 1976; Munro, 1985). Tipe
representasi kelompok ini konsisten dengan penelitian yang menunjukkan bahwa
ada perbedaan yang medasar untuk entitativitas kelompok dan daya tarik
kelompok, dengan beberapa kelompok yang menekankan kategori mereka, sifat yang
tidak diselaraskan, dan orang lain menekankan jaringan relasional terstruktur
dan ikatan antarpribadi diantara anggota-anggota (Hamilton, Sherman, &
Lickel, 1998; Prentice, Miller, & Lightdale, 1994; Seeley, Gardner,
Pennington, & Gabriel, 2003).
Representasi
rangkuman perbedaan yang didalilkan diantara dasar relasional dan kolektif
dalam identitas sosial disediakan dalam Tabel 12.1.
Tabel 12.1
membandingkan identitas sosial relasional dan kolektif
|
Relasional
|
Kolektif
|
Konsep diri
|
Secara langsung
terindividual/terhubung atau secara langsung dengan orang lain
|
Tidak
terselaraskan/terdefinisi dalam istilah purwa rupa
|
Motivasi
|
Timbal balik
|
Status/persaingan antar kelompok
|
Representasi
kelompok
|
Jaringan
antarpribadi
|
Entitas tidak
terselaraskan
|
Daripada memikirkan
tentang kelompok sebagai kategori anggota yang tidak terselaraskan, orang Asia
Timur khususnya dkhawatirkan tentang menjaga level tinggi pengetahuan tentang
struktur relasional kompleks dalam ingroup. Menurut Yuki (2003), anggota
kelompok Asia Timur secara kronis merasa
diri mereka menjadi terselaraskan dari dan terkait dengan anggota lain, dan
mereka sadar tentang lokasi yang tepat diri sendiri dalam kelompok yang
merepresentasikan sebagai jaringan. Selanjutnya, beberapa ahli theori telah
mengusulkan bahwa pengetahuan relasional ini yang mengijinkan orang Asia Timur
secara strategis mempromosikan kepentingan-diri sendiri dalam struktur
relasional kompleks dalam kelompok (Yamagishi, Jin, & Miller, 1998).
Pengetahuan relasional menentukan perilaku individual yang diharapkan dalam
kelompok dan melayani untuk menjaga hubungan salaing menguntungkan diantara
anggota-anggota kelompok (Aoki, 2001; Hwang, 1999; Nakane, 1970).
Penemuan
eksperimen dari studi oleh Yamagishi dan kosugi (1999) menyediakan bukti tidak
langsung untuk pandangan ini. Peneliti ini menemukan bahwa peserta Jepang
mereka yang memiliki tempat konrol tinggi eksternal dan rendah kepercayaan yang
disama ratakan (karakteristik khas dalam masyarakat kolektif) dalam
kenyataannya lebih baik dalam memutuskan hubungan baik dan buruk diantara kawan sekelas daripada peserta yang tinggi dalam tempat kontrol
internal dan kepercayaan yang disama ratakan.
Secara
keseluruhan, kemudian, konseptualisasi ingroup dan perilaku kelompok di Asia
Timur cenderung menempatkan kurang penekanan pada kategorisasi, perbandingan
antar kelompok, dan tidak perselarasan diri sendiri, dan menempatkan banyak
penekanan pada pemeliharaan harmoni dalam kelompok, menjadi peka, kepada
kebutuhan dan perasaan orang lain, dan menjadi sadar dalam struktur hubungan
dalam kelompok (Yuki, 2003). Dalam masyarakat ahli kolektif, dimana kesadaran
antar ketergantungan dan hubungan status tinggi, ikatan relasional adalah kunci
bagi identifikasi sosial dengan ingroup.
Dua Dasar Identitas
Sosial
Walaupun
theori Yuki (2003) dikembangkan khususnya dalam konteks perbandingan diantara
budaya Barat (khususnya Eropa Barat dan United States) dan budaya Asia Timur
(khususnya Jepang), kita percaya bahwa perbedaan diantara identitas sosial yang
mendasarkan-hubungan dan menadasarkan-kategori menyediakan kerangka kerja yang
sangat berguna untuk meninjau efek budaya pada proses identitas sosial lebih
luas. Kenyataannya, banyak budaya Asia Timur lain dari Jepang nampak menekankan
identitas sosial yang mendasarkan-hubungan, walaupun bentuk spesifik
benar-benar berlainan dari budaya ke budaya. Pye (2000) menyatakan bahwa identitas
sosial orang China didasarkan pada hubungan kekhususan yang menyebar keluar
dari keluarga dekat untuk memperluas keluarga untuk membagi identitas yang
didasarkan pada kota kediaman atau kehadiran universitas, sebaliknya ikatan
sosial orang Jepang lebih subyektif dan didasarkan pada hubungan pribadi hutang
dan kewajiban (p. 126). Identitas sosial yang mendasarkan-hubungan juga lazim
di Afrika. Contohnya, Adams dan Dzokoto (2003) menyatakan bahwa identitas
sosial di Afrika Barat dikarakterkan terbaik sebagai “relasional
individualisme”, dimana individual membuat keputusan kasus per kasus ketika
apakah mempercayai orang lain dengan mempertanggungjawabkan hubungan relasional
kepada mereka (Shaw, 2000). Etos ini sangat berbeda dari diri kolektif yang
tidak terselaraskan dalam SIT. Banyak orang Afrika, kenyataannya, telah
menyatakan bahwa besar, lebih banyak lagi identitas kolektif tidak terselaraskan, seperti etnik da
nasionalitas, adalah produk konstruksi sosial yang muncul hanya setelah
kolonisasi Eropa (e.g., Nagel, 1994; Yeros, 1999).
Untuk
semua masyarakat, individual menjaga hubungan dekat pribadi, jaringan antar
pribadi kelompok-kecil, dan keanggotaan besar, kelompok simbolik (Brewer &
Caporael, 2006; Caporael, 1997). Tetapi sistem budaya kurang lebih sangat
menyandarkan pada bentuk perbedaan hubungan sosial ini sebagai tempat utama
untuk menentukan diri sosial dan menjalankan kontrol sosial pada perilaku
individual. Ini utamanya budaya individualistik Eropa Barat dan Amerika Utara
yang sangat menyandarkan abstrak, keanggotaan kelompok kategori dalam membangun
identitas sosial. Budaya lain nampak lebih menyandarkan pada jaringan
relasional untuk melakukannya. Dua perpektif theoritis bisa dibawa untuk
memikul menolong kepentingan untuk variasi budaya-silang luas ini dengan dasar
identitas sosial.
Menurut
model budaya ekologi Berry (1979), perbedaan budaya dalam hubungan sosial
muncul sebagian dari faktor sosiologi seperti geigrafi, struktur sosial, dan
mobilitas. Menggambarkan dengan model ini, Oishi (2005) telah menyatakan bahwa
mobilitas sosial memainkan peran penting khususnya dalam menentukan aspek utama
diri sendiri dan ingroup. Dalam masyarakat mobilitas-rendah, keanggotaan
kelompok secara umum dianggap dan diantisipasi. Orang tidak bisa keluar dari
kelompok bahkan jika mereka menemukan sikap, sasaran, mereka sendiri, dan
seterusnya, tidak sepenuhnya cocok dengan mereka yang dari anggota kelompok
laki-laki. Apa yang mereka harus lakukan adalah menjaga hubungan baik dengan
orang lain, dengan memperhatikan dan mengakomodasi perbedaan individual dalam
sikap, sasaran, dan seterusnya, dalam kelompok. Maka, hubungan lain dari
kesamaan atau homogenitas yang menetapkan batas-batas kelompok.
Sebaliknya,
dalam masyarakat dimana individual sering bergerak, keanggotaan kelompok tidak
berakhir sepanjang dalam masyarakat dimana individual tinggal dalam komunitas
yang sama selama periode waktu yang panjang. Kepada jangkauan dimana aspek
sosial dari diri (e.g., hubungan, peran, keanggotaan kelompok) lebih sering
merubah dalam masyarakat yang bermobilitas tinggi daripada mereka yang dalam
masyarakat yang tidak bermobilitas, kolektif itu sendiri seharusnya tidak
konsisten untuk semua waktu dalam masyarakat yang terdahulu daripada yang
belakangan. Malahan, kelompok dibentuk disekitar kesamaan dan kepentingan umum,
dengan simbol untuk membatasi keanggotaan kelompok dan tindakan yang
terkoordinasi. Menyajikan penggabungan diantara mobilitas dan individualisme
(Triandis, 1995), model ekologi ini menyediakan penjelasan untuk mengapa
individualisme dikaitkan dengan yang tidak diselaraskan, identitas kolektif
simbolik, padahal tidak mobil, masyarakat kolektif dikarakterkan dengan stabil,
identitas sosial yang mendasarkan-hubungan.
Yang
kedua, terkait, penjelasan untuk pengamatan dimana individualisme terkait
dengan identitas sosial yang mendasarkan-kategori yang datang dari Brewer dan
Roccas (2001), yang berpendapat bahwa sifat kolektif itu sendiri dibentuk dan
dibatasi oleh kepentingan relatif yang ditempatkan pada nilai kemandirian
(otonomi individual) versus antar ketergantungan dalam hubungan diantara diri
sendiri dan orang lain dalam masyarakat. Dengan menekankan pada kewajiban,
saling ketergantungan, dan tanggung jawab kepada ingroup lain dalam masyarakat
dengan nilai kolektif relasional, identifikasi sosial dengan kelompok adalah
komitmen investasi-tinggi. Ini berarti bahwa keuntungan pemasukan kelompok
adalah tinggi, dalam kelompok itu menyediakan keamanan dan bantuan bersama yang
dijamin. Namun itu juga menyatakan bahwa biaya pemasukan juga tinggi dalam hal
kewajiban dan tugas untuk anggota kelompok laki-laki yang membutuhkan waktu dan
sumber daya. Ketika kewajiban intragroup kuat dan ditanggung oleh norma
kelompok dan sangsi, keuntungan pemasukan kelompok bisa dipenuhi terbaik dalam
unit sosial kecil, stabil, dan eksklusif. Maka, dalam budaya ahli kolektif,
ingroup yang mendasarkan-hubungan adalah optimal.
Orientasi
nilai individualistik, dengan tekanan kuat pada otonomi individual dan
mobilitas sosial, memiliki implikasi yang sangat berbeda untuk permintaan dan
level investasi yang terkait dengan keanggotaan kelompok. Pada pandangan
sekilas yang pertama, itu bisa muncul dimana nilai individualistik bertentangan
dengan gagasan sosial kolektif itu sendiri. Sebaliknya, kita percaya bahwa
individualisme memiliki efek sangat langsung pada kebutuhan untuk pelibatan
dalam unit sosial besar, dimana seperti otonomi individual dan identitas
kolektif dengan besar, kelompok yang tidak terselaraskan sungguh harmonis.
Karena individualisme memberikan berat yang lebih tinggi bagi kepentingan
pribadi dan pilihan dalam memecahkan potensialnya mengkonflikkan permintaan
pencapaian individual dan kesejahteraan orang lain, kewajiban untuk kelompok
dan anggota kelompok laki-laki adalah baik absolut ataupun sangat dipercaya.
Maka, keuntungan potensial pelibatan ingroup disebarkan dan probabilistik, dan
individual harus menjadi bagian besar dan lagi unit sosial yang terlibat
mendapatkan keuntungan keamanan dan bantuan bersama terkait dengan keanggotaan
kelompok. Akibatnya, cinta besar, kelompok yang tidak diselaraskan, seperti
gagasan, etnik, dan agama, adalah fungsi kerugian terikatnya komunitas antar
ketergantungan yang terkait dengan mobilitas sosial dan individualisme.
Nilai
dan praktek budaya yang menambahkan aturan tegas pertukaran sosial, harapan
kewajiban bersama, dan sumber persetujuan sosial semua bentuk dimana individual
menginvestasikan definisi diri mereka, kecenderungan kasih sayang, dan, yang
paling penting, identitas sosial. Budaya ini berpengaruh dimana masalah
identitas sosial sebaliknya menentukan peran dimana identifikasi sosial bermain
dalam perilaku antarpribadi dan antar kelompok.
Dasar Identitas
Ingroup: Beberapa Penemuan Empiris
Perbedaan
diantara identitas sosial yang mendasarkan-hubungan dan yang
mendasarkan-kategori membantu membuat pemahaman beberapa penemuan anomali
(ganjil) lain dalam literatur pada hubungan diantara
kolektivisme-individualisme dan konsep-diri. asumsi sederhana dimana menjadi
konsep-diri seseorang dalam budaya individualistik utamanya terdiri dari sifat
dan atribut idiocentric, sebaliknya anggota budaya kolektivis menggabungkan
referensi sosial lebih banyak, meliputi allocentric, bangunan relasioal dan
keanggotaan kelompok, dalam representasi-diri menonjol mereka (Triandis, 1989).
Tetapi penelitian komparatif pada konsep-diri spontan dari responden dalam
budaya yang berbeda tidak mendukung secara konsisten hubungan sederhana ini
diantara budaya dan muatan representasi diri. beberapa studi membandingkan
diskripsi-diri peserta dari masyarakat individualistik dan kolektivis (meliputi
Kenya, Malaysia, India, Jepang, China, dan Korea), dan masyarakat individualistik
(U.S., Britania, dan Australia) telah menemukan dukungan untuk pendirian dimana
kolektivis membangkitkan proporsi besar referensi identitas sosial (Bochner,
1994; Dhawan, Rosemen, Naidu, Thapa, & Rettek, 1995; Kashima et al., 1995;
Ma & Schoeneman, 1997; Ross, Xun, & Wilson, 2002; Trafimow, Triandis,
& Goto, 1991; Triandis, McCusker, & Hui, 1990). Pada sisi lain,
beberapa studi telah menemukan dimana responden U.S. menggunakan persamaan,
atau terkadang bahkan lebih besar, penjelas proporsi sosial dalam konsep-diri
spontan mereka daripada responden dari Jepang, China, atau Korea (Bond &
Cheung, 1983; Cousin, 1989; Ip & Bond, 1995; Rhee, Uleman, Lee, &
Roman, 1995).
Gambarnya
menjadi sedikit lebih jelas ketika seseorang melihat lebih dekat pada tipe yang
berbeda respon identitas sosial dalam studi ini. Secara umum, peserta dari
budaya kolektivis membangkitkan lebih banyak referensi kepada hubungan sosial
dan identitas peran dalam deskripsi-diri spontan mereka, tetapi responden dalam
budaya individualistik membangkitkan kesamaan atau jumlah yang lebih besar dari
referensi untuk kelompok sosial atau keanggotaan kategori sosial. Selanjutnya,
dalam analisis-meta mereka dalam perbandingan budaya-silang individualisme dan
kolektivisme, Oyserman et al. (2002) menemukan bahwa orang Amerika menilai
tinggi pada kolektivisme ketika mengukur meliputi item yang mencabangkan “rasa
memiliki kelompok” sebagai sebuah aspek orientasi kolektivis.
Dalam
khususnya uji budaya-silang komprehensif yang menggunakan respon penyelesaian
kalimat untuk Twenty Statement test (TST; Kuhn & McPartland, 1954) sebagai
ukuran konsep-diri yang menonjol, Watkin et al. (1998) memperoleh respon dari
sejumlah besar siswa universitas dari
empat budaya individualistik yang berbeda (Australia, Canada, New Zealand, dan kulit
putih di Afrika Selatan). Diskripsi-diri diklasifikasikan sebagai idiocentric
(e.g., kualitas pribadi, sifat, sikap), allocentric (bangunan relasional: dapat
bersosial, teman yang baik, dan sebagainya), keanggotaan kelompok-kecil (e.g.,
hubungan keluarga), dan keanggotaan kelompok besar (“saya seorang siswa”, “saya
orang China”, dan sebagainya). Hasilnya menunjukkan perjanjian besar
variabilitas untuk semua sembilan budaya dalam persentase respon setiap tipe.
Keseluruhannya, bagaimanapun, anggota budaya individualistik dan budaya
kolektivis membangkitkan kiri-kira proporsi yang sama (65 – 70%) dari
deskripsi-diri idiocentric. Apa yang membedakan bukan proporsi total
deskripsi-diri sosial tetapi melainkan tipe referensi sosial yang muncul
paling banyak. Pada rata-rata, responden dari negara-negara yang
diklasifikasikan sebagai kolektivis membangkitkan lebih banyak respon yang
dikategorikan sebagai keanggotaan allocentric atau kelompok-kecil,
sebaliknya responden dari negara-negara individualistik membangkitkan lebih
banyak referensi untuk keanggotaan kelompok-besar.
Dalam
studi eksperimen, Brewer dan Gardner (1996) menemukan bahwa frekuensi terminologi
atau referensi relasional untuk keanggotaan kelompok-besar dalam deskripsi-diri
TST bisa dipengaruhi oleh manipulasi dasar yang mempengaruhi peserta untuk
memikirkan tentang antara relasi kelompok-kecil atau kolektif besar. Ketika
arti kita dikontekstualkan untuk mengacu kepada hubungan antarpribadi,
respon kepada siapakah saya? Uji meliputi proporsi besar identitas hubungan
(e.g., “saya adalah anak perempuan”, “saya adalah teman yang baik”)
dibandingkan dengan kondisi kontrol dimana bukan dasar kita diberikan.
Pada sisi lain, ketika dasar kita disajikan dalam konteks kelompok kolektif
besar, respon kepada TST meliputi proporsi besar keanggotaan kategori (e.g.,
“saya adalah orang Amerika”, “saya adalah seorang wanita”). Penemuan eksperimen
ini menegaskan bahwa respon relasional dan kolektif kepada TST adalah peka
terhadap aktivasi tipe berbeda dari identitas sosial.
Secara
keseluruhan, kemudian, penemuan dari macam-macam studi mengenai kehadiran
pengidentifikasi sosial dalam konsep-diri spontan konsisten dengan gagasan
dimana budaya tidak berbeda dalam apakah identitas sosial adalah aspek
penting konsep diri tetapi dalam tipe apa identitas sosial lebih
ditonjolkan.
Dalam
uji yang lebih langsung perbedaan budaya dalam arti identitas sosial ingroup,
Yuki (2003) melakukan studi komprehensif diantara Jepang dan United States pada
pemprediksi kekuatan identitas dan kesetiaan ingroup. Dia meminta kedua siswa
universitas Amerika dan Jepang melaporkan bagaimana mereka merasakan dua jenis
ingroup dari ukuran yang berbeda – dugaan mereka dan kelompok sosial kecil
dimana mereka termasuk (e.g., kelompok klub atau aktivitas). Satu perangkat
ukuran melibatkan koneksi relasional dengan kelompok, seperti pengetahuan
tentang perbedaan individual dan hubungan diantara anggota kelompok, dan rasa
antar hubungan diantara diri dan anggota kelompok lain. Perangkat lain ukuran
terkait dengan ciri-ciri ingroup sebagai kategori sosial, seperti homogenitas
intragroup yang dirasa dan status terkait dengan outgroup. Yuki menemukan bahwa
untuk siswa Jepang, identifikasi ingroup dan kesetiaan ditentukan semata oleh
faktor relasional, dengan korelasi tidak signifikan dengan faktor-faktor
kategori. Sebaliknya, diantara siswa Amerika, identitas dan kesetiaan secara
signifikan terkait dengan relasional dan faktor kategori. Pola penemuan ini
konsisten dengan model perbedaan budaya kita dalam representasi arti dan
kognitif dalam ingroup sosial.
IDENTITAS DAN SUMBER DAYA SOSIAL DARI HARGA-DIRI
Memahami
dasar dimana individual dalam budaya yang berbeda mendefinisikan ingroup dan
identitas sosial membawa manfaat lebih ketika seseorang memperhatikan hubungan
diantara identitas sosial dan pemanfaatan psikologi. Nilai budaya dan pengaruh
praktek dimana unit sosial memiliki dampak besar pada representasi-diri anggota
dan kualitas apa yang menyumbang sebagian besar ke kesehatan psikologi positif
(Deaux, 1993). Satu jalur penelitian pada efek identitas sosial menyelidiki
jangkauan dimana individual memperoleh pemahaman mereka tentang harga diri dan
kesejahteraan dari keanggotaan kelompok sosial atau hubungan sosial mereka.
Dalam budaya dimana identitas kelompok yang tidak diselaraskan, simbolik, atau
kategori adalah yang paling menyolok, peningkatan-diri kolektif bisa menjadi
sumber penting harga-diri. dalam budaya dimana ingroup didefinisikan utamanya
sebagai jaringan relasional, kesejahteraan dan harga-diri mungkin menjadi lebih
dekat terkait dengan peningkatan kualitas hubungan dan rekan hubungan.
Hipotesis ini membantu kita mengintegrasikan beberapa perangkat berlainan dalam
penemuan dari literatur budaya-silang.
Di
United States, fungsi peningkatan-diri dalam identitas kelompok telah distudi
utamanya dalam hubungan kepada konsep “harga-diri kolektif” (Luhtanen &
Crocker, 1992), dimana yang mengacu kepada evaluasi individual dari identitas
sosial mereka dan peran keanggotaan kelompok mereka dalam menyumbang ke
harga-diri pribadi mereka. Pengukuran harga-diri kolektif telah
mengidentifikasi empat terkait tetapi komponen yang berbeda (subskala) – pentingnya
identitas (seberapa penting keanggotaan kelompok bagi konsep-diri
individual), penghargaan anggota (penaksiran individual dalam nilai
mereka sebagai anggota kelompok), harga pribadi (evaluasi pribadi
individual dari kelompok keanggotaan mereka), dan harga publik (penaksiran
individual bagaimana orang lain mengevaluasi kelompok keanggotaan mereka).
Dalam studi awal tentang skala harga-diri kolektif, setiap komponen ini
ditemukan mengkorelasi beberapa tingkat dengan harga-diri pribadi (Luhtanen
& Crocker, 1992). Akan tetapi, konsisten dengan penemuan Yuki (2003)
mengenai pentingnya perbandingan dan status antar kelompok pada identitas dan
kesetiaan ingroup diantara mahasiswa kulit putih di United States, harga-diri
kolektif publik adalah penyumbang signifikan ke harga-diri pribadi (Crocker,
Luhtanen, Blaine, & Broadnax, 1994; Luhtanen & Crocker, 1992). Bahkan
diantara kelompok minoritas status-rendah, kekuatan identifikasi etnik dan
harga-diri kolektif secara positif terkait dengan ukuran harga-diri dan
kesejahteraan (Branch, Tayal, & Triplett, 2000; Crocker et al., 1994;
Verkuyten & Lay, 1998), menyatakan bahwa identifikasi kelompok melayani
untuk menopang harga-diri dari efek deskriminasi sosial (Branscombe, Schmitt,
& Harvey, 1999).
Sebaliknya,
bukti menyataka bahwa untuk Asia Timur, peningkatan ingroup kolektif bukan
dasar signifikan dari harga-diri pribadi (Heine, 2003). Ini nampaknya sangat
benar ketika ingroup terget adalah kolektif kategori besar, seperti identitas
nasional atau universitas. Hawstone dan Ward (1985), contohnya, memperoleh
bukti penyimpangan atribut penghapusan-kelompok diantara orang-orang China
berhubungan dengan kelompok etnik mereka. Bond dan Hewstone (1988) menemukan
bahwa siswa sekolah menengah atas Britania di Hong Kong memiliki kesan lebih
positif dari ingroup daripada siswa orang China. Dengan cara yang sama, studi
nasional-silang Rose (1985) menemukan bahwa orang Amerika memiliki pandangan
lebih positif tentang negara mereka daripada orang Jepang, dan Heine dan Lehman
(1997) menemukan bahwa nilai siswa orang Jepang dari universitas mereka sendiri
adalah lebih buruk daripada nilai oleh siswa dari universitas rivalnya.
Akhirnya, Snibbe, Kitayama, Markus, dan Suzuki (2003) menemukan kurang secara
signifikan favoritisme ingroup diantara fans sepak bola Jepang dibandingkan
dengan rekan orang Amerika mereka. Sebaliknya untuk siswa orang Amerika, yang
dengan nyata menunjukkan bias antar kelompok, rekan orang Jepang mereka,
walaupun sama-sama diidentifikasi dengan universitas mereka dan team olah raga,
tidak menunjukkan bukti manapun bisa antar kelompok.
Penting
sekali, walaupun Asia Timur jarang meningkatkan harga-diri kolektif mereka,
mereka memperagakan bias peningkatan-hubungan signifikan, seperti yang
ditunjukkan dengan perbedaan diantara evaluasi hubungan mereka sendiri dan
hubungan “rata-rata” (Endo, Heine, & Lehman, 2000; lihat juga Sedikides,
Gaertner, & Toguchi, 2003). Bahkan ketidak hadiran peningkatan-diri dan
tekanan pada sikap kritis-diri telah diinterpretasikan ketika sedang mendesain
untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain (Heine & Lehman, 1997;
Kitayama, Markus, Matsumoto, & Norasakkunkit, 1997). Pentingnya motivasi
dalam peningkatan hubungan untuk orang Asia selanjutnya diusulkan oleh penemuan
dimana harmoni hubungan lebih sangat terkait dengan kesejahteraan subyektif di
Hong Kong daripada di United States (Kwan, Bond, & Singelis, 1997; Kurman
& Sriram, 1997).
KONSEKUENSI IDENTITAS SOSIAL UNTUK PROSES INTRAGROUP DAN ANTAR GROUP/KELOMPOK
Memperhatikan
identitas sosial dari perspektif budaya memiliki maksud untuk memahami fenomena
level-kelompok, sebagaimana konsep-diri individual. maksud umum kita adalah bahwa
dasar yang berbeda untuk identitas sosial memiliki tujuan yang berbeda selama
bagaimana identitas sosial meregulasi proses dan hasil intragroup dan antar
group (lihat Hong, Wan, No, & Chiu, bab 13, volume ini). Dengan
memperhatikan bagaimana budaya membentuk arti ingroup, kita bisa memancarkan
beberapa penerangan pada anomali yang muncul dalam literatur budaya-silang pada
kepercayaan dan perilaku antar kelompok.
Proses Intragroup; Kepercayaan Dan Kerjasama
Dalam literatur
ilmu pengetahuan sosial, ada sekarang kebangkitan kepentingan dalam kepercayaan
sebagai bangunan psikologi sentral (Buchan, Croson, & Dawes, 2002; Foddy,
Platow, & Yamagishi, 2003; Kramer, 1999; Yamagishi, Foddy, Makimura,
Matsuda, & Platow, 2003). Untuk tujuan kita, “kepercayaan” didefinisikan
sebagai harapan perlakuan dermawan dari orang lain dalam situasi tidak tentu
atau beresiko (Foddy et al., 2003). Secara umum, konsep kepercayaan
menggambarkan keyakinan dimana orang lain akan bertindak dengan cara dimana
akan menguntungkan (atau tidak keras) diri seseorang, sebelum seseorang
mengetahui hasil perilaku orang lain (Dasgupta, 1988). Kepercayaan secara khas
disebut untuk dalam situasi dimana pribadi orang lain memiliki potensi untuk
memperoleh pada beban seseorang tetapi bisa memilih tidak mengerjakannya
(Yamagishi & Yamagishi, 1994).
Dari
kepentingan tertentu adalah peran kepercayaan dalam kontek dan institusi dimana
peserta harus memutuskan apakah menyandarkan orang lain tanpa pengetahuan
pribadi tentang mereka atau riwayat hubungan antar pribadi (Cook, 2001; Foddy
et al., 2003; Kramer, 1999; Ostrom, 1998; Tyler, 2001; Yamagishi et al., 2003;
Yamagishi & Yamagishi, 1994). Walaupun ini secara umum sulit untuk membangun
kepercayaan dalam seseorang yang tidak mengetahui secara pribadi, kepercayaan
bukan perseorangan ini adalah penting bagi penciptaa dan pemeliharaan banyak
bentuk pertukaran ekonomi, organisasi,dan institusi sosial dan politik.
Macy
dan Skvoretz (1998) menyatakan bahwa “aturan kepercayaan yang paling awal
didasarkan pada jarak sosial – tetangga kepercayaan, tetapi bukan orang luar”
(p.651). individual bisa mempercayai orang lain jika mereka mengetahui (atau
percaya) bahwa mereka dan orang lain secara langsung atau tidak langsung
terhubung melalui persahabatan atau kenalan bersama (Coleman, 1990). Jaringan
yang terbagi dari hubungan antar pribadi menyediakan mekanisme untuk memperluas
kepercayaa yang diselaraskan untuk orang lain yang tidak diketahui yang
adalah bagian jaringan sosial. Pada sisi lain, kanggotaan kategori yang dibagi
(ingroup umum) bisa menjadi dasar untuk kepercayaan yang tidak diselaraskan
(Brewer, 1981; Buchan et al., 2002; Macy & Skvoretz, 1998; Yamagishi &
Kiyonari, 2000). Sebagai konsekuensi pergeseran secara psikologi dari pribadi
ke level identitas kolektif, seseorang bisa tidak mungkin membedakan
kepentingan anggota ingroup lain dari diri mereka sendiri, mendorong
meningkatkan kepercayaan terhadap anggota ingroup laki-laki apakah secara pribadi
mengetahui atau tidak. Penelitian pada konsekuensi identitas sosial telah
mempertunjukkan bahwa keanggotaan ingroup yang terbagi semata cukup untuk
menimbulkan kepercayaan dan kerjasama. Ketika kategorisasi sosial terbagi
dibuat menonjol, individual lebih mungkin mempercayai bahwa penyedia akan
membagi sumber daya dengan wajar (Foddy et al., 2003), untuk bekerja sama untuk
menghemat sumber daya kelompok (e.g., Brewer & Kramer, 1986; DeCremer &
van Vugt, 1999), dan untuk menyumbang ke barang publik tanpa mengetahui apakah
orang lain juga menyumbang saham mereka (Wit & Kerr, 2002).
Tetapi
penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa kcenderungan ini untuk mempercayai
anggota ingroup dikualifikasikan oleh perbedaan budaya. Menariknya, bukti
menunjukkan bahwa bias ingroup ini dalam kepercayaan secara aktual lebih besar
untuk mereka yang memiliki orientasi budaya individualistik atau orang dari
budaya individualistik, daripada untuk kolektivis dan orang dari budaya
kolektif. Buchan et al. (2002), contohnya, menguji kesediaan individual untuk
mempercayai orang lain dalam permainan investasi yang melibatkan situasi
pertukaran tidak langsung. Mereka menemukan bahwa peserta dengan orientasi
budaya individualistik meningkatkan level kepercayaan mereka dalam orang lain
yang tidak diketahui (dalam hal jumlah investasi keuangan) ketika batas
kategori kewenangan diperkenalkan untuk menyediakan peserta pertukaran dengan
identitas kelompok sosial umum. Peserta dengan orientasi kolektivis,
bagaimanapun, tidak mengubah level kepercayaan mereka, apakah identitas
kategori ditonjolkan atau tidak. Menggunakan prosedur yang sama dalam studi
selanjutnya, Buchan, Croson, dan Johnson (2003) menemukan bahwa peserta U.S.
menunjukkan bias ingroup nyata dalam kepercayaan, sebaliknya peserta orang
China tidak menunjukkan semua kecenderungan ini. Demikian juga, Yamagishi et
al. (2003) menemukan bahwa membagi keanggotaan kelompok (e.g., negara yang
sama, universitas yang sama) cukut membangkitkan kepercayaan tinggi dalam
anggota ingroup untuk orang Australia, tetapi tidak untuk orang Jepang.
Penemuan
perlawanan intuisi ini mengenai hubungan diantara nilai budaya kolektivis dan
kepercayaan intragroup bisa dijelaskan (setidaknya sebagian) dengan
memperhatikan perbedaan diantara ingroup yang mendasarkan-hubungan dan yang
mendasarkan-kategori. Ketika kita sedang memperdebatkan, perilaku kelompok Asia
Timur sebagian besarnya adalah intragroup dan yang mendasarkan-hubungan.
Kelompok dibangun sehingga anggota bisa mengawasi setiap perilaku orang lain,
dan visibilitas tinggi anggota individual bisa melayani sebagai mekanisme untuk
menghambat potensi freeriding (mengendarai papan seluncur es) (Miller &
Kanazawa, 2000; Yamagishi et al., 1998). Kenyataannya, eksperimen budaya-silang
Yamagishi menunjukkan bahwa orang Jepang menjadi kurang bergotong royong dan
kurang mempercayai terhadap ingroup ketika tidak ada sistem pengawasan dan
sangsi ingroup, sebaliknya orang Amerika tidak merubah level gotong royong dan
kepercayaan mereka sebagai fungsi kehadiran atau ketidak hadiran sistem
pengawasan dan sangsi (Yamagishi, 1988a, 1988b). Sebaliknya untuk mekanisme
kerjasama yang didasarkan pada keanggotaan kelompok yang terbagi yang tidak
diselaraskan, kepercayaan dan kerjasama berdasarkan-hubungan tergantung pada koneksi
antar pribadi dan kewajiban timbal balik (Yamagishi et al., 1998).
Bukti
perbedaan budaya ini membawa Yuki, Maddux, Brewer, dan Takemura (2005)
berspekulasi bahwa perbedaan dalam arti ingroup (dan identitas sosial yang
sesuai) dikaitkan dengan dasar perbedaan kepercayaan dan kerjasama ingroup
untuk semua budaya. Lebih khususnya, mereka menghipotesa bahwa perilaku
kelompok orang Amerika didasarkan pada perbedaan kategori diantara ingroup dan
outgroup, dan kepercayaan yang tidak diselaraskan didasarkan pada pengetahuan
dimana diri dan orang lain membagi keanggotaan dalam kategori sosial terbatas.
Sebaliknya, jika perilaku kelompok orang Jepang lebih dikemudikan oleh
pentingnya jaringan hubungan, kepercayaan harusnya paling tinggi terhadap
individual yang dianggap membagi jaringan hubungan langsung atau tidak langsung
dengan diri sendiri, kurang memperhatikan batas-batas kategori. Membagi
keanggotaan ingroup bisa menyediakan satu dasar untuk menyimpulkan hubungan
relasional kepada orang lain yang tidak diketahui, tetapi ikatan jaringan
potensial untuk semua batas-batas kategori seharusnya sama-sama nampak
mendatangkan kepercayaan. dengan kata lain, itu diprediksikan bahwa jika
anggota outgroup yang tidak diketahui membagi koneksi antarpribadi tidak langsung
dengan diri sendiri (melalui kenalan pribadi), mata rantai hubungan
kelompok-silang ini harus membangkitkan kepercayaan untuk anggota outgroup di
Jepang tetapi tidak di United States.
Hasil
dari dua eksperimen mendukung hipotesis bahwa dasar kepercayaan ingroup berbeda
untuk semua budaya. Untuk semua kedua studi, orang Amerika cenderung
mempercayai orang asing didasarkan pada perbedaan kategori diantara mereka yang
membagi keanggotaan kelompok yang sama dan mereka yang tidak mengerjakan, dan
memiliki kenalan dalam outgroup tidak mempengaruhi pada level kepercayaan. pola
ini menunjukkan bahwa kepercayaan adalah tidak diselaraskan untuk orang
Amerika, konsisten dengan model identitas sosial dimana perilaku dan kognisi
kelompok sangat didasarkan pada perbedaan kategori diantara ingroup dan
outgroup. Sebaliknya, kepercayaan untuk peserta orang Jepang lebih tergantung
pada kemungkinan dimana target membagi mata rantai hubungan langsung atau tidak
langsung. Khususnya, kehadiran hubungan kelompok-silang potensial memiliki efek
kuat pada kepercayaan outgroup untuk orang Jepang. Hasil dari sampel orang
Jepang kita sebangun dengan hipotesis dimana perilaku dan kognisi kelompok
Jepang didasarkan-hubungan (Yuki, 2003), dengan orang Jepang mempercayai mereka
yang paling mungkin membagi hubungan antarpribadi langsung dan tidak langsung,
seperti yang dicontohkan oleh level tinggi kepercayaan terhadap anggota ingroup
dan anggota outgroup dengan koneksi hubungan potensial. Secara keseluruhan,
maka, eksperimen ini pada kepercayaan mendukung kerangka kerja theoritis umum
kami dimana representasi ingroup dan dasar identitas sosial berbeda untuk semua
konteks budaya.
Proses Intragroup: Deskriminasi Ingroup-Outgroup
Sebagai
tambahan untuk perilaku intragroup, dasar budaya identitas ingroup memiliki
tujuan penting untuk hubungan antar kelompok. Deskriminasi
ingroup-outgroup mengacu kepada perbedaan dalam perilaku yang diarahkan kepada
anggota ingroup dalam jika dibandingkan dengan anggota outgroup, khususnya
perilaku yang menguntungkan anggota ingroup dan/atau merugikan outgroupers
(pengelompok luar). Pertanyaannya disini adalah apakah ingroup didasarkan pada
antar ketergantungan relasional dan ingroup didasarkan pada kategori simbolik
memiliki efek yang sama pada sikap dan perilaku terhadap anggota outgroup.
Dalam
literatur pada kolektivisme-individualisme, klaim telah dibuat dimana anggota
budaya kolektivis membuat perbedaan yang lebih tajam diantara perilaku ingroup
dan perilaku outgroup daripada yang dilakukan anggota budaya individualistik
(Triandis, 1995). Ketika Iyengar, Lepper, dan Ross (1999) meletakkannya, “ketika
batas diri-orang lain menjadi tidak berbeda, perbedaan diantara anggota ingroup
dan anggota outgroup mengasumsikan signifikansi yang lebih besar . . . menerima
anggota ingroup untuk diri sendiri mungkin membawa individual melawan anggota
ingroup dan outgroup lebih dengan tajam, membuat mereka secara relatif lebih
rentan membedakan bias kognitif, persepsi, dan motivasi” (p. 279).
Beberapa
studi komparatif telah mendukung gagasan ini dimana nilai kolektivis terkait
dengan perbedaan ingroup-outgroup yang lebih besar. Contohnya, Leung (1988)
menemukan bahwa dalam merespon skenario konflik
diantara dua pembangkang, siswa perguruan tinggi China Hong Kong tidak mungkin mengejar
konflik dengan pembangkang ingroup (teman dekat) dan lebih mungkin mengejar
konflik dengan pembangkang outgroup (orang asing) daripada siswa orang Amerika.
Dengan cara yang sama, studi pada kadilan distributif telah menunjukkan bahwa
orang dari budaya kolektivis menerapkan norma alokasi penghargaan yang berbeda
kepada ingroup dan outgroup. Leung dan Bond (1984), contohnya, menemukan bahwa
peserta orang China membagi penghargaan lebih merata dengan teman, tetapi
dengan orang asing outgroup mereka mengikuti kepada norma ekuitas lebih dekat
daripada yang dikerjakan orang Amerika. Demikian juga, Mahler, Greenberg, dan
Hayashi (1981) meminta siswa di Jepang dan di United States bagaimana
penghargaan harus dibagi dalam susunan cerita yang menjelaskan dua pekerja.
Peserta Amerika cenderung menyukai alokasi ekuitas yang didasarkan pada
kontribusi relatif dua pekerja, mengabaikan apakah pekerja adalah teman.
Peserta orang Jepang, pada sisi lain, menyukai alokasi persamaan ketika dua
pekerja dijelaskan sebagai sangat terkoneksi, meskipun preferensi alokasi
mereka adalah sama seperti orang Amerika ketika cerita menyatakan bahwa dua
pekerja tidak sangat terkoneksi.
Sebaliknya
untuk penemuan ini dimana yang menunjukkan bahwa Asia Timur mendiskriminasikan
diantara situasi ingroup dan outgroup lebih dari orang Amerika, implikasi dari
penelitian oleh Yuki (2003), yang disebutkan sebelumnya, menunjukkan bahwa
perbandingan antar kelompok diantara kategori sosial adalah lebih penting untuk
orang Amerika daripada untuk orang Jepang. Di literatur Eropa dan Amerika pada
identitas sosial, peran penonjolan kategori dalam diskriminasi ingroup-outgroup
telah dengan baik didokumentasikan dalam penelitian eksperimen menggunakan
paradigma antar kelompok minimal (Tajfel, 1970; Tajfel, Billig, Bundy, &
Flament, 1971; Brewer, 1979; Turner, 1981; Diehl, 1990).
“kelompok
minimal” adalah kategori sosial yang tidak diselaraskan yang didasarkan pada
perbedaan kategori kewenangan diantara ingroup dan outgroup. Memang, ada bukti
untuk menyatakan bahwa bias ingroup didasarkan pada perbedaan kategori demikian
bisa kenyatannya menjadi lebih diingat di Barat daripada di budaya Asia.
Wetherell (1982) melakukan studi untuk menguji ketahanan budaya-silang
favoritisme ingroup dalam kelompok minimal di New Zealand. Dia menemukan bahwa
anak dengan latar belakang Polynesia menunjukkan bias ingroup yang lebih lemah
daripada mereka yang dengan latar belakang Eropa, dan mereka malahan mencoba
memanfaatkan dua anggota ingroup dan outgroup. Dalam studi yang disebutkan
sebelumnya oleh Buchan et al. (2003), setengah peserta memainkan peran
“responder”, yaitu yang diminta untuk memutuskan apakah mereka akan
mengembalikan porsi uang yang diterima (dengan keyakinan) dari “pengirim”,
yaitu yang diantara dalam ingroup atau outgroup (minimal). Hasilnya menunjukkan
bahwa peserta orang Amerika memperagakan bias ingroup signifikan, mengembalikan
jumlah uang lebih besar kepada ingroup daripada ke pengirim outgroup,
sebaliknya orang China menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Selanjutnya,
perbedaan budaya ini dimediasi oleh orientasi budaya kolektivisme –
individualisme (i.e., efek budaya yang muncul ketika perbedaan individual dalam
kolektivisme – individualisme secara statistik terkontrol), dengan individualis
menunjukkan lebih bias ingroup daripada kolektivis dalam kedua negara. Bukti
lain menunjukkan bahwa Asia Timur tidak siap ikut dalam diskriminasi outgroup
dalam pengaturan kelompok minimal ketika diskriminasi tidak secara tidak
langsung menguntungkan diri sendiri (Yamagishi, Jin, & Kiyonari, 1999).
Kontradiksi
yang muncul dalam kesimpulan yang digambarkan dalam literatur tentang
diskriminasi ingroup-outgroup relatif dalam masyarakat keloktivis dan
individualistik bisa dipecahkan ketika seseorang melihat lebih dekat bagaimana
ingroup ditentukan dalam studi yang berbeda dan tipe apa diskriminasi antar
kelompok sedang dinilai. Dalam studi kelompok minimal khas, ingroup
didefinisikan sebagai kategori dengan sebenarnya, dalam pemahaman dimana mereka
ditentukan berdasarkan dasar kewenangan, seperti dengan undian, kecenderungan
estimasi titik (melebih-lebihkan vs merendahkan), dan preferensi artistik, dan,
lebih pentingnya, tidak ada antar ketergantungan kokoh diantara anggota. Akan
tetapi, seperti yang dibahas diawal, ingroup untuk kolektivis adalah lebih
banyak jaringan berdasarkan-hubungan, dimana antar ketergantungan dalam ingroup
adalah dari kepentingan krusial. Sebaliknya dengan prinsip perbedaan antar
kelompok positif yang mengatur perilaku antar kelompok, seperti yang dilukiskan
oleh SIT, perilaku antar kelompok Asia Timur bisa dikarakterkan sebaga strategi
dimana yang memaksimalkan kepentingan pribadi seseorang dengan menjaga hubungan
saling menguntungkan dengan anggota ingroup laki-laki (Hamaguchi, 1977;
Yamagishi et al., 1998).
Di
budaya Asia Timur, kewajiban untuk bekerjasama sangat dapat diterapkan dalam
interaksi dengan teman daripada dengan orang asing. Dalam eksperimen yang baru
pada efek isyarat budaya pada perilaku sosial, selanjutnya dengan yang
diutamakan dengan simbol orang China (vs. Amerika atau netral-budaya),
dwibudaya China Amerika lebih bersifat kooperatif ketika mereka memainkan
permainan dilemma tawanan/orang hukuman/narapidana dengan teman mereka. Akan
tetapi, pengutamaan budaya tidak mempengaruhi kooperatif atau pilihan
kompetitif dwibudaya ini ketika mereka memainkan permainan dengan orang asing
(wong & Hong, 2005).
Sebangun
dengan alasan ini, serangkaian studi oleh Yamagishi dan kolega (Jin, Yamagishi,
& Kiyonari, 1996; Karp, Jin, Yamagishi, & Shinotsuka, 1993) menunjukkan
bahwa orang Jepang ikut dalam favoritisme ingroup dalam situasi kelompok
minimal ketika isyarat yang muncul dalam antar ketergantungan intragroup
disediakan. Dalam kondisi dimana peserta masing-masing diberitahukan bahwa dia
hanya orang dalam ingroup yang diberi tugas alokasi penghargaan, mereka tidak
menunjukkan fevoritisme ingroup. Mereka, bagaimanapun, menyenangi ingroup
ketika itu ditekan dengan nyata bahwa setiap orang dalam eksperimen sedang
melaksanakan tugas alokasi penghargaan, dimana menurut dugaan membuat mereka
memikirkan tentang antar ketergantungan (dan timbal-balik) dalam kelompok
mereka. Penemuan ini konsisten dengan usulan Benedict (1946) dimana sumber daya
kesetiaan ingroup orang Jepang pemeliharaan hubungan timbal-balik dengan keras
dengan anggota ingroup laki-laki. Sebaliknya, peserta dalam eksperimen kelompok
minimal di Amerika utara dan Australia menunjukkan diskriminasi ingroup
signifikan bahkan ketika antarketergantungan timbal balik dalam kelompok telah
dihilangkan (e.g., Perreault & Bourhis, 1998; Platow, McClintock, &
Liebrand, 1990), menyatakan bahwa favoritisme ingroup dalam budaya ini
didasarkan pada keinginan untuk memanfaatkan ingroup keseluruhan daripada pada
harapan kesukaan timbal balik.
RINGKASAN DAN KESIMPULAN
Thesis
kami melalui bab ini telah didasarkan pada gagasan bahwa semua budaya
menyandarkan identifikasi sosial dan kesetiaan, kepercayaan, dan kerjasama
ingroup sebagai mekanisme penting koordinasi dan kontrol sosial. Sifat
identitas sosial, bagaimanapun, ditempelkan dalam nilai dan praktek budaya,
dengan konsekuensi bahwa batas-batas ingroup dan perbedaan ingroup-outgroup
bisa menjadi budaya-khusus. Walaupun sifat perbedaan ini dalam menentukan
identitas ingroup dan sosial bisa bermacam-macam sepanjang beberapa dimensi,
kita telah menekankan satu perbedaan penting, yaitu, perbedaan diantara
identitas sosial yang didasarkan pada jaringan hubungan antar pribadi dan
identitas sosial yang didasarkan pada keanggotaan yang dibagi dalam kolektif
yang tidak diselaraskan. Kita telah meninjau penelitian yang menunjukkan bahwa
perbedaan ini konsisten dengan penemuan dari perbandingan budaya-silang dari
dasar harga-diri, kepercayaan intragroup, dan diskriminasi antar kelompok.
Sebagian besar penelitian empiris yang dilakukan dalam area ini melibatkan
perbandingan diantara budaya individualistik, yang digambarkan oleh United
States, Eropa, dan Australia, dan budaya kolektivis, yang digambarkan oleh Asia
Timur. Kita diyakinkan, bagaimanapun, bahwa perbedaan ini bisa digunakan lebih
luas di penelitian masa depan pada peran budaya dalam membentuk dan
mendefinisikan identitas sosial dan konsekuensinya bagi proses individual,
kelompok, dan antar kelompok.
Subscribe by Email
Follow Updates Articles from This Blog via Email
No Comments
Berkomentar yang sopan, setiap komentar yang sesuai tema akan diterima dengan baik, dan yang Anonymous kami mohon maaf terpaksa dihapus!