Sabtu, 25 April 2015

BAB 12 IDENTITAS BUDAYA DAN SOSIAL

BAB 12 IDENTITAS BUDAYA DAN SOSIAL

Marilynn B. Brewer
Masaki Yuki
Konsep “identitas sosial” telah dimasukkan melalui ilmu pengetahuan manusia kapanpun ada dibutuhkan untuk pegangan konseptual diantara level analisis individual dan kelompok. Identitas sosial menyediakan hubungan diantara psikologi individual – representasi diri – dan struktur dan proses kelompok sosial dimana diri sendiri dikaitkan. Sebagai sebuah konsekuensi, konsep identitas sosial telah ditemukan dan ditemukan kembali dalam macam-macam luas kerangka kerja theoritis, dan untuk semua disiplin ilmu pengetahuan sosial dan perilaku (Brewer, 2001; Stryker, 1987; Thoits & Virshup, 1997).
Dimanapun teori dan penelitian identitas sosial melalui ilmu pengetahuan sosial menggambarkan beberapa ciri-ciri universal masyarakat yang diperoleh dari besarnya sifat sosial manusia sebagai spesies. Hidup berkelompok adalah bagian sejarah evolusioner manusia, yang diwariskan dari nenek moyang primata kita tetapi berkembang ke level antar ketergantungan melewati primata sosial lain (Brewer & Caporael, 2006; Caporael, 1997). Dengan hidup berkelompok terkoordinasi sebagai strategi kelangsungan hidup utama dalam spesies, kelompok sosial pada hakekatnya menyediakan penopang diantara organisme individual dan urgensi lingkungan fisik. Menyajikan morfologi dan ekologi hominid berkembang, hubungan diantara hominid dan habitat mereka harus menjadi proses kelompok. Menemukan makanan, bertahan terhadap pemangsaan, berpindah menyeberangi pemandangan – masalah ini dalam mengatasi habitat fisik – sebagian besar adalah proses kelompok. Dari waktu ke waktu, jika eksploitasi habitat lebih berhasil sebagai proses kelompok kolektif daripada sebagai proses individual, maka tidak hanya akan lebih banyak kelompok berhasil ada, tetapi begitu juga akan individual yang lebih baik diadaptasikan ke kehidupan berkelompok. Maka, kita akan mengharapkan bahwa elemen dasar psikologi manusia – kognisi/theori, motivasi, dan emosi – akan disesuaikan ke permintaan struktural kelompok sosial dan koordinasi sosial.
Kapasitas untuk identifikasi sosial – mempertimbangkan diri sendiri sebagai bagian unit sosial besar – adalah salah satu ciri-ciri psikologi manusia yang melayani untuk meregulasi dan menjaga hubungan esensial diantara individual dan kelompok sosial mereka. Di semua masyarakat, individual memandang diri mereka sendiri sebagai bagian pengelompokan sosial terdefinisi (ingroup) yang dikarakterkan dengan saling kerjasama dan kewajiban timbal balik (Levine & Campbell, 1972; Summer, 1906). Walaupun kapasitas untuk identitas sosial didalilkan menjadi universal, tempat dan kandungan identitas sosial secara nyata berbudaya ditetapkan dan diregulasi. Maka, identitas sosial menyediakan banyak bidang untuk studi hubungan diantara psikologi individual dan sistem praktek dan pemahaman budaya.
Studi perbedaan budaya dalam identifikasi sosial sering kebanyakan ditulis dengan istilah perbedaan diantara individualisme dan kolektivisme sebagai salah satu dimensi dasar norma dan nilai budaya (Hofstede, 1980; Triandis, 1989; 1995). Ketika ini secara umum paling dipahami, budaya individualistik dikarakterkan dengan tekanan pada otonomi dan perbedaan diri individual dari orang lain, sebaliknya masyarakat kolektivist dikarakterkan dengan keakraban dan antarketergantungan sosial (Osyserman, Coon, & Kemmelmeier, 2002). Dalam hal defenisi sendiri, individualis diasumsikan sangat berfokus pada perbedaan diantara diri sendiri dan orang lain (saya vs bukan saya) dan kolektivis pada perbedaan diantara ingroup (kita) dan outgroup (mereka), dengan sedikit perbedaan  diri individual dalam ingroup. Sebagai sebuah konsekuensi, kolektivis diharapkan menunjukkan level tinggi diskriminasi ingroup-outgroup dalam perilaku sosial mereka, sebaliknya individualis diharapkan menjadi lebih universalistik dan tidak diskriminasi. Dalam hal sasaran dan nilai, individualis memberikan prioritas ke sasaran pribadi diatas sasaran kolektif, sebaliknya kolektivis baik tidak membuat perbedaan diantara sasaran pribadi dan kolektif, atau jika mereka kerjakan, mereka menangguhkan sasaran pribadi mereka untuk sasaran kolektif (Triandis, 1989). Dengan memperhatikan kepada identitas ingroup, thema pusat individualisme adalah konsepsi individual sebagai makhluk otonomi yang terpisah dari kelompok; thema pusat kolektivisme adalah konsepsi individual sebagai aspek kelompok atau kolektif (Triandis, Chan, Bhawuk, Iwao, & Sinha, 1995).
Menyajikan permintaan universal kehidupan berkelompok dan antar ketergantungan sosial, kita percaya bahwa karakterisasi budaya dua kutub ini yang dilabuhkan oleh individualisme pada satu ujung dimensi dan kolektivisme pada ujung lain adalah terlalu sederhana. Dan, memang, representasi masyarakat individualistik yang dijelaskan diawal tidak konsisten dengan dasawarsa penelitian pada identitas sosial dan penyimpangan ingroup yang dilakukan hampir secara eksklusif dalam masyarakat Barat yang sangat individualistik (cf. Brewer, 1979; Tajfel & Turner, 1979; Abrams & Hogg, 2001). Selanjutnya, tinjauan komprehensif sekarang dalam studi individualisme dan kolektivisme untuk semua bangsa (Oyserman et al., 2002) menunjukkan bahwa orang Amerika (yang secara umum menilai tinggi pada ukuran individualisme) ditemukan menjadi tidak tidak kolektif daripada orang Asia Timur (khususnya Jepang dan Korea) pada beberapa komponen nilai dan sikap kolektivis.
Kita tidak meragukan bahwa masyarakat berbeda dalam hal tingkat individualisme, khususnya, jangkauan dimana budaya menekan kebebasan dan otonomi melalui antar ketergantungan dan harmoni (markus & Kitayama, 1991; Oyserman et al., 2002; Schimmack, Oishi, & Diener, 2005). Apa yang kita tentang adalah dugaan bahwa individualisme menghalangi identifikasi sosial dengan kelompok dan kolektif sosial. Dalam pandangan kami, pemahaman lebih lengkap perbedaan budaya dalam identitas sosial akan berawal dari pengakuan bahwa semua masyarakat harus memenuhi kebutuhan pokok untuk kedua identitas individual dan sosial, dan menyediakan untuk hubungan efektif diantara kepentingan-diri sendiri individual dan kepentingan dan kesejahteraan kolektif. Apa yang membedakan untuk semua budaya adalah bagaimana proses identifikasi sosial direpresentasikan  dan disalurkan untuk meregulasi kerjasama sosial dan mencapai keseimbangan diantara ekspresi kenyamanan individualitas dan sosial (Brewer & Roccas, 2001). Kita menyajikan thesis yang menyempurnakan karya sebelumnya pada individualisme dan kolektivisme dengan menunjukkan bagaimana masyarakat dimana secara tradisional diklasifikasikan sebagai kolektivistik yang berbeda dari masyarakat yang lebih individualistik dalam sifat dan struktur identitas sosial. Dalam bab ini kita berharap menguraikan peran budaya dalam membentuk (1) pemahaman ingroup, (2) hubungan diantara identitas dan kepercayaan kelompok, dan (3) sifat penyimpangan ingroup-outgroup.

TEORI IDENTITAS SOSIAL: DASAR IDENTIFIKASI INGROUP

Dalam psikologi sosial, theori yang paling ditekuni dalam identitas sosial dan penyimpangan ingroup adalah social identity theory (SIT), seperti yang dikembangkan oleh Tajfel dan Turner (1979), dan self-categorization theory (SCT) terkait, yang dikembangkan oleh Turner dan kolega dalam tahun-tahun berikutnya (Turner, Hogg, Oakes, Reicher, & Wetherell, 1987). kemudian, kita mulai tinjauan kita dengan sinopsis SIT dan penelitian terkait, kemdian menunjukkan bagaimana pengantar perspektif budaya mendorong kualifikasi dan modifikasi theori.
Identitas sosial didefinisikan sebagai “dimana bagian konsep-diri sendiri individual dimana diperoleh dari pengetahuannya dalam keanggotaannya dalam kelompok sosial . . . bersama dengan pentingnya nilai dan emosional yang melekat pada keanggotaan itu” (Tajfel, 1981, p.255). SCT memperluas definisi ini untuk memasukkan gagasan dimana identitas sosial adalah representasi diri sendiri yang tidak diselaraskan, meminta “sebuah pergeseran terhadap persepsi diri sendiri sebagai eksemplar yang dapat ditukar dalam beberapa kategori sosial dan jauh dari persepsi diri sendiri sebagai orang unik” (Turner et al., 1987, p. 50). SIT, seperti yang dilafalkan oleh Tajfel (1987) dan Turner (1975, 1985), menyajikan pemusatan dua tradisi dalam studi sikap dan perilaku antar kelompok -  kategorisasi sosial (seperti yang disajikan dalam karya oleh Doise [1978], Tajfel [1969], dan Wilder [1986]) dan perbandingan sosial (seperti yang dicontohkan oleh Lemaine [1974] dan Vanneman dan Pettigrew [1972]). Persepsi theoritis menyandarkan pada dua pemikiran dasar:
individual mengorganisasi pemahaman dunia sosial mereka dengan dasar perbedaan kategori yang mengubah variabel berlanjut kedalam kelas-kelas yang berlainan; kategorisasi memiliki efek meminimalkan perbedaan yang dirasa dalam kategori-kategori dan mengutamakan perbedaan antarkategori.
karena orang individual adalah diri mereka anggota beberapa kategori sosial dan bukan yang lain, kategorisasi sosial membawa dengan perbedaan ingroup-outgroup lengkapnya (kami – mereka); karena relevansi-diri sendiri dalam kategori sosial, klasifikasi ingroup-outgroup adalah perbedaan kategori yang sangat dibebankan dengan signifikansi efektif dan emosional.
Dua dasar pemikiran ini menyediakan kerangka kerja untuk mengkonseptualisasikan setiap situasi sosial dimana kategorisasi ingroup-outgroup tertentu dibuat menonjol. Akibatnya, theori mengusulkan skema antargroup dasar dengan ciri-ciri karakteristik berikut: (1) perpaduan dengan batas-batas dan perbedaan kategori diantara kategori-kategori seperti dimana semua anggota ingroup dirasa menjadi lebih sama dengan diri sendiri daripada anggota outgroup (prinsip penekanan antargroup); (2) efek positif (kepercayaan, kegemaran) secera selektif menyamaratakan anggota ingroup laki-laki tetapi tidak untuk anggota outgroup (prinsip favoritisme ingroup); dan (3) perbandingan sosial antargroup yang dikaitkan dengan antarketergantungan negatif yang dirasa diantara ingroup dan outgroup (prinsip persaingan sosial).
SIT bersama dengan SCT menyediakan theori komprehensif tunggal dalam perilaku kelompok dan proses kognitif yang mendasari tingkatan antargroup dan fenomena group. Ajaran dasar theori ini adalah dimana perilaku kelompok diperoleh dari representasi kognitif diri sendiri dalam hal keanggotaan kategori sosial yang dibagi, dimana ada secara efektif pemisahan bukan psikologi diantara diri sendiri dan kelompok secara keseluruhan. Fenomena ini mengacu kepada penyelarasan representasi-diri, dengan mana representasi kognitif diri sendiri bergeser dari diri pribadi ke diri kolektif (Hogg & Abrams, 1988; Hogg & Turner 1987).
SIT melafalkan bagaimana representasi kognitif dalam diri sendiri dan ingroup relevan menyesuaikan ketika identifikasi ingroup (identitas sosial) secara psikologi ditonjolkan. Ketika individual mengakategorikan diri sendiri dan memandang diri mereka sendiri sebagai hal yang dapat dibedakan dari ingroup, mereka juga memandang anggota ingroup lain sebagai hal yang dapat diubah dengan satu sama lain. Representasi ingroup diwujudkan dalam “purwa rupa”, yang ditentukan dengan ciri-ciri yang dibagi oleh anggota kelompok. Ciri-ciri purwa rupa demikian menangkap kesamaan ingroup dan perbedaan antar group yang membedakan ingroup dari outgroup perbandingan. Persepsi diri sendiri dan anggota ingroup lain adalah kemudian dipadukan ke purwa rupa ingroup ini. Ketika identitas sosial yang terbagi ditonjolkan, anggota ingroup dirasa saling sama, dan ingroup secara keseluruhan dirasa unit homogen (Doosje, Ellemers, & McGarty, 1996; Simon & Hamilton, 1994). Konsekuensi kecenderungan dan perilaku dalam identitas sosial mendorong situasi antargroup yang dikarakterkan oleh perlakuan istimewa anggota ingroup, saling ketidak percayaan diantara ingroup dan outgroup, dan persaingan antargroup.

Budaya Dan Arti Identitas Sosial

Sejajar dengan individualisme dan kolektivisme, SIT/SCT mendalilkan kesatuan yang dilabuhkan oleh identitas pribadi (terindividualisasi) pada satu ujung dan identitas sosial (kolektif) pada ujung yang lain. Pergeseran diantara identitas pribadi dan kolektif diperkirakan untuk meletakkan dalam proses kognitif universal yang terkait dengan kategorisasi sosial dan penonjolan kategori. Melawan pandangan kasatuan tunggal ini, Brewer dan Gardner (1996) mendalilkan bahwa ada tiga level perbedaan “diri sosial” – individual, relasional, dan kolektif – sebagai representasi-diri yang berbeda dengan properti struktural yang berbeda, berdasarkan evaluasi-diri, dan perhatian motivasi (lihat juga Kashima & Hardie, 2000; Gabriel & Gardner, 1999; Sedikides & Brewer, 2001). Diri individual adalah representasi diri sebagai orang unik, yang berbeda dari individual lain. Diri relasional adalah diri yang didefinisikan dalam istilah hubungan dan hubungan peran dengan orang penting lain (Aron, Aron, Tudor, & Nelson, 1991; Cross & Madson, 1997; Gilligan, 1982; Markus & Kitayama, 1991). Diri kolektif adalah identitas sosial SCT, yang didefinisikan dengan istilah properti purwa rupa yang dibagi diantara anggota-anggota ingroup umum (turner et al., 1987).
Level relasional dan kolektif diri yang didalilkan oleh Brewer dan Gardner (1996) merupakan dua bentuk yang berbeda dari identifikasi sosial (i.e., proses dimana diri individual diperluas untuk mencakup orang lain sebagai integral untuk konsep diri). perbedaan kritis diantara ini adalah relasional itu sendiri diselaraskan, menyertai hubungan diadik (dua unsur) diantara diri sendiri dan orang lain akran khusus, dan perluasan hubungan ini dalam bentuk jaringan hubungan antarpribadi. Sebaliknya, kolektif itu sendiri melibatkan hubungan yang tidak diselaraskan dengan orang lain  dengan kebaikan keanggotaan umum dalam kelompok simbolik. Identitas kolektif tidak membutuhkan pengetahuan dan koordinasi antarpribadi, tetapi menyandarkan simbol yang terbagi dan representasi kognitif  kelompok sebagai independent unit hubungan pribadi dalam kelompok.
Menggambarkan pada perbedaan ini diantara sosial relasional dan kolektif itu sendiri, Yuki (2003) menyatakan bahwa karakteristik utama kognisi dan perilaku kelompok bisa berbeda untuk semua konteks budaya tertentu. Menurut kerangka kerja ini, proses terdiri dari SIT dan SCT adalah yang paling dapat diterapkan kepada situasi antargroup meliputi orang dari budaya Barat. Karakteristik khas kognisi dan perilaku kelompok untuk orang Asia Timur, bagaimanapun, secara kualitatifnya bisa berbeda dari mereka yang dari Barat. Sebaliknya orang dalam budaya Barat cenderung menekankan perbedaan kategori diantara ingroup dan outgroup, orang Asia Timur bisa memiliki kcenderungan kuat untuk memikirkan tentang kelompok ketika pentingnya mendasarkan-hubungan. Dalam konteks kelompok, orang Asia cenderung merasa diri mereka sebagai “tangkai” yang melekat dalam jaringan koneksi hubungan yang dibagi (i.e., anggota keluarga, teman, kolega, kenalan, teman dari teman, dan sebagainya) daripada dalam kekerasan, kelompok yang terbatas dengan sendirinya. Dalam kerangka kerja ini, ingroup untuk orang Asia Timur secara kognitif/theori digambarkan secara relatif stabil dan jaringan hubungan terstruktur diantara anggota kelompok.
Sebaliknya SIT melibatkan perbandingan antargroup sebagai sumber kunci identifikasi ingroup dan koperasi, kerangka kerja Yuki mengusulkan bahwa kolektivisme orang Asia Timur   sangat didasarkan pada promosi perilaku kooperatif dan pemeliharaan harmoni relasional dalam ingroup. Ini adalah penting untuk mencatat bahwa kerangka kerja ini tidak mengusulkan bahwa orang Asia Timur mengabaikan ingroup sebagai unit sosial yang sangat berarti, dan penelitian memang menyatakan bahwa mereka benar-benar membebankan batas-batas diantara ingroup dan outgroup (Gudykunst, 1988; Smith & Bond, 1999). Akan tetapi, orang Asia Timur cenderung tidak memprediksikan ingroup mereka sebagai entitas yang tidak diselaraskan (seperti yang dikonseptualkan dalam SIT), tetapi sebagai jaringan kompleks anggota individual antar terhubung (Chang, Lee, & Koh, 1996; Hamaguchi, 1977; Ho, 1993; Hwang, 1999; King & Bond, 1985; Kim & Lee, 1994; Libra, 1976; Munro, 1985). Tipe representasi kelompok ini konsisten dengan penelitian yang menunjukkan bahwa ada perbedaan yang medasar untuk entitativitas kelompok dan daya tarik kelompok, dengan beberapa kelompok yang menekankan kategori mereka, sifat yang tidak diselaraskan, dan orang lain menekankan jaringan relasional terstruktur dan ikatan antarpribadi diantara anggota-anggota (Hamilton, Sherman, & Lickel, 1998; Prentice, Miller, & Lightdale, 1994; Seeley, Gardner, Pennington, & Gabriel, 2003).
Representasi rangkuman perbedaan yang didalilkan diantara dasar relasional dan kolektif dalam identitas sosial disediakan dalam Tabel 12.1.
Tabel 12.1 membandingkan identitas sosial relasional dan kolektif

Relasional
Kolektif
Konsep diri
Secara langsung terindividual/terhubung atau secara langsung dengan orang lain
Tidak terselaraskan/terdefinisi dalam istilah purwa rupa
Motivasi
Timbal balik
Status/persaingan  antar kelompok
Representasi kelompok
Jaringan antarpribadi
Entitas tidak terselaraskan
Daripada memikirkan tentang kelompok sebagai kategori anggota yang tidak terselaraskan, orang Asia Timur khususnya dkhawatirkan tentang menjaga level tinggi pengetahuan tentang struktur relasional kompleks dalam ingroup. Menurut Yuki (2003), anggota kelompok Asia Timur  secara kronis merasa diri mereka menjadi terselaraskan dari dan terkait dengan anggota lain, dan mereka sadar tentang lokasi yang tepat diri sendiri dalam kelompok yang merepresentasikan sebagai jaringan. Selanjutnya, beberapa ahli theori telah mengusulkan bahwa pengetahuan relasional ini yang mengijinkan orang Asia Timur secara strategis mempromosikan kepentingan-diri sendiri dalam struktur relasional kompleks dalam kelompok (Yamagishi, Jin, & Miller, 1998). Pengetahuan relasional menentukan perilaku individual yang diharapkan dalam kelompok dan melayani untuk menjaga hubungan salaing menguntungkan diantara anggota-anggota kelompok (Aoki, 2001; Hwang, 1999; Nakane, 1970).
Penemuan eksperimen dari studi oleh Yamagishi dan kosugi (1999) menyediakan bukti tidak langsung untuk pandangan ini. Peneliti ini menemukan bahwa peserta Jepang mereka yang memiliki tempat konrol tinggi eksternal dan rendah kepercayaan yang disama ratakan (karakteristik khas dalam masyarakat kolektif) dalam kenyataannya lebih baik dalam memutuskan hubungan baik dan buruk  diantara kawan sekelas daripada  peserta yang tinggi dalam tempat kontrol internal dan kepercayaan yang disama ratakan.
Secara keseluruhan, kemudian, konseptualisasi ingroup dan perilaku kelompok di Asia Timur cenderung menempatkan kurang penekanan pada kategorisasi, perbandingan antar kelompok, dan tidak perselarasan diri sendiri, dan menempatkan banyak penekanan pada pemeliharaan harmoni dalam kelompok, menjadi peka, kepada kebutuhan dan perasaan orang lain, dan menjadi sadar dalam struktur hubungan dalam kelompok (Yuki, 2003). Dalam masyarakat ahli kolektif, dimana kesadaran antar ketergantungan dan hubungan status tinggi, ikatan relasional adalah kunci bagi identifikasi sosial dengan ingroup.
Dua Dasar Identitas Sosial
Walaupun theori Yuki (2003) dikembangkan khususnya dalam konteks perbandingan diantara budaya Barat (khususnya Eropa Barat dan United States) dan budaya Asia Timur (khususnya Jepang), kita percaya bahwa perbedaan diantara identitas sosial yang mendasarkan-hubungan dan menadasarkan-kategori menyediakan kerangka kerja yang sangat berguna untuk meninjau efek budaya pada proses identitas sosial lebih luas. Kenyataannya, banyak budaya Asia Timur lain dari Jepang nampak menekankan identitas sosial yang mendasarkan-hubungan, walaupun bentuk spesifik benar-benar berlainan dari budaya ke budaya. Pye (2000) menyatakan bahwa identitas sosial orang China didasarkan pada hubungan kekhususan yang menyebar keluar dari keluarga dekat untuk memperluas keluarga untuk membagi identitas yang didasarkan pada kota kediaman atau kehadiran universitas, sebaliknya ikatan sosial orang Jepang lebih subyektif dan didasarkan pada hubungan pribadi hutang dan kewajiban (p. 126). Identitas sosial yang mendasarkan-hubungan juga lazim di Afrika. Contohnya, Adams dan Dzokoto (2003) menyatakan bahwa identitas sosial di Afrika Barat dikarakterkan terbaik sebagai “relasional individualisme”, dimana individual membuat keputusan kasus per kasus ketika apakah mempercayai orang lain dengan mempertanggungjawabkan hubungan relasional kepada mereka (Shaw, 2000). Etos ini sangat berbeda dari diri kolektif yang tidak terselaraskan dalam SIT. Banyak orang Afrika, kenyataannya, telah menyatakan bahwa besar, lebih banyak lagi identitas kolektif  tidak terselaraskan, seperti etnik da nasionalitas, adalah produk konstruksi sosial yang muncul hanya setelah kolonisasi Eropa (e.g., Nagel, 1994; Yeros, 1999).
Untuk semua masyarakat, individual menjaga hubungan dekat pribadi, jaringan antar pribadi kelompok-kecil, dan keanggotaan besar, kelompok simbolik (Brewer & Caporael, 2006; Caporael, 1997). Tetapi sistem budaya kurang lebih sangat menyandarkan pada bentuk perbedaan hubungan sosial ini sebagai tempat utama untuk menentukan diri sosial dan menjalankan kontrol sosial pada perilaku individual. Ini utamanya budaya individualistik Eropa Barat dan Amerika Utara yang sangat menyandarkan abstrak, keanggotaan kelompok kategori dalam membangun identitas sosial. Budaya lain nampak lebih menyandarkan pada jaringan relasional untuk melakukannya. Dua perpektif theoritis bisa dibawa untuk memikul menolong kepentingan untuk variasi budaya-silang luas ini dengan dasar identitas sosial.
Menurut model budaya ekologi Berry (1979), perbedaan budaya dalam hubungan sosial muncul sebagian dari faktor sosiologi seperti geigrafi, struktur sosial, dan mobilitas. Menggambarkan dengan model ini, Oishi (2005) telah menyatakan bahwa mobilitas sosial memainkan peran penting khususnya dalam menentukan aspek utama diri sendiri dan ingroup. Dalam masyarakat mobilitas-rendah, keanggotaan kelompok secara umum dianggap dan diantisipasi. Orang tidak bisa keluar dari kelompok bahkan jika mereka menemukan sikap, sasaran, mereka sendiri, dan seterusnya, tidak sepenuhnya cocok dengan mereka yang dari anggota kelompok laki-laki. Apa yang mereka harus lakukan adalah menjaga hubungan baik dengan orang lain, dengan memperhatikan dan mengakomodasi perbedaan individual dalam sikap, sasaran, dan seterusnya, dalam kelompok. Maka, hubungan lain dari kesamaan atau homogenitas yang menetapkan batas-batas kelompok.
Sebaliknya, dalam masyarakat dimana individual sering bergerak, keanggotaan kelompok tidak berakhir sepanjang dalam masyarakat dimana individual tinggal dalam komunitas yang sama selama periode waktu yang panjang. Kepada jangkauan dimana aspek sosial dari diri (e.g., hubungan, peran, keanggotaan kelompok) lebih sering merubah dalam masyarakat yang bermobilitas tinggi daripada mereka yang dalam masyarakat yang tidak bermobilitas, kolektif itu sendiri seharusnya tidak konsisten untuk semua waktu dalam masyarakat yang terdahulu daripada yang belakangan. Malahan, kelompok dibentuk disekitar kesamaan dan kepentingan umum, dengan simbol untuk membatasi keanggotaan kelompok dan tindakan yang terkoordinasi. Menyajikan penggabungan diantara mobilitas dan individualisme (Triandis, 1995), model ekologi ini menyediakan penjelasan untuk mengapa individualisme dikaitkan dengan yang tidak diselaraskan, identitas kolektif simbolik, padahal tidak mobil, masyarakat kolektif dikarakterkan dengan stabil, identitas sosial yang mendasarkan-hubungan.
Yang kedua, terkait, penjelasan untuk pengamatan dimana individualisme terkait dengan identitas sosial yang mendasarkan-kategori yang datang dari Brewer dan Roccas (2001), yang berpendapat bahwa sifat kolektif itu sendiri dibentuk dan dibatasi oleh kepentingan relatif yang ditempatkan pada nilai kemandirian (otonomi individual) versus antar ketergantungan dalam hubungan diantara diri sendiri dan orang lain dalam masyarakat. Dengan menekankan pada kewajiban, saling ketergantungan, dan tanggung jawab kepada ingroup lain dalam masyarakat dengan nilai kolektif relasional, identifikasi sosial dengan kelompok adalah komitmen investasi-tinggi. Ini berarti bahwa keuntungan pemasukan kelompok adalah tinggi, dalam kelompok itu menyediakan keamanan dan bantuan bersama yang dijamin. Namun itu juga menyatakan bahwa biaya pemasukan juga tinggi dalam hal kewajiban dan tugas untuk anggota kelompok laki-laki yang membutuhkan waktu dan sumber daya. Ketika kewajiban intragroup kuat dan ditanggung oleh norma kelompok dan sangsi, keuntungan pemasukan kelompok bisa dipenuhi terbaik dalam unit sosial kecil, stabil, dan eksklusif. Maka, dalam budaya ahli kolektif, ingroup yang mendasarkan-hubungan adalah optimal.
Orientasi nilai individualistik, dengan tekanan kuat pada otonomi individual dan mobilitas sosial, memiliki implikasi yang sangat berbeda untuk permintaan dan level investasi yang terkait dengan keanggotaan kelompok. Pada pandangan sekilas yang pertama, itu bisa muncul dimana nilai individualistik bertentangan dengan gagasan sosial kolektif itu sendiri. Sebaliknya, kita percaya bahwa individualisme memiliki efek sangat langsung pada kebutuhan untuk pelibatan dalam unit sosial besar, dimana seperti otonomi individual dan identitas kolektif dengan besar, kelompok yang tidak terselaraskan sungguh harmonis. Karena individualisme memberikan berat yang lebih tinggi bagi kepentingan pribadi dan pilihan dalam memecahkan potensialnya mengkonflikkan permintaan pencapaian individual dan kesejahteraan orang lain, kewajiban untuk kelompok dan anggota kelompok laki-laki adalah baik absolut ataupun sangat dipercaya. Maka, keuntungan potensial pelibatan ingroup disebarkan dan probabilistik, dan individual harus menjadi bagian besar dan lagi unit sosial yang terlibat mendapatkan keuntungan keamanan dan bantuan bersama terkait dengan keanggotaan kelompok. Akibatnya, cinta besar, kelompok yang tidak diselaraskan, seperti gagasan, etnik, dan agama, adalah fungsi kerugian terikatnya komunitas antar ketergantungan yang terkait dengan mobilitas sosial dan individualisme.
Nilai dan praktek budaya yang menambahkan aturan tegas pertukaran sosial, harapan kewajiban bersama, dan sumber persetujuan sosial semua bentuk dimana individual menginvestasikan definisi diri mereka, kecenderungan kasih sayang, dan, yang paling penting, identitas sosial. Budaya ini berpengaruh dimana masalah identitas sosial sebaliknya menentukan peran dimana identifikasi sosial bermain dalam perilaku antarpribadi dan antar kelompok.
Dasar Identitas Ingroup: Beberapa Penemuan Empiris
Perbedaan diantara identitas sosial yang mendasarkan-hubungan dan yang mendasarkan-kategori membantu membuat pemahaman beberapa penemuan anomali (ganjil) lain dalam literatur pada hubungan diantara kolektivisme-individualisme dan konsep-diri. asumsi sederhana dimana menjadi konsep-diri seseorang dalam budaya individualistik utamanya terdiri dari sifat dan atribut idiocentric, sebaliknya anggota budaya kolektivis menggabungkan referensi sosial lebih banyak, meliputi allocentric, bangunan relasioal dan keanggotaan kelompok, dalam representasi-diri menonjol mereka (Triandis, 1989). Tetapi penelitian komparatif pada konsep-diri spontan dari responden dalam budaya yang berbeda tidak mendukung secara konsisten hubungan sederhana ini diantara budaya dan muatan representasi diri. beberapa studi membandingkan diskripsi-diri peserta dari masyarakat individualistik dan kolektivis (meliputi Kenya, Malaysia, India, Jepang, China, dan Korea), dan masyarakat individualistik (U.S., Britania, dan Australia) telah menemukan dukungan untuk pendirian dimana kolektivis membangkitkan proporsi besar referensi identitas sosial (Bochner, 1994; Dhawan, Rosemen, Naidu, Thapa, & Rettek, 1995; Kashima et al., 1995; Ma & Schoeneman, 1997; Ross, Xun, & Wilson, 2002; Trafimow, Triandis, & Goto, 1991; Triandis, McCusker, & Hui, 1990). Pada sisi lain, beberapa studi telah menemukan dimana responden U.S. menggunakan persamaan, atau terkadang bahkan lebih besar, penjelas proporsi sosial dalam konsep-diri spontan mereka daripada responden dari Jepang, China, atau Korea (Bond & Cheung, 1983; Cousin, 1989; Ip & Bond, 1995; Rhee, Uleman, Lee, & Roman, 1995).
Gambarnya menjadi sedikit lebih jelas ketika seseorang melihat lebih dekat pada tipe yang berbeda respon identitas sosial dalam studi ini. Secara umum, peserta dari budaya kolektivis membangkitkan lebih banyak referensi kepada hubungan sosial dan identitas peran dalam deskripsi-diri spontan mereka, tetapi responden dalam budaya individualistik membangkitkan kesamaan atau jumlah yang lebih besar dari referensi untuk kelompok sosial atau keanggotaan kategori sosial. Selanjutnya, dalam analisis-meta mereka dalam perbandingan budaya-silang individualisme dan kolektivisme, Oyserman et al. (2002) menemukan bahwa orang Amerika menilai tinggi pada kolektivisme ketika mengukur meliputi item yang mencabangkan “rasa memiliki kelompok” sebagai sebuah aspek orientasi kolektivis.
Dalam khususnya uji budaya-silang komprehensif yang menggunakan respon penyelesaian kalimat untuk Twenty Statement test (TST; Kuhn & McPartland, 1954) sebagai ukuran konsep-diri yang menonjol, Watkin et al. (1998) memperoleh respon dari sejumlah besar siswa universitas  dari empat budaya individualistik yang berbeda (Australia, Canada, New Zealand, dan kulit putih di Afrika Selatan). Diskripsi-diri diklasifikasikan sebagai idiocentric (e.g., kualitas pribadi, sifat, sikap), allocentric (bangunan relasional: dapat bersosial, teman yang baik, dan sebagainya), keanggotaan kelompok-kecil (e.g., hubungan keluarga), dan keanggotaan kelompok besar (“saya seorang siswa”, “saya orang China”, dan sebagainya). Hasilnya menunjukkan perjanjian besar variabilitas untuk semua sembilan budaya dalam persentase respon setiap tipe. Keseluruhannya, bagaimanapun, anggota budaya individualistik dan budaya kolektivis membangkitkan kiri-kira proporsi yang sama (65 – 70%) dari deskripsi-diri idiocentric. Apa yang membedakan bukan proporsi total deskripsi-diri sosial tetapi melainkan tipe referensi sosial yang muncul paling banyak. Pada rata-rata, responden dari negara-negara yang diklasifikasikan sebagai kolektivis membangkitkan lebih banyak respon yang dikategorikan sebagai keanggotaan allocentric atau kelompok-kecil, sebaliknya responden dari negara-negara individualistik membangkitkan lebih banyak referensi untuk keanggotaan kelompok-besar.
Dalam studi eksperimen, Brewer dan Gardner (1996) menemukan bahwa frekuensi terminologi atau referensi relasional untuk keanggotaan kelompok-besar dalam deskripsi-diri TST bisa dipengaruhi oleh manipulasi dasar yang mempengaruhi peserta untuk memikirkan tentang antara relasi kelompok-kecil atau kolektif besar. Ketika arti kita dikontekstualkan untuk mengacu kepada hubungan antarpribadi, respon kepada siapakah saya? Uji meliputi proporsi besar identitas hubungan (e.g., “saya adalah anak perempuan”, “saya adalah teman yang baik”) dibandingkan dengan kondisi kontrol dimana bukan dasar kita diberikan. Pada sisi lain, ketika dasar kita disajikan dalam konteks kelompok kolektif besar, respon kepada TST meliputi proporsi besar keanggotaan kategori (e.g., “saya adalah orang Amerika”, “saya adalah seorang wanita”). Penemuan eksperimen ini menegaskan bahwa respon relasional dan kolektif kepada TST adalah peka terhadap aktivasi tipe berbeda dari identitas sosial.
Secara keseluruhan, kemudian, penemuan dari macam-macam studi mengenai kehadiran pengidentifikasi sosial dalam konsep-diri spontan konsisten dengan gagasan dimana budaya tidak berbeda dalam apakah identitas sosial adalah aspek penting konsep diri tetapi dalam tipe apa identitas sosial lebih ditonjolkan.
Dalam uji yang lebih langsung perbedaan budaya dalam arti identitas sosial ingroup, Yuki (2003) melakukan studi komprehensif diantara Jepang dan United States pada pemprediksi kekuatan identitas dan kesetiaan ingroup. Dia meminta kedua siswa universitas Amerika dan Jepang melaporkan bagaimana mereka merasakan dua jenis ingroup dari ukuran yang berbeda – dugaan mereka dan kelompok sosial kecil dimana mereka termasuk (e.g., kelompok klub atau aktivitas). Satu perangkat ukuran melibatkan koneksi relasional dengan kelompok, seperti pengetahuan tentang perbedaan individual dan hubungan diantara anggota kelompok, dan rasa antar hubungan diantara diri dan anggota kelompok lain. Perangkat lain ukuran terkait dengan ciri-ciri ingroup sebagai kategori sosial, seperti homogenitas intragroup yang dirasa dan status terkait dengan outgroup. Yuki menemukan bahwa untuk siswa Jepang, identifikasi ingroup dan kesetiaan ditentukan semata oleh faktor relasional, dengan korelasi tidak signifikan dengan faktor-faktor kategori. Sebaliknya, diantara siswa Amerika, identitas dan kesetiaan secara signifikan terkait dengan relasional dan faktor kategori. Pola penemuan ini konsisten dengan model perbedaan budaya kita dalam representasi arti dan kognitif dalam ingroup sosial.

IDENTITAS DAN SUMBER DAYA SOSIAL DARI HARGA-DIRI

Memahami dasar dimana individual dalam budaya yang berbeda mendefinisikan ingroup dan identitas sosial membawa manfaat lebih ketika seseorang memperhatikan hubungan diantara identitas sosial dan pemanfaatan psikologi. Nilai budaya dan pengaruh praktek dimana unit sosial memiliki dampak besar pada representasi-diri anggota dan kualitas apa yang menyumbang sebagian besar ke kesehatan psikologi positif (Deaux, 1993). Satu jalur penelitian pada efek identitas sosial menyelidiki jangkauan dimana individual memperoleh pemahaman mereka tentang harga diri dan kesejahteraan dari keanggotaan kelompok sosial atau hubungan sosial mereka. Dalam budaya dimana identitas kelompok yang tidak diselaraskan, simbolik, atau kategori adalah yang paling menyolok, peningkatan-diri kolektif bisa menjadi sumber penting harga-diri. dalam budaya dimana ingroup didefinisikan utamanya sebagai jaringan relasional, kesejahteraan dan harga-diri mungkin menjadi lebih dekat terkait dengan peningkatan kualitas hubungan dan rekan hubungan. Hipotesis ini membantu kita mengintegrasikan beberapa perangkat berlainan dalam penemuan dari literatur budaya-silang.
Di United States, fungsi peningkatan-diri dalam identitas kelompok telah distudi utamanya dalam hubungan kepada konsep “harga-diri kolektif” (Luhtanen & Crocker, 1992), dimana yang mengacu kepada evaluasi individual dari identitas sosial mereka dan peran keanggotaan kelompok mereka dalam menyumbang ke harga-diri pribadi mereka. Pengukuran harga-diri kolektif telah mengidentifikasi empat terkait tetapi komponen yang berbeda (subskala) – pentingnya identitas (seberapa penting keanggotaan kelompok bagi konsep-diri individual), penghargaan anggota (penaksiran individual dalam nilai mereka sebagai anggota kelompok), harga pribadi (evaluasi pribadi individual dari kelompok keanggotaan mereka), dan harga publik (penaksiran individual bagaimana orang lain mengevaluasi kelompok keanggotaan mereka). Dalam studi awal tentang skala harga-diri kolektif, setiap komponen ini ditemukan mengkorelasi beberapa tingkat dengan harga-diri pribadi (Luhtanen & Crocker, 1992). Akan tetapi, konsisten dengan penemuan Yuki (2003) mengenai pentingnya perbandingan dan status antar kelompok pada identitas dan kesetiaan ingroup diantara mahasiswa kulit putih di United States, harga-diri kolektif publik adalah penyumbang signifikan ke harga-diri pribadi (Crocker, Luhtanen, Blaine, & Broadnax, 1994; Luhtanen & Crocker, 1992). Bahkan diantara kelompok minoritas status-rendah, kekuatan identifikasi etnik dan harga-diri kolektif secara positif terkait dengan ukuran harga-diri dan kesejahteraan (Branch, Tayal, & Triplett, 2000; Crocker et al., 1994; Verkuyten & Lay, 1998), menyatakan bahwa identifikasi kelompok melayani untuk menopang harga-diri dari efek deskriminasi sosial (Branscombe, Schmitt, & Harvey, 1999).
Sebaliknya, bukti menyataka bahwa untuk Asia Timur, peningkatan ingroup kolektif bukan dasar signifikan dari harga-diri pribadi (Heine, 2003). Ini nampaknya sangat benar ketika ingroup terget adalah kolektif kategori besar, seperti identitas nasional atau universitas. Hawstone dan Ward (1985), contohnya, memperoleh bukti penyimpangan atribut penghapusan-kelompok diantara orang-orang China berhubungan dengan kelompok etnik mereka. Bond dan Hewstone (1988) menemukan bahwa siswa sekolah menengah atas Britania di Hong Kong memiliki kesan lebih positif dari ingroup daripada siswa orang China. Dengan cara yang sama, studi nasional-silang Rose (1985) menemukan bahwa orang Amerika memiliki pandangan lebih positif tentang negara mereka daripada orang Jepang, dan Heine dan Lehman (1997) menemukan bahwa nilai siswa orang Jepang dari universitas mereka sendiri adalah lebih buruk daripada nilai oleh siswa dari universitas rivalnya. Akhirnya, Snibbe, Kitayama, Markus, dan Suzuki (2003) menemukan kurang secara signifikan favoritisme ingroup diantara fans sepak bola Jepang dibandingkan dengan rekan orang Amerika mereka. Sebaliknya untuk siswa orang Amerika, yang dengan nyata menunjukkan bias antar kelompok, rekan orang Jepang mereka, walaupun sama-sama diidentifikasi dengan universitas mereka dan team olah raga, tidak menunjukkan bukti manapun bisa antar kelompok.
Penting sekali, walaupun Asia Timur jarang meningkatkan harga-diri kolektif mereka, mereka memperagakan bias peningkatan-hubungan signifikan, seperti yang ditunjukkan dengan perbedaan diantara evaluasi hubungan mereka sendiri dan hubungan “rata-rata” (Endo, Heine, & Lehman, 2000; lihat juga Sedikides, Gaertner, & Toguchi, 2003). Bahkan ketidak hadiran peningkatan-diri dan tekanan pada sikap kritis-diri telah diinterpretasikan ketika sedang mendesain untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain (Heine & Lehman, 1997; Kitayama, Markus, Matsumoto, & Norasakkunkit, 1997). Pentingnya motivasi dalam peningkatan hubungan untuk orang Asia selanjutnya diusulkan oleh penemuan dimana harmoni hubungan lebih sangat terkait dengan kesejahteraan subyektif di Hong Kong daripada di United States (Kwan, Bond, & Singelis, 1997; Kurman & Sriram, 1997).

KONSEKUENSI IDENTITAS SOSIAL UNTUK PROSES INTRAGROUP DAN ANTAR GROUP/KELOMPOK

Memperhatikan identitas sosial dari perspektif budaya memiliki maksud untuk memahami fenomena level-kelompok, sebagaimana konsep-diri individual. maksud umum kita adalah bahwa dasar yang berbeda untuk identitas sosial memiliki tujuan yang berbeda selama bagaimana identitas sosial meregulasi proses dan hasil intragroup dan antar group (lihat Hong, Wan, No, & Chiu, bab 13, volume ini). Dengan memperhatikan bagaimana budaya membentuk arti ingroup, kita bisa memancarkan beberapa penerangan pada anomali yang muncul dalam literatur budaya-silang pada kepercayaan dan perilaku antar kelompok.

Proses Intragroup; Kepercayaan Dan Kerjasama

Dalam literatur ilmu pengetahuan sosial, ada sekarang kebangkitan kepentingan dalam kepercayaan sebagai bangunan psikologi sentral (Buchan, Croson, & Dawes, 2002; Foddy, Platow, & Yamagishi, 2003; Kramer, 1999; Yamagishi, Foddy, Makimura, Matsuda, & Platow, 2003). Untuk tujuan kita, “kepercayaan” didefinisikan sebagai harapan perlakuan dermawan dari orang lain dalam situasi tidak tentu atau beresiko (Foddy et al., 2003). Secara umum, konsep kepercayaan menggambarkan keyakinan dimana orang lain akan bertindak dengan cara dimana akan menguntungkan (atau tidak keras) diri seseorang, sebelum seseorang mengetahui hasil perilaku orang lain (Dasgupta, 1988). Kepercayaan secara khas disebut untuk dalam situasi dimana pribadi orang lain memiliki potensi untuk memperoleh pada beban seseorang tetapi bisa memilih tidak mengerjakannya (Yamagishi & Yamagishi, 1994).
Dari kepentingan tertentu adalah peran kepercayaan dalam kontek dan institusi dimana peserta harus memutuskan apakah menyandarkan orang lain tanpa pengetahuan pribadi tentang mereka atau riwayat hubungan antar pribadi (Cook, 2001; Foddy et al., 2003; Kramer, 1999; Ostrom, 1998; Tyler, 2001; Yamagishi et al., 2003; Yamagishi & Yamagishi, 1994). Walaupun ini secara umum sulit untuk membangun kepercayaan dalam seseorang yang tidak mengetahui secara pribadi, kepercayaan bukan perseorangan ini adalah penting bagi penciptaa dan pemeliharaan banyak bentuk pertukaran ekonomi, organisasi,dan institusi sosial dan politik.
Macy dan Skvoretz (1998) menyatakan bahwa “aturan kepercayaan yang paling awal didasarkan pada jarak sosial – tetangga kepercayaan, tetapi bukan orang luar” (p.651). individual bisa mempercayai orang lain jika mereka mengetahui (atau percaya) bahwa mereka dan orang lain secara langsung atau tidak langsung terhubung melalui persahabatan atau kenalan bersama (Coleman, 1990). Jaringan yang terbagi dari hubungan antar pribadi menyediakan mekanisme untuk memperluas kepercayaa yang diselaraskan untuk orang lain yang tidak diketahui yang adalah bagian jaringan sosial. Pada sisi lain, kanggotaan kategori yang dibagi (ingroup umum) bisa menjadi dasar untuk kepercayaan yang tidak diselaraskan (Brewer, 1981; Buchan et al., 2002; Macy & Skvoretz, 1998; Yamagishi & Kiyonari, 2000). Sebagai konsekuensi pergeseran secara psikologi dari pribadi ke level identitas kolektif, seseorang bisa tidak mungkin membedakan kepentingan anggota ingroup lain dari diri mereka sendiri, mendorong meningkatkan kepercayaan terhadap anggota ingroup laki-laki apakah secara pribadi mengetahui atau tidak. Penelitian pada konsekuensi identitas sosial telah mempertunjukkan bahwa keanggotaan ingroup yang terbagi semata cukup untuk menimbulkan kepercayaan dan kerjasama. Ketika kategorisasi sosial terbagi dibuat menonjol, individual lebih mungkin mempercayai bahwa penyedia akan membagi sumber daya dengan wajar (Foddy et al., 2003), untuk bekerja sama untuk menghemat sumber daya kelompok (e.g., Brewer & Kramer, 1986; DeCremer & van Vugt, 1999), dan untuk menyumbang ke barang publik tanpa mengetahui apakah orang lain juga menyumbang saham mereka (Wit & Kerr, 2002).
Tetapi penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa kcenderungan ini untuk mempercayai anggota ingroup dikualifikasikan oleh perbedaan budaya. Menariknya, bukti menunjukkan bahwa bias ingroup ini dalam kepercayaan secara aktual lebih besar untuk mereka yang memiliki orientasi budaya individualistik atau orang dari budaya individualistik, daripada untuk kolektivis dan orang dari budaya kolektif. Buchan et al. (2002), contohnya, menguji kesediaan individual untuk mempercayai orang lain dalam permainan investasi yang melibatkan situasi pertukaran tidak langsung. Mereka menemukan bahwa peserta dengan orientasi budaya individualistik meningkatkan level kepercayaan mereka dalam orang lain yang tidak diketahui (dalam hal jumlah investasi keuangan) ketika batas kategori kewenangan diperkenalkan untuk menyediakan peserta pertukaran dengan identitas kelompok sosial umum. Peserta dengan orientasi kolektivis, bagaimanapun, tidak mengubah level kepercayaan mereka, apakah identitas kategori ditonjolkan atau tidak. Menggunakan prosedur yang sama dalam studi selanjutnya, Buchan, Croson, dan Johnson (2003) menemukan bahwa peserta U.S. menunjukkan bias ingroup nyata dalam kepercayaan, sebaliknya peserta orang China tidak menunjukkan semua kecenderungan ini. Demikian juga, Yamagishi et al. (2003) menemukan bahwa membagi keanggotaan kelompok (e.g., negara yang sama, universitas yang sama) cukut membangkitkan kepercayaan tinggi dalam anggota ingroup untuk orang Australia, tetapi tidak untuk orang Jepang.
Penemuan perlawanan intuisi ini mengenai hubungan diantara nilai budaya kolektivis dan kepercayaan intragroup bisa dijelaskan (setidaknya sebagian) dengan memperhatikan perbedaan diantara ingroup yang mendasarkan-hubungan dan yang mendasarkan-kategori. Ketika kita sedang memperdebatkan, perilaku kelompok Asia Timur sebagian besarnya adalah intragroup dan yang mendasarkan-hubungan. Kelompok dibangun sehingga anggota bisa mengawasi setiap perilaku orang lain, dan visibilitas tinggi anggota individual bisa melayani sebagai mekanisme untuk menghambat potensi freeriding (mengendarai papan seluncur es) (Miller & Kanazawa, 2000; Yamagishi et al., 1998). Kenyataannya, eksperimen budaya-silang Yamagishi menunjukkan bahwa orang Jepang menjadi kurang bergotong royong dan kurang mempercayai terhadap ingroup ketika tidak ada sistem pengawasan dan sangsi ingroup, sebaliknya orang Amerika tidak merubah level gotong royong dan kepercayaan mereka sebagai fungsi kehadiran atau ketidak hadiran sistem pengawasan dan sangsi (Yamagishi, 1988a, 1988b). Sebaliknya untuk mekanisme kerjasama yang didasarkan pada keanggotaan kelompok yang terbagi yang tidak diselaraskan, kepercayaan dan kerjasama berdasarkan-hubungan tergantung pada koneksi antar pribadi dan kewajiban timbal balik (Yamagishi et al., 1998).
Bukti perbedaan budaya ini membawa Yuki, Maddux, Brewer, dan Takemura (2005) berspekulasi bahwa perbedaan dalam arti ingroup (dan identitas sosial yang sesuai) dikaitkan dengan dasar perbedaan kepercayaan dan kerjasama ingroup untuk semua budaya. Lebih khususnya, mereka menghipotesa bahwa perilaku kelompok orang Amerika didasarkan pada perbedaan kategori diantara ingroup dan outgroup, dan kepercayaan yang tidak diselaraskan didasarkan pada pengetahuan dimana diri dan orang lain membagi keanggotaan dalam kategori sosial terbatas. Sebaliknya, jika perilaku kelompok orang Jepang lebih dikemudikan oleh pentingnya jaringan hubungan, kepercayaan harusnya paling tinggi terhadap individual yang dianggap membagi jaringan hubungan langsung atau tidak langsung dengan diri sendiri, kurang memperhatikan batas-batas kategori. Membagi keanggotaan ingroup bisa menyediakan satu dasar untuk menyimpulkan hubungan relasional kepada orang lain yang tidak diketahui, tetapi ikatan jaringan potensial untuk semua batas-batas kategori seharusnya sama-sama nampak mendatangkan kepercayaan. dengan kata lain, itu diprediksikan bahwa jika anggota outgroup yang tidak diketahui membagi koneksi antarpribadi tidak langsung dengan diri sendiri (melalui kenalan pribadi), mata rantai hubungan kelompok-silang ini harus membangkitkan kepercayaan untuk anggota outgroup di Jepang tetapi tidak di United States.
Hasil dari dua eksperimen mendukung hipotesis bahwa dasar kepercayaan ingroup berbeda untuk semua budaya. Untuk semua kedua studi, orang Amerika cenderung mempercayai orang asing didasarkan pada perbedaan kategori diantara mereka yang membagi keanggotaan kelompok yang sama dan mereka yang tidak mengerjakan, dan memiliki kenalan dalam outgroup tidak mempengaruhi pada level kepercayaan. pola ini menunjukkan bahwa kepercayaan adalah tidak diselaraskan untuk orang Amerika, konsisten dengan model identitas sosial dimana perilaku dan kognisi kelompok sangat didasarkan pada perbedaan kategori diantara ingroup dan outgroup. Sebaliknya, kepercayaan untuk peserta orang Jepang lebih tergantung pada kemungkinan dimana target membagi mata rantai hubungan langsung atau tidak langsung. Khususnya, kehadiran hubungan kelompok-silang potensial memiliki efek kuat pada kepercayaan outgroup untuk orang Jepang. Hasil dari sampel orang Jepang kita sebangun dengan hipotesis dimana perilaku dan kognisi kelompok Jepang didasarkan-hubungan (Yuki, 2003), dengan orang Jepang mempercayai mereka yang paling mungkin membagi hubungan antarpribadi langsung dan tidak langsung, seperti yang dicontohkan oleh level tinggi kepercayaan terhadap anggota ingroup dan anggota outgroup dengan koneksi hubungan potensial. Secara keseluruhan, maka, eksperimen ini pada kepercayaan mendukung kerangka kerja theoritis umum kami dimana representasi ingroup dan dasar identitas sosial berbeda untuk semua konteks budaya.

Proses Intragroup: Deskriminasi Ingroup-Outgroup

Sebagai tambahan untuk perilaku intragroup, dasar budaya identitas ingroup memiliki tujuan penting untuk hubungan antar kelompok. Deskriminasi ingroup-outgroup mengacu kepada perbedaan dalam perilaku yang diarahkan kepada anggota ingroup dalam jika dibandingkan dengan anggota outgroup, khususnya perilaku yang menguntungkan anggota ingroup dan/atau merugikan outgroupers (pengelompok luar). Pertanyaannya disini adalah apakah ingroup didasarkan pada antar ketergantungan relasional dan ingroup didasarkan pada kategori simbolik memiliki efek yang sama pada sikap dan perilaku terhadap anggota outgroup.
Dalam literatur pada kolektivisme-individualisme, klaim telah dibuat dimana anggota budaya kolektivis membuat perbedaan yang lebih tajam diantara perilaku ingroup dan perilaku outgroup daripada yang dilakukan anggota budaya individualistik (Triandis, 1995). Ketika Iyengar, Lepper, dan Ross (1999) meletakkannya, “ketika batas diri-orang lain menjadi tidak berbeda, perbedaan diantara anggota ingroup dan anggota outgroup mengasumsikan signifikansi yang lebih besar . . . menerima anggota ingroup untuk diri sendiri mungkin membawa individual melawan anggota ingroup dan outgroup lebih dengan tajam, membuat mereka secara relatif lebih rentan membedakan bias kognitif, persepsi, dan motivasi” (p. 279).
Beberapa studi komparatif telah mendukung gagasan ini dimana nilai kolektivis terkait dengan perbedaan ingroup-outgroup yang lebih besar. Contohnya, Leung (1988) menemukan bahwa dalam merespon skenario konflik  diantara dua pembangkang, siswa perguruan tinggi  China Hong Kong tidak mungkin mengejar konflik dengan pembangkang ingroup (teman dekat) dan lebih mungkin mengejar konflik dengan pembangkang outgroup (orang asing) daripada siswa orang Amerika. Dengan cara yang sama, studi pada kadilan distributif telah menunjukkan bahwa orang dari budaya kolektivis menerapkan norma alokasi penghargaan yang berbeda kepada ingroup dan outgroup. Leung dan Bond (1984), contohnya, menemukan bahwa peserta orang China membagi penghargaan lebih merata dengan teman, tetapi dengan orang asing outgroup mereka mengikuti kepada norma ekuitas lebih dekat daripada yang dikerjakan orang Amerika. Demikian juga, Mahler, Greenberg, dan Hayashi (1981) meminta siswa di Jepang dan di United States bagaimana penghargaan harus dibagi dalam susunan cerita yang menjelaskan dua pekerja. Peserta Amerika cenderung menyukai alokasi ekuitas yang didasarkan pada kontribusi relatif dua pekerja, mengabaikan apakah pekerja adalah teman. Peserta orang Jepang, pada sisi lain, menyukai alokasi persamaan ketika dua pekerja dijelaskan sebagai sangat terkoneksi, meskipun preferensi alokasi mereka adalah sama seperti orang Amerika ketika cerita menyatakan bahwa dua pekerja tidak sangat terkoneksi.
Sebaliknya untuk penemuan ini dimana yang menunjukkan bahwa Asia Timur mendiskriminasikan diantara situasi ingroup dan outgroup lebih dari orang Amerika, implikasi dari penelitian oleh Yuki (2003), yang disebutkan sebelumnya, menunjukkan bahwa perbandingan antar kelompok diantara kategori sosial adalah lebih penting untuk orang Amerika daripada untuk orang Jepang. Di literatur Eropa dan Amerika pada identitas sosial, peran penonjolan kategori dalam diskriminasi ingroup-outgroup telah dengan baik didokumentasikan dalam penelitian eksperimen menggunakan paradigma antar kelompok minimal (Tajfel, 1970; Tajfel, Billig, Bundy, & Flament, 1971; Brewer, 1979; Turner, 1981; Diehl, 1990).
“kelompok minimal” adalah kategori sosial yang tidak diselaraskan yang didasarkan pada perbedaan kategori kewenangan diantara ingroup dan outgroup. Memang, ada bukti untuk menyatakan bahwa bias ingroup didasarkan pada perbedaan kategori demikian bisa kenyatannya menjadi lebih diingat di Barat daripada di budaya Asia. Wetherell (1982) melakukan studi untuk menguji ketahanan budaya-silang favoritisme ingroup dalam kelompok minimal di New Zealand. Dia menemukan bahwa anak dengan latar belakang Polynesia menunjukkan bias ingroup yang lebih lemah daripada mereka yang dengan latar belakang Eropa, dan mereka malahan mencoba memanfaatkan dua anggota ingroup dan outgroup. Dalam studi yang disebutkan sebelumnya oleh Buchan et al. (2003), setengah peserta memainkan peran “responder”, yaitu yang diminta untuk memutuskan apakah mereka akan mengembalikan porsi uang yang diterima (dengan keyakinan) dari “pengirim”, yaitu yang diantara dalam ingroup atau outgroup (minimal). Hasilnya menunjukkan bahwa peserta orang Amerika memperagakan bias ingroup signifikan, mengembalikan jumlah uang lebih besar kepada ingroup daripada ke pengirim outgroup, sebaliknya orang China menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Selanjutnya, perbedaan budaya ini dimediasi oleh orientasi budaya kolektivisme – individualisme (i.e., efek budaya yang muncul ketika perbedaan individual dalam kolektivisme – individualisme secara statistik terkontrol), dengan individualis menunjukkan lebih bias ingroup daripada kolektivis dalam kedua negara. Bukti lain menunjukkan bahwa Asia Timur tidak siap ikut dalam diskriminasi outgroup dalam pengaturan kelompok minimal ketika diskriminasi tidak secara tidak langsung menguntungkan diri sendiri (Yamagishi, Jin, & Kiyonari, 1999).
Kontradiksi yang muncul dalam kesimpulan yang digambarkan dalam literatur tentang diskriminasi ingroup-outgroup relatif dalam masyarakat keloktivis dan individualistik bisa dipecahkan ketika seseorang melihat lebih dekat bagaimana ingroup ditentukan dalam studi yang berbeda dan tipe apa diskriminasi antar kelompok sedang dinilai. Dalam studi kelompok minimal khas, ingroup didefinisikan sebagai kategori dengan sebenarnya, dalam pemahaman dimana mereka ditentukan berdasarkan dasar kewenangan, seperti dengan undian, kecenderungan estimasi titik (melebih-lebihkan vs merendahkan), dan preferensi artistik, dan, lebih pentingnya, tidak ada antar ketergantungan kokoh diantara anggota. Akan tetapi, seperti yang dibahas diawal, ingroup untuk kolektivis adalah lebih banyak jaringan berdasarkan-hubungan, dimana antar ketergantungan dalam ingroup adalah dari kepentingan krusial. Sebaliknya dengan prinsip perbedaan antar kelompok positif yang mengatur perilaku antar kelompok, seperti yang dilukiskan oleh SIT, perilaku antar kelompok Asia Timur bisa dikarakterkan sebaga strategi dimana yang memaksimalkan kepentingan pribadi seseorang dengan menjaga hubungan saling menguntungkan dengan anggota ingroup laki-laki (Hamaguchi, 1977; Yamagishi et al., 1998).
Di budaya Asia Timur, kewajiban untuk bekerjasama sangat dapat diterapkan dalam interaksi dengan teman daripada dengan orang asing. Dalam eksperimen yang baru pada efek isyarat budaya pada perilaku sosial, selanjutnya dengan yang diutamakan dengan simbol orang China (vs. Amerika atau netral-budaya), dwibudaya China Amerika lebih bersifat kooperatif ketika mereka memainkan permainan dilemma tawanan/orang hukuman/narapidana dengan teman mereka. Akan tetapi, pengutamaan budaya tidak mempengaruhi kooperatif atau pilihan kompetitif dwibudaya ini ketika mereka memainkan permainan dengan orang asing (wong & Hong, 2005).
Sebangun dengan alasan ini, serangkaian studi oleh Yamagishi dan kolega (Jin, Yamagishi, & Kiyonari, 1996; Karp, Jin, Yamagishi, & Shinotsuka, 1993) menunjukkan bahwa orang Jepang ikut dalam favoritisme ingroup dalam situasi kelompok minimal ketika isyarat yang muncul dalam antar ketergantungan intragroup disediakan. Dalam kondisi dimana peserta masing-masing diberitahukan bahwa dia hanya orang dalam ingroup yang diberi tugas alokasi penghargaan, mereka tidak menunjukkan fevoritisme ingroup. Mereka, bagaimanapun, menyenangi ingroup ketika itu ditekan dengan nyata bahwa setiap orang dalam eksperimen sedang melaksanakan tugas alokasi penghargaan, dimana menurut dugaan membuat mereka memikirkan tentang antar ketergantungan (dan timbal-balik) dalam kelompok mereka. Penemuan ini konsisten dengan usulan Benedict (1946) dimana sumber daya kesetiaan ingroup orang Jepang pemeliharaan hubungan timbal-balik dengan keras dengan anggota ingroup laki-laki. Sebaliknya, peserta dalam eksperimen kelompok minimal di Amerika utara dan Australia menunjukkan diskriminasi ingroup signifikan bahkan ketika antarketergantungan timbal balik dalam kelompok telah dihilangkan (e.g., Perreault & Bourhis, 1998; Platow, McClintock, & Liebrand, 1990), menyatakan bahwa favoritisme ingroup dalam budaya ini didasarkan pada keinginan untuk memanfaatkan ingroup keseluruhan daripada pada harapan kesukaan timbal balik.

RINGKASAN DAN KESIMPULAN

Thesis kami melalui bab ini telah didasarkan pada gagasan bahwa semua budaya menyandarkan identifikasi sosial dan kesetiaan, kepercayaan, dan kerjasama ingroup sebagai mekanisme penting koordinasi dan kontrol sosial. Sifat identitas sosial, bagaimanapun, ditempelkan dalam nilai dan praktek budaya, dengan konsekuensi bahwa batas-batas ingroup dan perbedaan ingroup-outgroup bisa menjadi budaya-khusus. Walaupun sifat perbedaan ini dalam menentukan identitas ingroup dan sosial bisa bermacam-macam sepanjang beberapa dimensi, kita telah menekankan satu perbedaan penting, yaitu, perbedaan diantara identitas sosial yang didasarkan pada jaringan hubungan antar pribadi dan identitas sosial yang didasarkan pada keanggotaan yang dibagi dalam kolektif yang tidak diselaraskan. Kita telah meninjau penelitian yang menunjukkan bahwa perbedaan ini konsisten dengan penemuan dari perbandingan budaya-silang dari dasar harga-diri, kepercayaan intragroup, dan diskriminasi antar kelompok. Sebagian besar penelitian empiris yang dilakukan dalam area ini melibatkan perbandingan diantara budaya individualistik, yang digambarkan oleh United States, Eropa, dan Australia, dan budaya kolektivis, yang digambarkan oleh Asia Timur. Kita diyakinkan, bagaimanapun, bahwa perbedaan ini bisa digunakan lebih luas di penelitian masa depan pada peran budaya dalam membentuk dan mendefinisikan identitas sosial dan konsekuensinya bagi proses individual, kelompok, dan antar kelompok.

Related Post:

Written by: Hyen Indiar Advariant Updated at: 07.29

Penulis: Unknown ~ Building directory

Artikel BAB 12 IDENTITAS BUDAYA DAN SOSIAL ini dipublish oleh Unknown pada hari Sabtu, 25 April 2015 Terima kasih Anda telah membaca artikel tentang BAB 12 IDENTITAS BUDAYA DAN SOSIAL ini. Sertakan link https://advariant.blogspot.com/2015/04/bab-12-identitas-budaya-dan-sosial.html ini jika anda gunakan sebagai referensi. Semoga bermanfaat bagi anda. Jika anda menyukai Blog ini, silahkan like di http://facebook.com/hyen.indiar dan follow kami di http://twitter.com/linkvariasi. Terima kasih atas kunjungan serta kesediaan Anda membaca dan berkomentar tentang artikel ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentar yang sopan, setiap komentar yang sesuai tema akan diterima dengan baik, dan yang Anonymous kami mohon maaf terpaksa dihapus!